XXIII

133 13 0
                                    

Episode sebelumnya:
Darma berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak ada jadwal khusus hari ini, Tuan putri. Kau bisa menikmati hari dengan bebas."

Arvinda mengangguk tanda mengerti. "Baiklah, kalau begitu. Sekarang aku ingin pergi berjalan-jalan," ucapnya dengan suara ringan.

Darma mengangguk setuju, mempersilahkan Arvinda untuk pergi keluar kamar. "Tentu, Tuan putri. Saya akan membereskan tempat tidur Anda," katanya, lalu mulai beres-beres sementara Arvinda keluar kamar, siap untuk menikmati udara pagi yang segar di luar.

- - -

Ketika Arvinda tengah menikmati suasana tenang di lorong istana, tiba-tiba Diratama muncul dari belakang dan mengagetkannya.

Arvinda langsung berteriak, terkejut dengan ulah kakaknya. "Kakak! Kau ini mengagetkanku saja!" ucapnya dengan nada sebal, matanya menyipit menatap sang kakak.

Diratama menutup telinganya mendengar teriakan adiknya, lalu tergelak. "Aku kaget saja melihatmu sudah berkeliaran pagi-pagi seperti ini. Ada apa?" tanyanya masih terdengar sedikit tawa menikmati keberhasilannya dalam membuat Arvinda terkejut.

Arvinda, yang masih menatap sebal ke arah kakaknya, menjawab singkat, "Tidak ada apa-apa," sambil melipat tangan di dadanya, jelas menunjukkan bahwa ia masih kesal dengan lelucon itu.

Diratama, yang melihat Arvinda mulai merajuk, mencoba meredakan suasana. "Hey, janganlah marah, kakak hanya bercanda saja," ucapnya sambil mencubit pelan pipi adiknya yang cemberut.

"Itu bukan bercanda! Kakak hampir membuatku mati muda!" jawab Arvinda dengan suara sedikit tinggi, menepis tangan kakaknya.

"Siapa yang akan mati muda?" tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang mereka.

Arvinda dan Diratama langsung menoleh ke arah suara itu dan melihat ibu mereka, Prita, berdiri di sana dengan senyum lembut di wajahnya.

"Ibu!" seru Arvinda, berlari menghampiri ibunya lalu memegang tangannya erat. "Kakak sangat menyebalkan, tolong hukum dia," lanjutnya, memohon dengan wajah polos.

Prita menatap Diratama dengan tajam, membuat putranya langsung merasa sedikit cemas. "Aku tidak melakukan apapun, Ibu. Tadi aku hanya bercanda," jelas Diratama cepat, mencoba membela diri.

"Sudah kubilang itu bukan bercanda," bantah Arvinda sambil menatap kakaknya dengan tatapan menyalahkan.

Prita menggeleng pelan, mendengar pertengkaran kecil di antara anak-anaknya. "Sudah, sudah, kalian ini pagi-pagi sudah bertengkar saja. Diratama, minta maaflah pada adikmu," titahnya pada Diratama.

Diratama, meski terlihat enggan, akhirnya mendekati Arvinda. "Baiklah, baiklah, maafkan aku," ucapnya terdengar malas.

Namun Arvinda yang cerdas langsung menangkap nada itu. "Permintaan maafmu terdengar terpaksa," katanya dengan nada tajam.

Diratama membelalak, terkejut dengan respon adiknya. "Lalu aku harus bagaimana? Sujud di kakimu?" tanyanya dengan nada tak percaya, matanya melebar karena heran.

Arvinda menggeleng pelan, menyembunyikan senyum di balik wajah seriusnya. "Tidak, Kakak hanya perlu memandikan kudaku, baru aku akan memaafkanmu," jawabnya.

"Memandikan kudamu?" Diratama mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Arvinda mengangkat bahunya dengan santai, "Jika kau tidak mau, tidak apa-apa. Ayo, Ibu, kita pergi saja," katanya sambil menggandeng tangan ibunya, berniat meninggalkan Diratama.

"Eh, jangan tinggalkan aku! Ibu! Arvinda!" seru Diratama panik, mengejar adik dan ibunya yang mulai berjalan pergi, membuat Prita tersenyum melihat kejenakaan anak-anaknya itu.

Diratama berlari kecil mengejar Arvinda dan ibunya, berusaha menyusul sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkannya. "Arvinda! Jangan begitu, aku kan hanya bercanda!" panggilnya, suaranya sedikit memelas.

Arvinda berhenti sejenak, menoleh dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, meski ia mencoba memasang wajah serius. "Aku serius, Kak. Kudaku butuh dimandikan. Kau kan selalu bilang ingin membantuku, sekarang ini kesempatanmu," balasnya sambil mengedipkan mata, menggoda kakaknya.

Prita, yang berdiri di antara keduanya, hanya tersenyum melihat interaksi itu. Ia tahu betul bagaimana kedua anaknya sering bercanda seperti ini. Diratama, meski kakak yang tegas dan bertanggung jawab, selalu tak bisa menolak permintaan adiknya yang satu ini.

"Baiklah, baiklah, aku akan memandikan kudamu," ucap Diratama akhirnya, mengangkat tangan menyerah sambil menghela napas berat. "Tapi jangan harap aku akan melakukannya setiap hari!" tambahnya, menatap adiknya dengan tatapan serius.

Arvinda tertawa kecil mendengar jawaban kakaknya, senyum kemenangan tersungging di bibirnya. "Tidak perlu setiap hari, cukup hari ini saja," katanya sambil tersenyum puas.

Prita menepuk bahu Diratama, seolah memberikan dukungan. "Nah, sudah selesai kan masalahnya? Lebih baik sekarang kita pergi sarapan. Apakah kalian sudah merasa lapar?" tanyanya dengan nada lembut.

Arvinda dan Diratama dengan cepat mengangguk bersamaan, perut mereka memang mulai berbunyi sejak tadi.

Melihat antusiasme mereka, Prita tersenyum kecil. "Baiklah, ayo kita pergi ke ruang makan," ucapnya, memimpin jalan sambil melirik kedua anaknya.

Mereka bertiga melangkah menuju ruang makan, di mana pelayan-pelayan sudah sibuk menyiapkan hidangan. Aroma masakan yang lezat memenuhi udara, membuat perut Arvinda dan Diratama semakin keroncongan.

Prita dengan lembut menyuruh kedua anaknya untuk duduk di kursi masing-masing. "Kalian duduklah dulu, Ibu akan memeriksa makanan di dapur," ucapnya, lalu beranjak pergi.

Setelah Prita meninggalkan ruangan, suasana hening sejenak, namun tak lama kemudian pintu ruang makan terbuka dan masuklah Jalandhar, ayah mereka. Diratama dan Arvinda segera bangkit dari duduknya begitu melihat sang ayah memasuki ruangan.

"Selamat pagi, Ayah," ucap keduanya serempak, membungkukkan badan dengan penuh hormat.

Jalandhar tersenyum melihat kedua anaknya. "Wah, tumben sekali kalian sudah ada di sini pagi-pagi begini," tanyanya dengan nada gurau.

Arvinda dan Diratama saling melirik, lalu terkekeh mendengar perkataan ayah mereka.

Jalandhar lalu duduk di kursinya, mengobrol ringan dengan kedua anaknya. Mereka berbincang tentang hal-hal sederhana. Di tengah perbincangan, gelak tawa kecil sesekali terdengar, terutama ketika Diratama menceritakan bagaimana ia dikerjai oleh Arvinda pagi ini.

Tak lama kemudian, Prita kembali dari dapur, memastikan bahwa makanan siap dihidangkan. Para pelayan dengan sigap mulai menyajikan hidangan lezat di meja, mengisi ruangan dengan aroma yang semakin menggugah selera.

Mereka sekeluarga mulai makan bersama, menyantap sarapan pagi yang diselingi obrolan ringan dan tawa hangat. Meski sederhana, bagi Arvinda, hari yang dimulai dengan kehangatan seperti ini selalu menjadi penyemangat, terutama setelah hari-hari berat yang telah dilaluinya.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang