15. Didepan Toko Buah

21 2 0
                                    

Berada dalam truk ZNE, aku duduk sembari menatap ponsel yang menampilkan pesan singkat dengan ID ZNEex. Aku menebak jika pengirimnya mungkin HRD ZNE atau resepsionis yang gila.

Bagaimana cara mereka memantauku? Haruskah aku menanyakannya? Tapi ..., bagaimana jika aku dipecat?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Kurasa ada satu jam aku duduk di dalam truk. Aku benci berada pada saat dimana aku merasa bingung, seperti orang bodoh yang tak memiliki pendirian.

Aku menghela napas. Aku tak mau terlihat semakin bodoh, maka aku melihat kotak persenjataan yang ada di samping dan mengambil pisau yang masih berlumuran darah Slamet Arkana.

Tanganku mengusap mata pisau dengan jari telunjukku, senyum lebar merekah di wajahku. Target berikutnya ..., adalah Rendy Aghadia, Evan Faebrio, Marco Raden dan Sinestesia. Alasan aku memilih mereka, karena mereka satu komplotan dengan Sucipto Nataredyo dan Aji Suroso.

Mereka ikut andil dan menjadi kaki tangan untuk melakukan aksi korupsi yang jumlahnya tidak sedikit. Entah bagaimana informasi penting seperti itu dijelaskan secara rinci di dokumen serta berkas milik Sucipto Nataredyo dan Aji Suroso.

Untuk Sinestesia, aku akan membuat wanita itu menderita dengan melakukan hal yang paling mengerikan, aku rasa. Sinestesia tak hanya ikut menikmati hasil 70% for Metropolis Development, tapi dia juga memanipulasi beberapa pejabat Metropolis sehingga tunduk dan melakukan apa yang ia katakan. Yang mana, perintah yang diberikannya juga menyusahkan rakyat Metropolis.

Layaknya Medusa, wanita itu licik dan berbisa. Aku perlu hati-hati saat berhadapan dengannya. Bisa saja aku terjerat dalam belenggunya, yang mungkin akan membuatku tertangkap basah.

Omong-omong, aku belum menjenguk Arya lagi sejak terakhir kali. Gelar teman durhaka mungkin cocok disandingkan denganku, bukan salahku tak menjenguk. Salahkan ribuan paket yang meminta untuk diantar ke pemiliknya. Tapi, agar aku tak terlihat seperti teman yang bajingan, aku menjenguk Arya, masih dengan truk ZNE dan belum berganti pakaian juga.

Kurasa keadaan patnerku itu sudah lebih baik. Tak mungkin ia berbaring lemah dalam waktu yang ... lumayan lama. Atau Arya memang memiliki penyakit dalam yang tidak kuketahui? Aku akan bertanya kepadanya jika ingat.

Aku tak akan membeberkan perjalanan menuju rumah sakit yang membosankan. Singkat saja, aku tiba di rumah sakit dengan tangan yang membawa plastik berisi apel. Aku tak tahu apa yang harus kubawa untuk diberikan kepada Arya, makanya aku asal ambil.

Tunggu, aku punya sesuatu yang menarik. Saat aku membeli buah, diseberang jalan aku melihat interaksi dua pejabat Metropolis yang mendebat mengenai kasus kematian Slamet Arkana, padahal kasus itu belum di sebar kepada publik. Aku tak tahu mengapa berita tentang Slamet belum ditayangkan, mungkin pihak pemerintah berusaha menutupi kasus ini sehingga tidak ada orang yang tahu.

Mengingat Slamet Arkana memegang wewenang yang lumayan penting dalam program 70% for Metropolis Development, bisa jadi pemerintah tidak mau keributan semakin membesar. Kembali kepada dua orang pejabat Metropolis—yang aku sendiri tak tahu apa urusan mereka di depan toko yang tutup—mereka beradu kalimat, kupikir mulut mereka akan berbusa sangking cepat dan banyaknya mereka berbicara.

Walaupun tanganku memilah-milah apel, mataku tak bisa lepas dari dua pejabat itu. Berbekal pendengaran yang tajam, aku menguping tanpa diketahui.

"Slamet Arkana ... mati!"

"Kau benar! Aku mendengar kabar itu tadi saat rapat. Bukankah dia mati dibunuh oleh OB yang mengantarkannya kopi?"

"Aku tidak tahu tentang itu. Tapi ..., entah kenapa aku sangat yakin jika dalang dari pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini adalah orang yang sama!"

"Kau yakin? Kelihatannya Slamet Arkana tidak. Walaupun kudengar cara matinya sama dengan korban-korban sebelumnya. Yang cara matinya berbeda malah—"

"Malik Arifianto! Dia tembak! Ini aneh."

"Aneh? Apa kau berpikir ... karena dia ditembak? Sehingga pelakunya berbeda?"

"Ya ..., kupikir begitu. Sama ataupun tidak, kita harus berhati-hati. Orang ini mengincar pejabat-pejabat Metropolis! Kurasa ... pejabat-pejabat yang terlibat pada 70% for Metropolis Development menjadi incaran utama!"

"Kalau begitu ..., kita harus berhati-hati Smith. Kalau bisa ..., kita harus menunjukkan bahwa kita bukan orang yang mengambil bagian!"

"Kau benar Haryo."

Oke, itu yang aku dengar. Sisanya tidak terdengar, sebab mereka mulai berbisik-bisik. Apa aku peduli? Tentu tidak. Mereka cukup ceroboh untuk membicarakan hal seperti itu ditempat umum.

Tak terasa, lamunanku tentang dua pejabat Metropolis tadi ... membuatku tidak sadar jika aku sudah sampai di ruang rawat inap milik Arya. Tanpa ba-bi-bu, aku masuk ke dalam. Disambut wajah pucat Arya yang sudah membuka mata dan menatapku dengan datar.

"Hey! Kau sudah bangun! Bagaimana keadaanmu?" tanyaku.

"Semuanya baik. Aku hanya butuh perawatan lebih lama lagi. Dokter sialan bilang aku harus menemukan alasan, alasan aku bersemangat hidup sehingga bisa sembuh lebih cepat," balasnya.

Aku tertawa kecil. Aku tidak pernah melihat atau merasakan ambisi Arya. Laki-laki ini cukup tertutup.

"Bisa kau nyalakan televisi? Aku bosan mendengar suara bip bip bip dari alat bodoh di sampingku ini," pinta Arya.

"Tentu. Tapi ..., mungkin akan berisi berita penyelidikan dan kasus kematian para pejabat Metropolis. Takutnya ..., kau akan ambruk?" balasku.

"Tidak perlu khawatir. Aku sudah lebih baik. Nyalakan saja."

Aku menuruti permintaan Arya. Laki-laki itu bahkan menyerahkan pemilihan stasiun televisi kepadaku. Benar saja, seluruh stasiun televisi membahas kematian Slamet Arkana yang mengenaskan dan juga Malik Arifianto yang baru saja naik—dikenal dan mendapatkan bagian pajak—namanya.

Beberapa wartawan yang meliput berita tersebut terllihat malas dengan apa yang ia beritakan sendiri. Kupikir ia merasa jika pembunuhan pejabat Metropolis sudah menjadi fenomena biasa di Metropolis.

Kurasa aku harus membuat keributan yang sangat menghebohkan sehingga orang-orang senang dan tertarik. Membayangkan hal itu membuat senyumku melebar tanpa kusadari.

"Kau sudah gila?" kata Arya memecah bayang-bayangku.

"Tentu tidak. Aku hanya lelah dengan pekerjaan," balasku seadanya.

Kami berdua kembali fokus menonton televisi yang tertempel di dinding ruangan Arya. Aku yakin ruangan ini masuk ke jajaran ruang VIP dilihat dari fasilitasnya. Jangan-jangan Arya orang kaya yang kurang kerjaan?

Stasiun televisi yang kami tonton menampilkan rekaman cctv di ruang kerja Slamet Arkana. Tentunya dengan versi yang sudah aman untuk tayang di televisi. Walau begitu, aku masih bisa melihat kebrutalanku saat melakukan pembunuhan.

Kukira Arya akan berhenti menonton, sebab tak kuat menahan gejolak perutnya. Tapi laki-laki itu malah mendekat dan menonton berita malam itu dengan saksama.

" ..., berdasarkan rekaman cctv, pelaku pembunuhan dari Slamet Arkana adalah OB berinisial D yang mengantarkannya kopi. Terlihat jelas bagaimana brutalnya D saat melakukan pembunuhan terhadap Slamet Arkana di ruang kerjanya. Polisi masih berusaha menyelidiki motif dari pelaku. Sayangnya, sebelum pelaku diringkus, pelaku di temukan tewas di toilet kantor kementerian sosial dan perpajakan."

Aku menganga mendengar berita itu. Dito mati? Bagaimana bisa? Posisi dia mati juga ada di toilet, kurasa bilik toilet yang sama, tempat dimana aku membius dan meninggalkannya. Apakah ... aku membunuhnya? Tapi ..., itu hanya khloroform, obat itu tidak akan membuat orang mati.

"Ini keren," gumam Arya yang masih bisa kudengar jelas.

***
Makin banyak orang yang keseret, banyak orang yang harus dipenggal awokawok
See ya!

Postman Delivered Your Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang