Keempatbelas

273 60 27
                                    

"Wahai cantikku Jelita. Izinkan kakanda mendekatimu adinda."

Arbi berjalan secara perlahan menuju Jelita yang terdiam di atas ranjang.

Arbi menyentuh pelan tangan Jelita, lalu didenggam dan ia cium tangan kanan milik Jelita.

"Saya mencintaimu Jelita. Tolong lepaskan status duda dalam diri saya dan mari kita bahagia bersama."

Jelita melepaskan tangannya yang digenggam oleh Arbi. "Do-Dokter Arbi ngapain sih? kan sudah aku bilang, nggak boleh suka sama aku."

"Tipe aku kan reporter." Sambung Jelita lagi.

"Kalau Jelita berkehendak, saya bisa menjadi reporter sekarang juga dan meninggalkan pekerjaan saya sebagai Dokter." Arbi memegang kedua pipi Jelita menggunakan kedua tangannya. "Saya juga bisa menjadi peramal cuaca kalau Jelita mau. Apapun tipe pekerjaan lelaki yang Jelita suka, akan saya kabulkan." Titahnya.

"Tatap mata saya Jelita!" suruh Arbi.

"Saya mencintaimu lebih dari lubang yang mencintai kentut. Jelita, kalau kamu mencintai saya juga, mari berciuman."

"Kalau aku mencium Dokter, apa sekarang kita bakalan menikah dan punya anak terus memelihara kangguru?" tanya Jelita malu-malu.

Arbi mengangguk. "Iya, kita bakalan menikah. Penghulu akan datang memakai helikopter, dan kangguru akan muncul dari lubang toilet."

"Aku mau Dokter. Saat tua nanti mari kita tinggal di padang pasir hingga ajal menjemput." Jelita mendekati wajahnya ke Arbi, kemudian bibir Jelita menyentuh bibir Arbi.

Mata Jelita terbuka lebar. Jelita mengitari seluruh ruangan di kamar inapnya. Kosong, tidak ada siapa-siapa dan Jelita cuma sendiri disini.

Jelita mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Astaga, dia mimpi buruk, sialan. Bisa-bisanya Jelita memimpikan Dokter Arbi.

Jelita menggigit jarinya. Apa jangan-jangan dia mimpiin Dokter Arbi karena menyebut Dokter Arbi ganteng?

Jelita memukul kepalanya agar kejadian dimimpi tadi hilang dari ingatannya. Kenapa juga di mimpi percakapan dia sama Dokter Arbi aneh banget.

Jelita mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, ia menyalakan ponselnya untuk melihat jam, rupanya sudah jam 18.00.

Suara pintu di ketuk terdengar di telinga Jelita. Jelita melihat kearah pintu dan menunggu pintu tergeser untuk melihat siapa yang mengetuknya.

"Nona."

Rupanya Haga, detektif yang sekarang bertugas sebagai penjaganya selama seminggu.

"Kenapa?" tanya Jelita sambil menaruh kembali ponselnya.

"Dokter Aren tadi kesini, katanya ingin mentraktir Nona di cafe rumah sakit. Tapi, Nona sedang tidur, jadi dia menitipkan pesan sama kami." Ujarnya.

"Kalau Nona mau kita bisa langsung kesana, soalnya Dokter Aren sudah di cafe." Sambung Haga lagi.

"Boleh deh."

Mendengar persetujuan dari Jelita, Haga dan Jairi langsung masuk ke dalam.

Jairi mengambil kursi roda untuk Jelita dudukin, sedangkan Haga menggendong Jelita untuk duduk di kursi roda.

─‌─‌

Jelita, Haga dan Jairi sudah berada di cafe rumah sakit. Mereka mengedarkan pandangannya untuk mencari Dokter Aren.

"Itu disana," Jairi menunjuk ke arah selatan.

Terlihat Dokter Aren sedang duduk sendirian sambil memainkan ponselnya.

UNITE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang