17. Pembunuhan yang Menyenangkan

6 1 0
                                    

Adrenalinku naik, aku tahu Evan sudah mati. Tapi, aku kurang puas jika kepala Evan belum terlepas dari tubuhnya. Hanya saja orang di depan pintu mulai menggedor pintu dengan kencang. Aku tak mau tertangkap basah, makanya aku dengan cepat mencabut pisau dari dadanya dan menggoreskannya tepat di leher.

Hanya dalam 1 menit, aku berhasil memisahkan dua bagian tubuh yang membuat senyumku merekah. Aku tak tahu sudah berapa liter darah yang keluar, yang jelas sofa yang Evan duduki berlumuran darah.

Aku menatap pintu yang masih digedor. Aku meraih dokumen yang tadi dibaca Evan dan bersiap untuk kabur, tetapi orang yang sedari tadi menggedor pintu menampakkan diri di depan jendela.

Oke, aku panik. Gorden yang terpasang di jendela sangat tipis, memungkinkan seseorang bisa melihat isi rumah jika menerawang. Aku menunduk merangkak perlahan, berharap sosokku tidak tertangkap.

Saat aku berbalik, pintu rumah Evan mulai didobrak. Orang itu mungkin sudah sadar dengan kehadiranku, dengan cepat aku berdiri dan berlari keluar. Masih dengan jaket yang berlumuran darah, aku masuk ke dalam truk dan tancap gas.

1 kilometer aku menjauh, lantas aku memberhentikan truk. Menarik napas dan mencoba menetralkan detak jantung. Aku meneliti diriku dan perlengkapanku. Pisau yang aku gunakan ada disini, dokumen penting milik Evan ada di tanganku. Oke, aku menarik napas dengan lega.

Aku harap tidak meninggalkan jejak yang bisa membuatku tertangkap. Jika ada yang tertinggal, aku bisa mati detik ini juga.

Jika kalian pikir aku akan berhenti setelah membunuh Evan, maka kalian salah. Sebelumnya aku sudah bilang, jika aku akan menggemparkan seluruh Metropolis. Maka ..., mari kita bantai orang-orang bajingan ini! Oke, paket berikutnya ... Rendy Aghadia

***

Aku tak tahu apa yang menyebabkan wartawan ada di setiap sudut Metropolis. Di depan gedung apartemen milik Rendy Aghadia, ada 10 wartawan lengkap dengan staf-staf lain beserta kamera besarnya. Ini semakin rumit.

Apakah mereka sengaja mencari kemungkinan-kemungkinan target berikutnya? Lalu berlomba-lomba menjadi stasiun televisi pertama yang memberitakan kematian misterius pejabat Metropolis?

Aku menghela napas. Memulai pekerjaanku seperti biasa, mengantarkan paket, menerima tanda tangan, dan memotret foto dan selesai.

Sengaja, aku menghindari kamera wartawan. Tak ingin terlihat dan terlibat lebih jauh. Karena jika terlihat, sudah pasti polisi akan menginterogasi diriku. Aku tak punya waktu untuk bolak balik dari lantai dasar ke lantai 9.

Lagipula, tidak ada halaman belakang di apartemen Rendy. Jika aku terekam kamera wartawan, aku akan dicurigai karena terlalu lama di apartemen Rendy. Kalau aku ketahuan, aku tak mungkin melompat dari lantai 9 ke dasar sana.

Seperti biasa, aku memberi paket, penerima paket membubuhkan tandatangan dan berpose kaku di layar ponselku. Sebenarnya aku ingin langsung menghabisinya, tapi entah mengapa pembunuhan Evan tadi tidak menyenangkan.

Tanpa aba- aba aku melempar dua pisau dapur yang mana tepat mengenai perut dan dadanya. Pria itu terjatuh dengan mata uang melotot tidak percaya.

"S-siapa kau?" tanyanya sembari merintih.

Aku tersenyum miring, mendorong tubuhnya dan membanting pintu masuk. Dorongan itu membuatnya tersungkur, mengakibatkan pisau yang ada di tubuhnya menancap semakin dalam.

Pria itu mengerang dengan keras. Napasnya tersengal-sengal, tangannya berusaha mencabut pisau yang masih menancap di dada dan perutnya. Aku menunggu, menonton jerih payah Rendy yang tak akan berguna itu.

Postman Delivered Your Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang