XVIII

181 18 0
                                    

Episode sebelumnya:
Arvinda ikut tertawa, merasa konyol karena pertanyaannya tadi. "Jika menunggangi kuda, aku akan ikut," ucapnya sambil tersenyum, merasa antusias dengan rencana esok hari.

Diratama senang mendengar jawaban adiknya, "Baiklah kalau begitu," katanya penuh semangat. "Sekarang kau harus tidur agar besok tubuhmu menjadi segar," tambahnya dengan nada lembut penuh perhatian.

Arvinda mengangguk patuh, lalu membaringkan tubuhnya di kasur, merasakan ketenangan yang perlahan menyelimuti dirinya. Diratama, sebelum pergi, mengusap lembut pucuk rambut Arvinda sekali lagi, seperti memberikan sentuhan kasih terakhir untuk malam itu.

- - -

Sinar matahari pagi perlahan menembus tirai jendela kamar, membangunkan Arvinda yang masih terlelap dalam tidurnya. Cahaya itu lembut namun cukup terang, membuat kelopak matanya bergerak-gerak tak nyaman.

"Eugh," gumam Arvinda, suaranya serak karena baru bangun tidur. Ia mengangkat tangannya, berusaha menutupi matanya dari cahaya yang mulai menyerang kesadarannya. Tidur yang tadinya lelap kini perlahan terkikis.

"Tuan putri, ayo bangun, kita bersiap-siap," ucap Darma berusaha membangunkan Arvinda.

Arvinda, masih setengah terjaga, membuka matanya perlahan. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengumpulkan kesadarannya.

Setelah duduk diam beberapa saat, Arvinda berdiri, dengan langkah pelan menuju kamar mandi. Darma dengan setia mengikuti di belakangnya, siap membantu jika dibutuhkan.

Setelah selesai mandi, Arvinda kembali ke kamarnya. Rambutnya masih basah, dan kulitnya tampak bersih dan segar. Ia mengenakan gaun panjang berwarna lembut, lalu duduk di depan meja rias, membiarkan para pelayan lain mendandaninya.

Saat sedang bersiap, Diratama memasuki kamar Arvinda, matanya langsung tertuju pada adiknya, yang tengah duduk di depan cermin. "Apa kau sudah siap?" tanya Diratama dengan nada hangat.

Arvinda tersenyum tipis, melihat pantulan wajah kakaknya di cermin. "Tinggal menata rambutku saja," jawabnya, suaranya lembut dan antusias.

Diratama mengangguk, menunggu dengan sabar sambil berdiri di samping, memperhatikan para pelayan yang dengan teliti menyelesaikan penataan rambut Arvinda.

Ketika akhirnya selesai, Arvinda berdiri dan berbalik menghadap kakaknya. "Apakah model rambut ini cocok denganku?" tanyanya, ingin mendengar pendapat Diratama.

Diratama tersenyum bangga melihat adiknya yang terlihat begitu anggun. Ia mendekat, menyentuh bahu Arvinda dengan lembut. "Sangat cocok," ujarnya penuh pujian. "Kau terlihat lebih cantik dan manis."

Arvinda yang mendengar pujian kakaknya tertawa kecil, pipinya sedikit memerah. Diratama ikut tertawa, melihat reaksi adiknya. "Ayo, kita sarapan dulu sebelum pergi. Kuda-kuda sudah disiapkan di halaman istana," ucapnya, menepuk pelan bahu Arvinda, mengisyaratkan bahwa mereka harus segera bersiap.

Keduanya berjalan bersama menuju ruang makan. Di sana, suasana tenang dan nyaman Raja dan ratu sudah duduk, menikmati sarapan mereka.

Ketika mereka melihat Diratama dan Arvinda datang, sang ratu langsung berdiri, senyum lembut terukir di wajahnya.

"Arvinda," panggil ratu dengan suara penuh kasih, matanya bersinar haru saat melihat putrinya. Ia segera mendekat dan memeluk Arvinda erat, seolah tidak ingin melepaskannya.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? Apa kau sudah membaik?" tanya ratu dengan nada lembut, penuh perhatian.

Arvinda membalas pelukan ibunya dengan kehangatan yang sama. "Aku sudah membaik, Ibu," jawabnya meyakinkan.

Sang ratu mengelus kepala Arvinda dengan lembut, penuh kasih sayang. "Syukurlah, aku sangat khawatir dengan keadaanmu," ucapnya.

Arvinda menatap ibunya, "Maafkan aku, Ibu, telah membuatmu khawatir," bisiknya, merasa bersalah.

Sang ratu tersenyum lembut. "Kau tidak perlu meminta maaf, Nak," jawabnya penuh kehangatan. "Lebih baik sekarang kita makan bersama."

Dengan penuh kehangatan, mereka duduk dan menikmati sarapan bersama, suasana di ruang makan dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Pagi itu terasa sempurna, dengan kebahagiaan yang begitu nyata di dalam istana.

~

~

~

Arvinda dan Diratama sudah berada di luar istana, berderap di atas kuda mereka. Langit biru dan suara angin seolah menjadi latar bagi mereka yang hendak memasuki hutan di dekat istana. Dengan penuh ketenangan, mereka menyusuri jalan setapak yang membentang menuju rerimbunan pohon yang tampak dari kejauhan.

"Kau yakin ingin pergi ke hutan?" tanya Diratama, memecah keheningan dengan nada ragu. Matanya menyelidik wajah adiknya, Arvinda.

Arvinda menatap ke depan dengan tekad yang sudah bulat. "Ya, aku ingin pergi ke tempat dengan suasana yang tenang," ucapnya penuh keyakinan, "aku juga ingin pergi melihat sungai Iravati." Senyumnya mengembang, seolah sudah membayangkan ketenangan yang akan ia dapatkan di sana.

"Baiklah, ayo kita pergi," sahut Diratama, menyerahkan dirinya pada keinginan sang adik. Mereka kembali memacu kuda mereka, semakin mendekati hutan yang tampak semakin lebat.

Ketika mereka masuk ke dalam hutan, suasana berubah drastis. Pepohonan tinggi menjulang yang sedikit menutupi cahaya matahari, suasana itu bukannya menakutkan Arvinda, justru membuatnya merasa lebih damai.

"Wah, indah sekali," seru Arvinda dengan nada kagum. Pandangannya berkeliling, mengagumi setiap jengkal hutan yang mereka lalui. Diratama hanya tersenyum, senang melihat adiknya begitu menikmati perjalanan ini.

Dipertengahan jalan tiba-tiba kuda Diratama berhenti mendadak, membuat Arvinda ikut menarik kendali kudanya agar berhenti. Wajah Diratama berubah serius.

"Ada apa, Kak?" tanya Arvinda, sedikit khawatir.

Diratama turun dari kudanya, memeriksa hewan yang setia menemaninya itu. "Sepertinya kudaku terluka. Biar aku mengeceknya dulu," ucapnya sambil berjongkok di samping kaki kuda.

Benar saja, ada luka sobekan di kaki depan kudanya, mungkin akibat ranting tajam yang tak sengaja tergores. Diratama menghela napas berat.

"Kaki kudaku terluka. Sepertinya kita harus berhenti dulu di sini," ucap Diratama, matanya menyelidik luka di kaki hewan itu dengan penuh perhatian.

"Ah, baiklah," jawab Arvinda, sedikit kecewa. Namun, rasa ingin tahunya segera mengambil alih. "Aku ingin berjalan-jalan ke sana. Nanti aku kembali," lanjutnya sambil menunjuk ke arah hutan yang lebih dalam.

Diratama menatapnya khawatir. "Jangan pergi terlalu jauh. Aku takut kau kenapa-napa."

Arvinda tersenyum meyakinkan. "Tenang saja, Kak. Aku akan segera kembali," ucapnya sebelum melesat pergi, menunggang kudanya lebih dalam ke hutan.

Arvinda terus maju, menikmati keindahan hutan yang semakin pekat. Namun, langkah kudanya terhenti ketika ia melihat pemandangan yang mengenakkan.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang