2. Darah Segar

8 4 0
                                    

*** Peringatan: Part ini berisi pembunuhan🔪, darah🔴 dan hal-hal yang dapat mengganggu pembaca ⚠️⚠️⚠️

***

12 hari lamanya aku bekerja di ZNE. Tugasku sederhana. Mengantarkan paket sesuai alamat, meminta tandatangan penerima paket dan memotret penerima paket. Tugas mudah tapi gajinya lumayan untuk membayar pajak sebesar 70%. Tapi tetap saja, aku tak sudi membayar pajak yang sangat besar itu.

Selama kurang lebih dua Minggu aku mengamati para penerima paket. Hampir seluruh paket yang aku antar adalah milik Pejabat Metropolis. Hal itu memudahkanku untuk mengamati setiap gerak-gerik para pejabat. Aku sadar jika sesuatu harus didalami terlebih dahulu sebelum dilakukan. Makanya selama 12 hari bekerja di ZNE, aku belum melakukan aksiku.

Untuk sekarang aku sudah cukup mantap dengan satu target. Sucipto Nataredyo. Pejabat Metropolis yang menjadi salah satu penikmat uang rakyat. Aku tahu dari berkas-berkas miliknya yang dibiarkan bercecer di atas kasur.

Singkatnya, kemarin aku memberanikan diri untuk menyusup masuk ke apartemen mewahnya. Saat itu aku mengantar paket berisi barang antik hasil pelelangan. Entah keberuntungan atau apa, Sucipto Nataredyo menerima paket dalam kondisi mabuk.

Hal itu aku manfaatkan untuk menerobos masuk ke dalam apartemen. Dengan Khloroform yang sengaja aku siapkan jauh-jauh hari, Sucipto berhasil ku buat tertidur pulas. Sudah 8 kali aku mengantarkan paket ke apartemen Sucipto dan aku tau jika pria tua itu tinggal sebatang kara.

Langkah kakiku membawaku menuju kamar utama yang ada di apartemen mewah itu. Disana aku melihat banyaknya berkas berserakan. Butuh waktu 15 menit lamanya untuk membaca berkas secara keseluruhan.

Kemarahanku mendidih melihat segala bentuk korupsi dan perlakuan pejabat Metropolis kepada rakyatnya. Berkat Sucipto Nataredyo, aku bahkan mendapatkan daftar nama pejabat Metropolis yang terlibat dalam program 70% for Metropolis Development.

Namun, aku tak langsung beraksi sore itu. Aku memutuskan untuk beraksi setelah aku melakukan persiapan dan itu adalah hari ini.

Dengan dua kotak paket di tanganku, satu paket Sucipto Nataredyo dan satu lagi kotak kosong untuk meletakkan kepala seorang koruptor yang berhasil menjaga citranya di hadapan rakyat. Tetapi besok, semua hal itu akan hancur.

Seperti biasa, paket aku antar bersama Arya. Lantas terjadi percakapan singkat yang menurutku bisa menjadi alibi untuk kesaksianku, jika aku ditanyai oleh polisi Metropolis.

"Ya', setelah mengantar paket ini. Aku ke toilet ya? Kebelet," kataku singkat.

"Oke," balas Arya tanpa curiga.

Begitu mendapatkan jawaban, aku segera melangkah menuju lantai 10, tempat dimana apartemen Sucipto Nataredyo berada. Apartemen 200 adalah unit milik Sucipto. Letaknya tepat di samping lift, sehingga begitu sampai di lantai 10, akan langsung terlihat apartemennya.

Aku juga sudah memikirkan eksekusi ini matang-matang, tetangga Sucipto takkan pulang sebelum pukul 9 malam. Posisi cctv lantai 10 tidak menghadap ke apartemen Sucipto Nataredyo, cctv itu hanya menangkap gambar dari apartemen 208 hingga apartemen 201—unit di sebelah apartemen Sucipto.

"Benar-benar sebuah rencana yang sangat matang," monologku sebelum membunyikan bel apartemen Sucipto.

"ZNE! Paket!" teriakku agak pelan sembari menekan bel.

Tak butuh waktu lama, Sucipto Nataredyo keluar mengambil paket, menandatangani surat tanda terima, lantas berpose kaku saat aku memotret wajahnya. Ia hendak berbalik, tapi kalah cepat dengan pisau dapurku yang menancap tepat di lehernya. Darah segar mengalir begitu saja.

Pria tua itu hendak teriak, tapi dengan cekatan aku mendorong tubuhnya yang gempal dan menutup pintu apartemen hingga ter-lock otomatis. Si tua bangka itu berusaha melawanku, tapi ia tak lagi bertenaga.

"Selamat datang di neraka, Sucipto Nataredyo," ujarku sembari tertawa terbahak-bahak.

"SIAPA KAU?!" teriak orang tua itu.

"Aku? Aku adalah malaikat pencabut nyawamu, rasakan penderitaanmu dasar sampah!"

Aku melempar dua pisau dapur yang mana tepat mengenai dahi dan dadanya. Pria tua itu terjatuh dan bersujud. Mungkinkah dia ingin pengampunan?

"T-tolong a-ampuni aku...," rintihnya.

"Apa? Ampun? Kau hidup enak dengan uang pajak rakyat! Sebanyak 70% pajak kau gunakan untuk hidupmu yang penuh kemewahan itu! Sekarang kau meminta ampunan? Atas dasar apa aku harus mengampunimu?" kataku sembari mencabut pisau dapur dari dahinya.

Pria tua itu mengerang dengan keras. Ia tak menjawab apa yang aku katakan. Napasnya tersengal-sengal, tangannya berusaha mencabut pisau yang masih menancap di dadanya.

Melihat itu aku tersenyum. Dengan gerakan cepat aku mendorong tubuhnya hingga terbentur meja kaca yang terletak di tengah ruang tamu.

"Kau mau pisau itu dicabut?" tanyaku.

Pria tua itu menatapku dengan lesu. Wajahnya pucat sebab banyak darah yang keluar dari tubuhnya.

"Ayolah, buat ini lebih seru!"

Aku mencabut pisau dari dadanya dan menusukkannya kembali ke perut buncitnya. Darah segar merembes keluar dari kemeja yang Sucipto kenakan. Pria tua itu bahkan terbatuk darah. Darah yang keluar dari mulut pria tua itu mengenai wajahku, darah itu panas dan membuatku semakin bergairah untuk menghabisi nyawa Sucipto.

Tanpa menunggu lebih lama, aku mencabut pisau dari perutnya dan menusukkannya kembali. Begitu terus berulang hingga suara Sucipto tak lagi terdengar. Tak terhitung jumlahnya, yang jelas kemeja putih yang pria tua ini kenakan tak lagi berwarna putih, melainkan warna merah darah. Aku terduduk, tertawa melihat tubuh Sucipto yang bentuknya sudah sangat berantakan.

"See you in hell, bastard!"

Finalnya, aku mencabut pisau yang sedari tadi nyaman di leher Sucipto. Lantas ku gores memutar leher hingga lehernya terputus. Kepalanya jatuh menggelinding ke kakiku, aku memungutnya dan menampar kepala itu beberapa kali lantas membantingnya. Seperti yang kubilang sebelumnya, kepala koruptor itu aku masukkan ke dalam kotak dengan tulisan 'Giliran kalian'. Aku harap para pejabat Metropolis yang lain akan meras ketakutan dan aku tak sabar melihat wajah tak berdaya mereka.

Jika kalian kira aku melakukan aksi itu tanpa sarung tangan, maka kalian salah. Aku sudah memperhitungkan semuanya, tidak akan ada jejak yang tertinggal di tempat ini. Semuanya bersih, hanya ada darah Sucipto yang menggenang di seluruh lantai ruang tamu dan tak akan ada yang mengira jika pembunuh Sucipto Nataredyo adalah seorang kurir paket.

Oke, selesai sudah hari ini. Aku masuk ke kamar mandi dan mengganti pakaian kerjaku dengan setelan yang lain. Tentunya agar Arya, rekanku, tak curiga. Sebelum keluar dari apartemen Sucipto. Aku sempat melihat kepalanya yang tergeletak tak berdaya di dalam kotak, dan tertawa kecil.

"Satu target mati!"

***


"Sori lama, Ya'. Mules sekali tadi. Jadinya lama di toiletnya," ujarku dengan tenang.

"Tidak masalah, lagipula hari ini tersisa satu paket lagi. Ayo bergegas," balas Arya.

"Oke bos," kelakarku.

Aku tersenyum saat membuka pintu truk. Arya tidak tahu saja jika dibalik jaket ZNE ini, berisi pisau-pisau yang bersimbah darah. Untung saja rekanku pilek, sehingga tidak bisa mencium bau anyir darah Sucipto.



***
Ges, aku balik setelah 12 hari digempur tugas kelompok (⁠-⁠_⁠-⁠;⁠)⁠・⁠・⁠・
See ya!

Postman Delivered Your Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang