Aku berusaha untuk tidak tertawa saat di interogasi polisi. Sungguh, aku sangat ingin tertawa, tapi tentunya akan menjadi hal bodoh jika itu terjadi. Sebelumnya, sore itu aku pulang setelah menghabisi Andrea Bagas Kurnia.
Baru saja aku menginjakkan kaki di dalam rumah, seseorang mengetuk pintu. Aku cukup terkejut melihat polisi mendatangiku, tapi akhirnya aku menetralkan wajahku dan mencoba untuk tidak terlihat mencurigakan.
Sebenarnya aku sudah mengajak polisi ini untuk masuk, tetapi dia tidak mau. Sehingga interogasi dilakukan dengan berdiri di depan pintu rumahku yang sudah reyot.
"Sebelumnya saya akan menanyakan beberapa hal kepada saudara. Saudara haya cukup menjawab dengan singkat dan jelas. Bisa dimengerti?" tanya polisi di hadapanku.
Aku mengangguk. Kulihat polisi itu menyiapkan pena dan sebuah buku catatan. Sepertinya pihak kepolisian mencurigaiku karena aku menjadi orang yang bertemu dengan Sucipto sebelum ia terbunuh. Aku harap aku tidak tertawa saat dibombardir pertanyaan.
"Baik. Sebelumnya apakah saudara sudah tahu apa yang terjadi dengan Bapak Sucipto Nataredyo?" tanyanya.
"Iya, Saya tahu. Pagi ini saya melihat berita di televisi. Saya turut berdukacita," kataku dengan nada senetral mungkin.
Berdukacita? Oh tentu tidak! Siapa yang mau berdukacita setelah hidupnya dibuat kesulitan? Ditariki pajak tinggi hingga tak dapat menikmati hidup dengan perasaan tenang. Bahkan uang pajak itu dinikmati oleh pejabat-pejabat tak bertanggungjawab. Fuck you!
"Baik. Saya bertanya kepada saudara, dikarenakan saudara menjadi orang yang kiranya menjadi orang terakhir yang bertemu dengan korban. Jadi, apa yang saudara lakukan pada kurun waktu 5-6 pm?" katanya.
"Iya, Pak. Hari itu memang saya mengatakan paket kepada Bapak Sucipto Nataredyo. Saat itu dia langsung menyelesaikan prosedur menerima paket dari ZNE, tanpa berbicara kepada saya. Saya yang saat itu juga terburu-buru ingin ke toilet, tidak berlama-lama dan memutuskan untuk pergi ke toilet di lantai yang sama," kataku seadanya.
Kuharap alibi toilet itu berhasil. Jika tidak, mungkin aku harus meminta polisi ini untuk bertanya kepada rekanku Arya. Aku memang sengaja pamitan kepada Arya saat ke toilet—yang tentunya bohong.
"Baik. Apakah saudara melihat seseorang masuk ke apartemen korban?" tanyanya lagi.
"Tidak. Begitu selesai dengan urusan toilet, saya langsung turun dan pergi dari lantai 10," kataku mencoba meyakinkan polisi ini.
"Baik. Apakah saudara mendengar suara gaduh dari apartemen korban?"
"Ehm ..., tidak? Tapi saya mendengar dia berdebat dengan seseorang? Atau entahlah saya tidak ingin ikut campur saat itu."
Polisi itu terlihat mencatat semua kesaksianku. Dia bahkan mencoret dan membuat satu lembar buku catatannya penuh. Sepertinya kasus tanpa jejak pelaku membuat polisi Metropolis kewalahan. Sungguh aku ingin tertawa saat ini juga.
"Baik. Terima kasih atas kesaksian Saudara. Kami akan menanyakan beberapa hal lagi kepada saudara di lain kesempatan," kata si polisi.
"Sama-sama, Pak."
Begitu polisi itu menjauh dari rumahku, aku bergegas masuk dan mengunci pintu. Lantas tawaku pecah. Aku tak bisa menahan tawaku, aku berhasil membuat polisi Metropolis kebingungan.
"Hahahaha! Sungguh, dasar orang-orang bodoh! Atau mungkin aku yang terlalu jenius? Hahahaha!" monologku.
Oke, aku tak ingin tertawa terus-terusan. Aku harus menentukan pergerakanku kedepannya. Aku sempat terpikir, jika aku terus menghabisi nyawa pejabat Metropolis saat aku bekerja ... bukankah akan ketahuan pada akhirnya?
Mungkin aku harus mencoba untuk melakukan aksi di hari lain, atau saat shift kerjaku berakhir. Aduh aku sudah tidak sabar! Oh ya! Kasus Andrea belum muncul di berita! Aku penasaran apakah Sinestesia benar-benar akan dijadikan tersangka?
Jika iya, maka aku tak akan bisa menyembunyikan kesenanganku ini. Mungkin saja Sinestesia akan menjadi tersangka pembunuhan Sucipto Nataredyo juga, sebab pola pembunuhannya mirip-mirip.
Aduh aku senang sekali jika hal itu terjadi. Apakah aku sudah menjadi psikopat seperti di film-film? Atau aku harus lebih kejam lagi?
Ketika aku menikmati kesenanganku, ponselku berdering. Arya meneleponku. Jarang-jarang Arya menelepon. Seperti yang kubilang sebelumnya, Arya jarang sekali berinteraksi denganku. Interaksi kami hanya sebatas rekan kerja yang selalu berada di shift yang sama.
"Halo? Ya', ada apa?" tanyaku.
"Hei, apakah ... kau diinterogasi polisi juga?"
Nada bicaranya terdengar bergetar. Mungkinkah dia syok? Ya bisa jadi, sebab dia dicurigai sebagai tersangka pembunuhan seorang pejabat. Kalau aku bukan seorang psikopat, pasti aku juga sudah ketakutan. Ya ..., sebenarnya jika aku takut mungkin akan lebih dicurigai.
"Iya, aku juga."
"Bagaimana kau menjelaskannya?"
"Aku hanya bilang jika setelah mengantar paket korban, aku pergi ke toilet di lantai yang sama dan selesai."
"Oke, aku juga mengatakan jika kau ingin pergi ke toilet setelah paket diantarkan. Oke, baiklah. Sampai jumpa besok."
"Daah," kataku mengakhiri panggilan.
***
"..., korban bernama Andrea Bagas Kurnia. Penjabat Metropolis yang masih muda itu tewas mengenaskan dengan isi perut yang berceceran dan kepala yang terlepas dari badan. Polisi menduga bahwa pelaku adalah Sinestesia. Sinestesia, yang juga merupakan pejabat Metropolis ... berada di lokasi kejadian dengan sidik jarinya yang menempel di pisau dapur."Sungguh, pagi ini moodku akan menjadi sangat bagus! Sesuai rencana, Sinestesia dijadikan tersangka sementara oleh kepolisian. Aku memang berencana membunuh wanita itu, tapi jika membuat dia mendekam dipenjara terlebih dahulu ... bukankah itu lebih menyenangkan?
"Sinestesia, sebagai tersangka sementara, mengelak dari semua tuduhan yang diberikan kepadanya. Wanita tu berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa. Yang diingatnya adalah saat terakhir ia berhubungan dengan Andrea. Polisi masih menyelidiki kasus kematian Andrea Bagas Kurnia. Untuk saat ini, Sinestesia diamankan di Kantor Polisi Metropolis Pusat. Demikian ...."
Aku benar-benar bahagia. Mungkin ... aku harus melakukan aksi lagi sehingga teori dan konspirasi bahkan media berita meliput kematian pejabat-pejabat secara misterius. Untuk saat ini, aku sudah punya target berikutnya. Tapi ... mungkin para pejabat Metropolis sudah mulai waspada dan memperketat keamanannya masing-masing.
Aku tak peduli tentang penjagaan para pejabat Metropolis yang diperketat. Asal aku bergerak cepat dan tidak meninggalkan bukti, aku tidak akan tertangkap. Mari kita mulai shift pagi ini dengan riang gembira.
Sebelum itu, aku akan mengasah pisau-pisauku agar menjadi lebih tajam. Agar ketajaman itu menghancurkan para pejabat Metropolis dengan sekali gores. Entah kenapa, aku tak bisa menahan senyumku.
Jujur saja, aku tak pernah sebahagia ini. Mungkin memang aku sudah ditakdirkan menjadi psikopat, sebab aku merasa lebih hidup saat melihat seseorang hancur di tanganku sendiri. Tentu saja aku hanya mengincar orang-orang busuk, menghabisi nyawa orang tidak bersalah akan membuatku menjadi pecundang.
Tak terasa, pisau yang ada di tanganku sudah menjadi sangat tajam. Bahkan hanya dengan gesekan kecil, jariku sudah meneteskan darah segar. Entah mendapat pencerahan dari mana, darah segar itu terlihat enak untuk dijilat.
"Let's play and go to hell, bastard."
***
Mode maraton pls ayo bisa ^-^
See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Postman Delivered Your Death
De TodoPara pejabat Metropolis terbunuh secara misterius setelah pajak di Metropolis naik sebesar 70 persen. Pembunuhan berantai itu membuat seluruh Metropolis gempar. Rakyat kaya mulai khawatir, sementara rakyat miskin cukup lega dengan kematian para peja...