Semua orang terdiam mendengar keputusan hakim, sementara aku sudah menduganya. Aku tak akan menolak. Aku sudah menyerah. Walaupun aku menggemborkan keadilan untuk rakyat, kurasa itu tidak akan berhasil. Aku akan tetap mati.
Begitu palu diketuk, aku mengangguk dan menuntaskan air mata yang tak kunjung selesai turun. Hakim dan jajarannya meninggalkan tempat, kulihat hakim itu masih menyimpan sebuah kemarahan. Aku melihat itu dari matanya.
Sekarang aku mencoba tetap bernapas. Dadaku masih terasa sakit saat pihak kepolisian menggiringku keluar dari ruang sidang. Kurasa aku akan diadili hari ini, pukul 3 sore. Itu hanya perkiraan, hakim tak mengatakan apapun soal waktu. Ia hanya mengatakan jika aku akan mati hari ini.
Sinar blitz kamera berhasil membuat mataku terpejam sepanjang perjalanan menuju mobil polisi. Para wartawan bersahut-sahutan, menanyakan hal-hal yang bahkan aku tak bisa mendengarnya. Telingaku dibuat tuli oleh para polisi, sebab mereka mendorong tubuhku untuk segera sampai ke mobil polisi.
Tapi, bukannya langsung masuk ke mobil polisi. Pihak kepolisian Metropolis membawaku ke hadapan ribuan wartawan dengan mikrofon dan kamera besarnya. Aku memandang para polisi di belakangku dengan tatapan tak paham, tapi seakan buta, mereka tak mempedulikan pandangan bingungku.
Tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, aku memutuskan untuk menghadapi ribuan wartawan ini sendirian. Lagi-lagi, kedipan ribuan kamera blitz hampir membuat mataku buta. Aku merasa gatal pada area mata, kurasa ini sudah sangat merah.
"Bagaimana tanggapan Anda tentang hukuman yang akan anda jalani?"
"Apa motivasi Anda melakukan pembunuhan para pejabat Metropolis itu?"
"Apakah benar Anda tidak memiliki pengalaman membunuh sebelumnya dan baru memulai aksi pada kasus kematian Sucipto Nataredyo?"
"Benarkah motivasi Anda melakukan pembunuhan adalah dendam kepada progam 70% for Metropolis Development?"
"Apakah Anda hanya membunuh dengan menggunakan pisau?"
"Bagaimana perasaan Anda sekarang setelah tertangkap? Jika sebelumnya Anda tahu, bakal tertangkap dan terkena hukuman mati, apakah Anda akan tetap melanjutkan aksi membunuh Anda?"
Sungguh, aku tak memiliki kekuatan untuk membalas seluruh pertanyaan wartawan-wartawan ini. Mereka masih terus membuka mulut, melayangkan pertanyaan yang semakin lama semakin menggila.
Aku menoleh ke belakang. Berharap para polisi mau menertibkan para wartawan ini. Tapi ternyata aku berharap terlalu banyak. Mereka tak peduli denganku. Aku akan membuat ini menjadi konferensi yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat Metropolis.
"Sebelumnya, saya ingin mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah membuat teror dikalangan masyarakat. Sebetulnya, saya memutuskan untuk membunuh para pejabat Metropolis yang bajingan itu ... setelah mengetahui kebusukan mereka. Mereka mengkorupsi uang pajak dari progam 70% for Metropolis Development. Mereka orang-orang tak bertanggung jawab yang menggunakan embel-embel dari rakyat untuk rakyat."
Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aku mengikuti apa yang psikolog katakan. Saat aku dalam keadaan yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya alias panik ... aku harus menarik dan membuang napas dalam-dalam.
Dalam diamku, para wartawan juga ikut terdiam. Sepertinya mereka menunggu hal yang akan aku katakan selanjutnya. Berbeda dengan para pembawa kamera, mereka terus-menerus melayangkan sinar blitz, membuatku frustasi.
"Saya ..., ada tengah-tengah menyesal dan tidak menyesal atas tindakan yang sudah saya lakukan. Karena ... saya merasa apa yang saya lakukan itu benar tapi juga salah. Saya bersungguh-sungguh mengatakan hal ini. Apakah saat seseorang yang sudah merugikan kita mati ... kita tak boleh senang? Saya rasa boleh. Tapi ..., saya sadar bahwa yang cara protes dan pembalasan saya lakukan ... salah. Tak seharusnya kita membunuh orang. Tak seharusnya kita menghancurkan hal berharga seseorang. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan kepada Anda sekalian. Saya harap, Metropolis menjadi tempat yang lebih baik kedepannya. Terima kasih," ujarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Postman Delivered Your Death
SonstigesPara pejabat Metropolis terbunuh secara misterius setelah pajak di Metropolis naik sebesar 70 persen. Pembunuhan berantai itu membuat seluruh Metropolis gempar. Rakyat kaya mulai khawatir, sementara rakyat miskin cukup lega dengan kematian para peja...