XXII

126 13 0
                                    

Episode sebelumnya:
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Darma berdiri perlahan. "Sepertinya Tuan Putri membutuhkan waktu untuk sendiri," katanya, tersenyum tipis. "Aku akan pergi keluar."

Arvinda hanya menatap Darma pergi, membiarkannya meninggalkan ruangan. Setelah pintu tertutup, ia menghela napas lagi. Ia berdiri dan berjalan ke arah meja, membereskan buku yang tadi ia baca.

Selesai membereskan bukunya, Arvinda memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Langkahnya ringan namun perlahan, ia berjalan menuju taman di luar, berharap udara segar dan ketenangan alam bisa sedikit meredakan kekacauan di pikirannya.

- - -

Arvinda melangkah keluar dari perpustakaan dengan langkah tenang, meski di dalam hatinya masih ada sisa kegelisahan yang tak mudah dihilangkan. Udara luar terasa sejuk, angin lembut menyapa wajahnya saat ia berjalan menuju taman kerajaan.

Di sepanjang jalan, bunga-bunga mekar menghiasi sisi jalan setapak, tetapi keindahan itu tak cukup untuk menenangkan pikirannya.

Setibanya di taman, Arvinda berhenti sejenak di depan sebuah kolam kecil yang dipenuhi bunga teratai. Ia menatap air yang tenang, bayangannya terpantul di permukaan air.

Pikiran-pikiran berputar di dalam kepalanya, mengingat-ingat percakapan dengan Darma. Pandawa sudah menikah. Dan salah satu dari mereka, Nakula—pria yang selama ini menghiasi hatinya—juga telah menikah. Bukan dengan dirinya, tetapi dengan wanita lain yang bahkan belum pernah ia temui.

Arvinda menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan itu. Bagaimanapun, ia tahu ini adalah bagian dari takdir, sesuatu yang tak bisa ia ubah.

Ia duduk di tepi kolam, membiarkan tangannya meraih setangkai bunga teratai yang mengapung. Arvinda menatap bunga itu lama, seolah mencari ketenangan dalam keindahannya.

Di sekeliling taman, suasana sunyi, hanya terdengar gemerisik angin di antara dedaunan. Tempat ini memang selalu menjadi tempat favorit Arvinda untuk berpikir. Ia sering datang ke sini untuk mencari ketenangan ketika pikirannya dipenuhi oleh kerisauan atau keraguan.

Saat pikirannya kembali pada Nakula, Arvinda mengingat semua momen kecil yang pernah mereka lalui bersama. Senyum Nakula, cara ia berbicara dengan lembut, perhatian kecil yang ditunjukkannya tanpa banyak kata. Semua kenangan itu kini terasa seperti mimpi yang tak pernah akan terwujud.

Namun, meski rasa kecewa itu begitu nyata, Arvinda menyadari bahwa hidup terus berjalan. Nakula bukan untuknya, dan ia harus belajar menerima itu. Mungkin benar, seperti yang Darma katakan, ada seseorang di luar sana yang ditakdirkan untuk membuatnya bahagia.

Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Arvinda berdiri dan berjalan perlahan menyusuri taman. Di ujung taman, ia melihat tempat duduk kecil di bawah pohon beringin besar. Ia berjalan ke sana, duduk di bangku batu itu, dan memejamkan mata.

Saat sedang memejamkan mata, Arvinda tiba-tiba teringat dengan kalung yang ia gunakan. Kalung yang selama ini ia pakai sebagai sebuah kenangan kecil yang selalu ia jaga. Perlahan, tangannya meraih pengait kalung di belakang lehernya, jari-jarinya gemetar saat ia mencoba melepaskannya.

Arvinda akhirnya berhasil melepaskan kalung itu. Ia menatap kalung tersebut di telapak tangannya, mata berkabut oleh perasaan yang sulit ia deskripsikan.

"Pangeran..." bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Izinkan aku untuk melepas kalung ini. Tidak mungkin aku akan memakai ini lagi, karena sekarang kau sudah menikah."

Suara Arvinda begitu lembut, seolah ia berharap Nakula bisa mendengarnya meskipun ia tidak ada di sana. Ia tahu, ini adalah langkah awal untuk melepaskan perasaan yang sudah lama ia pendam. Kalung itu adalah simbol harapan yang kini harus ia lepaskan.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang