I

752 44 0
                                    

Seorang pelayan istana mendekat, suaranya lembut namun tegas, "Tuan putri, yang mulia Raja memanggil Anda untuk menemui beliau."

Arvinda, yang sedang menata koleksi kain sutra, mengangkat wajahnya. "Oh, Ayah memanggilku? Baiklah, aku akan pergi setelah menyelesaikan urusan ini."

"Baiklah, tuan putri," jawab pelayan itu sambil membungkuk hormat sebelum berlalu.

Arvinda menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, lalu Ia berjalan menuju kamar tidur Raja, dengan langkah yang sedikit gugup.

"Selamat malam, Ayah, Ibu," sapa Arvinda dengan senyum lembut.

Raja, yang terbaring lemah di ranjang, tersenyum hangat. "Anakku, kemarilah!"

Arvinda duduk di tepi ranjang, menatap wajah Ayah yang pucat. "Ada apa Ayah memanggilku malam-malam?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Begini, anakku," Raja menarik napas dalam-dalam, "Ayah mendapatkan undangan dari Hastinapura untuk menghadiri upacara penobatan pangeran mahkota. Tapi seperti yang bisa kau lihat, kondisiku tidak memungkinkan untuk menghadiri undangan itu. Bolehkah Ayah meminta sesuatu padamu?"

Arvinda mengerutkan kening, "Ayah ingin aku mewakili Ayah untuk menghadiri undangan itu?"

"Putriku memang sangat pintar," Raja tersenyum bangga, "Bisakah kau memenuhi permintaan Ayah, nak?"

Arvinda mengangguk, "Tentu saja. Aku akan datang untuk mewakili Ayah. Kapan upacara itu dilaksanakan?"

"Dua hari lagi, nak. Kau bisa bersiap-siap dari sekarang, siapkan barang-barang yang akan kau bawa."

"Baiklah, Ayah. Apakah ada hal lain yang ingin Ayah sampaikan padaku?"

"Cukup itu yang ingin Ayah sampaikan padamu. Kau boleh kembali ke kamarmu dan beristirahatlah."

"Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku. Ayah, beristirahatlah yang cukup agar cepat pulih dan bisa bermain dengan ku!" Arvinda mencium pipi Ayah sebelum beranjak pergi, hatinya dipenuhi dengan rasa tanggung jawab dan sedikit kegembiraan untuk perjalanan yang akan datang.

~

~

~

Hari berlalu begitu saja tak terasa mentari sudah menunjukkan wujudnya, pikiran Arvinda dipenuhi dengan persiapan untuk perjalanan ke Hastinapura. Ia memanggil Darma, pelayan setianya, "Darma, apa semua barangku sudah disiapkan?"

"Sudah, tuan putri," jawab Darma dengan hormat, sambil menunjuk tumpukan peti kayu yang tertata rapi di tengah ruangan.

"Bagus," Arvinda mengangguk puas. "Tidak perlu membawa banyak barang, karena kita hanya dua hari di sana. Jangan lupa bawa semua ini," ia menyerahkan sebuah kotak kecil berisi perhiasan dan aksesoris, "Aku akan pergi menemui Ayah terlebih dahulu."

Arvinda bergegas menuju kamar Raja, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia menemukan Ibu sedang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lelah. "Ibu, bagaimana kondisi Ayah?" tanyanya dengan suara lembut.

"Kondisi Ayahmu belum membaik, Nak. Sepertinya kondisinya semakin memburuk," jawab Ibu dengan nada sedih.

"Ibu... Apakah aku memang harus pergi? Kondisi Ayah sedang tidak baik baik saja," Arvinda merasa bimbang.

"Anakku, pergi ke Hastinapura adalah permintaan Ayahmu. Dia ingin kau mewakilinya. Kau tahu kan kedekatan kerajaan kita dengan Hastinapura, sebuah kehormatan jika kita menghadiri undangan itu," Ibu berusaha meyakinkan Arvinda.

Saat itu, Raja memanggil, "Arvinda... Putriku... kemarilah, Nak."

Arvinda mendekat dan mencium tangan Ayah yang terbaring lemah. "Ayah, bagaimana kondisimu? Apakah Ayah masih merasakan sakit?"

"Tidak, anakku, Ayah baik-baik saja. Apakah kau sudah menyiapkan barang-barang yang akan kau bawa ke Hastinapura?"

"Tentu saja, Ayah. Semua barang yang aku butuhkan sudah disiapkan."

"Bagus, kalau begitu. Jika kau sudah sampai di Hastinapura, tolong sampaikan salam dan permintaan maafku pada Raja Dhritarashtra."

"Pasti, Ayah. Akan kusampaikan salam dan permintaan maaf Ayah pada Raja Dhritarashtra. Ayah fokus saja pada kesehatanmu, agar ketika aku pulang nanti, kondisimu sudah membaik."

"Baiklah, sebagai gantinya, Ayah akan memenuhi permintaan putri kesayangan Ayah ini." Raja tersenyum hangat, meskipun raut wajahnya masih tampak lelah.

~

~

~

Arvinda menghela napas, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi Ayahnya. Ia menoleh pada Darma, yang sedang memeriksa kembali barang barang yang akan dibawa. "Darma, menurutmu perjalanan kita ke Hastinapura akan menghabiskan waktu berapa lama?"

"Jika dilihat dari jarak antara Kekaya dan Hastinapura, mungkin kita hanya akan menghabiskan waktu selama satu hari, tuan putri," jawab Darma sambil tersenyum.

"Aku merasa cemas," gumam Arvinda, "Ini pertama kalinya aku mewakili Ayah untuk menghadiri undangan."

"Darma, tolong jangan tinggalkan aku sendirian ketika di Hastinapura," pinta Arvinda, suaranya sedikit gemetar.

Darma mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Arvinda. "Tuan putri, aku tidak akan mungkin meninggalkan dirimu sendirian disana, aku akan selalu ada di sisimu. Lagipula, teman tuan putri ada disana."

"Teman?" Arvinda mengerutkan kening, "Siapa?"

"Ya, ada tuan putri Dursala, apakah tuan putri lupa?" Darma mengingatkan dengan lembut.

"Ah iya! Kau benar Darma. Aku lupa kalau Dursala berasal dari Hastinapura. Itu berarti aku harus menyiapkan sesuatu untuk Dursala," Arvinda teringat akan sahabatnya yang berasal dari Hastinapura.

"Tuan putri ingin memberikan hadiah apa pada tuan putri Dursala?" tanya Darma dengan penuh perhatian.

"Sepertinya aku akan memberikan perhiasan buatan teman Ayah," jawab Arvinda sambil tersenyum, teringat akan keindahan perhiasan-perhiasan yang pernah ia lihat di tempat teman Ayahnya.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang