Hari ini aku tak mendapatkan paket dari target yang aku inginkan. Tak ada pejabat Metropolis yang menggunakan jasa ZNE hari ini. Ya ... mungkin paketnya sedang di sortir, sehingga hari ini aku pulang tanpa melakukan aksiku.
Sungguh aku tak puas. Aku sangat ingin memenggal kepala seseorang, pejabat Metropolis yang jumlahnya masih banyak itu perlu aku hancurkan hidupnya. Tapi siapa?
Ketika aku sampai di rumah, ponselku berdering singkat. Sebuah pesan singkat masuk, pengirimnya adalah sistem dari perpajakan Metropolis. Mereka ingin aku membayar pajak hari ini.
Aku mencoba menghitung saldo yang ada di rekeningku, tapi jika aku gunakan untuk membayar pajak ... aku tak akan bisa hidup sampai setengah bulan kedepan. Aku harus makan apa jika uangku habis?
Huhhh, aku akan membayar pajak ini. Siapa tahu ..., aku menemukan target yang dapat di habisi saat aku ke kantor pajak. Atau mungkin bisa mendapatkan informasi lain terkait pejabat Metropolis.
Kantor pajak berada di pusat kota, sehingga dengan 10 menit berjalan kaki ... aku sudah bisa sampai ke sana tanpa mengeluarkan uang transportasi. Saat sampai disana aku melihat antrean yang cukup panjang.
Antrean itu didominasi oleh pekerja yang baru saja pulang dari kantor dan beberapa pekerja serabutan. Mataku tak sengaja menangkap seorang wanita paruh baya dengan tubuh lemas dan mata sayu mengikuti antrean. Aku tak sanggup melihat kondisi seperti itu, mungkinkah ibu itu bekerja keras hanya untuk membayar pajak yang harus dibayarkan hari ini juga?
Sistem pembayaran pajak di Metropolis adalah tepat waktu. Jika jadwal membayar pajak di hari itu, maka di hari itu juga pajaknya harus dibayarkan. Tidak ada pilihan lain selain membayar, sebab orang yang telat membayar akan dikenai denda dan akan dipecat dari pekerjaannya. Hal itu sempat membuatku frustasi.
Tak terasa, antrean semakin singkat. Beberapa orang lagi, sebelum aku bisa menyelesaikan pembayaran pajak. Tapi keributan terjadi di depan sana, aku mendengar suara gaduh yang berasal dari satu orang dan teriakan-teriakan satpam yang menggema di kantor pajak.
"Saya tak terima dengan tingginya pajak ini! Kalian pikir kami rakyat miskin mampu membayar pajak? Untuk makan saja susah! Apalagi membayar pajak! Kalian bajingan gila! Tak berperasaan!" teriak orang paling depan di antrean.
"Cukup! Selesaikan pembayaran Anda, lalu pergi dari sini! Jangan membuat keributan, Pak!" balas satpam yang kelihatannya sengaja dipanggil.
"Kalian tak pernah merasakan hidup miskin? Tidur dengan rasa lapar, membohongi anak-anak yang kelaparan agar tidak rewel! Kalian tak tahu rasanya itu! Sudah miskin, makin dimiskinkan oleh pajak sebesar 70 persen!" teriak orang yang sekarang berada di hadapan satpam.
Hatiku mencelus, mendengar penuturannya. Aku tak menyangka jika hal seperti itu benar-benar terjadi. Aku memang miskin, tapi aku tak tahu jika ada orang lain yang nasibnya lebih buruk dariku. Aku benar-benar malu, mengingat aku pernah mengeluh tentang kehidupan, padahal aku masih bisa hidup tanpa rasa lapar.
Penuturannya juga membuat dadaku terbakar. Ada perasaan dendam yang amat dalam kurasa dan itu mulai menyebar. Membuat tanganku terkepal tanpa sengaja. Kemarahanku memuncak ketika melihat orang yang tadi berteriak protes diseret oleh satpam dan ditendang keluar.
Rasanya aku ingin memukul satpam itu dan mengulitinya hidup-hidup. Aku tahu jika satpam itu hanya menjalankan tugas dan dia juga sama-sama membayar pajak. Tapi ... bukankah bisa mengeluarkan orang yang gaduh tadi tanpa kekerasan?
Kepalan tanganku semakin kuat, urat-urat yang ada ditangan bahkan terlihat dengan jelas. Aku merasa, kemarahanku ini harus disalurkan. Aku harus memenggal kepala seseorang. Tapi siapa pejabat yang harus aku bunuh?
"Silakan, Pak. Bisa menyelesaikan pembayaran pajak sekarang, agar antreannya tidak semakin mengular," kata perempuan yang berada di balik bilik kaca di depanku.
Sudi tak sudi, aku membayarkan sejumlah uang kepada pihak pajak. Butuh 5 menit untuk perempuan di hadapanku memasukkan uang pajakku ke sistem. Untungnya tidak lebih dari 5 menit, jika lebih, aku mungkin sudah menancapkan pisau dapur dibalik jaketku tepat ke kepala perempuan ini.
"Terima kasih, Pak. Pajak yang bapak bayarkan akan kami manfaatkan sebaik-baiknya," kata perempuan itu.
Aku tak membalas. Setelah mendapatkan bukti pembayaran pajak, aku langsung keluar antrean dan mencoba menenangkan diri. Aku memilih untuk duduk di bangku, di teras kantor pajak.
Keheningan mengisi teras kantor pajak, tak ada lagi orang yang datang. Hanya beberapa orang yang tersisa di dalam. Agar lebih tenang, aku diam sejenak. Tetapi atensiku teralih pada obrolan yang kedengarannya menarik sekali.
"Bukankah kau sudah mengambil proyeknya?"
"Ya. Keuntungan proyek ini sangat besar. Tapi keuntunganmu lebih besar bukan? Kau sudah mengambil uang pajak dari awal progam 70% for Metropolis Development."
"Tentu saja. Setelah kau mendapatkan keuntungan lebih dari sekali, kau akan merasakan nikmatnya hidup."
"Bukankah akan berbahaya jika kau ketahuan, Aji Suroso?"
"Itu tak akan terjadi, Malik Arifianto. Kau tahu, rata-rata ... semua pejabat Metropolis itu terlibat proyek 70% for Metropolis Development. Kau tak perlu takut begitu."
Aku berusaha untuk mendengar dengan jelas, tapi tanpa ketahuan. Bisa gawat jika ketahuan. Para pejabat itu pasti akan melakukan apapun asal tidak ketahuan.
Aji Suroso dan Malik Arifianto. Aku pernah melihat nama Aji Suroso di dokumen milik Sucipto. Untuk Malik ..., aku tak ingat atau dia antek-antek mereka yang baru?
Sepertinya Aji Suroso memiliki dokumen yang mungkin bisa membantu. Dengan menggabungkan dokumen-dokumen yang sudah-sudah, aku bisa mengetahui siapa saja yang terlibat dan bagaimana cara mengakhiri kegilaan progam ini.
Itu berarti ... aku harus mencari tahu alamat Aji Suroso. Oh! Mereka pergi! Lebih baik mengikuti Aji Suroso dulu, dengan begitu aku bisa mengetahui alamat rumahnya dan jika memungkinkan ... aku bisa menghabisinya. Dia sudah memasuki usia tua, kurasa. Akan lebih mudah menghabisi orang tua yang bau tanah.
***
Singkatnya, aku disini. Setelah mengikuti Aji Suroso. Menaiki bus kota yang memang tujuannya searah, sungguh aku benar-benar beruntung. Ku kira aku akan kehilangan jejak Aji, karena aku menaiki bus kota. Ternyata pemberhentian terakhir bus itu dekat dengan rumah Aji.
Aku cukup terkejut melihat rumah Aji. Rumahnya memiliki pagar beton setinggi bangunan berlantai dua. Rumahnya cukup terpencil dari kota, dikelilingi hutan lebat yang benar-benar gelap.
Sekarang aku tak yakin. Bagaimana cara agar bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan? Aku tidak memakai kostum kurir, sehingga akan mencurigakan jika aku tiba-tiba datang. Posisiku di halte ini juga terekam cctv, membuatku harus hati-hati dalam bergerak.
Untung saja aku membawa peralatan untuk melakukan aksiku. Dengan cekatan, aku melempar jarum suntik yang kubawa sekuat tenaga hingga mengenai cctv. Aku akan menghapus rekamannya nanti. Sekarang ... bagaimana?
***
Gimana dong? (•́︿•̀)
See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Postman Delivered Your Death
DiversosPara pejabat Metropolis terbunuh secara misterius setelah pajak di Metropolis naik sebesar 70 persen. Pembunuhan berantai itu membuat seluruh Metropolis gempar. Rakyat kaya mulai khawatir, sementara rakyat miskin cukup lega dengan kematian para peja...