XIV

174 19 0
                                    

Episode sebelumnya:
"Semoga perjalananmu lancar, Tuan putri," ucap Nakula dengan senyum yang penuh ketulusan.

"Terima kasih, Pangeran. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu selama aku di sini," balas Arvinda, hatinya penuh dengan rasa terima kasih.

Setelah ucapan perpisahan disampaikan, rombongan pun berangkat, meninggalkan Hastinapura. Arvinda menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya, melihat Nakula yang masih berdiri di gerbang, melambaikan tangan. Hatinya terasa berat, namun ia tahu, pertemuan ini bukanlah akhir.

- - -

Rombongan Arvinda pun meninggalkan Hastinapura,  melewati jalan yang sama seperti saat mereka datang. Sepanjang perjalanan, Arvinda merenungkan pengalamannya di Hastinapura.

Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari perjalanan ke Hastinapura.  Arvinda tidak sabar untuk bertemu dengan orang tuanya dan menceritakan semua yang terjadi di sana.

Saat rombongan Arvinda memasuki wilayah Kekaya,  ia melihat gerbang istana dihiasi dengan bunga-bunga indah. Di kejauhan, Arvinda melihat keluarganya telah berdiri di sana, menantinya dengan wajah penuh kerinduan. Raja Kekaya, ayah Arvinda, berdiri tegap di samping ibunya, sang ratu.

Begitu mendekati gerbang, Arvinda turun dari keretanya dan berlari menghampiri kedua orang tuanya. Dengan air mata bahagia, ia memeluk mereka erat, merasakan kehangatan yang lama dirindukannya.

"Ayah, Ibu, aku kembali," ucap Arvinda dengan suara bergetar.

"Anakku, kau selamat," jawab Raja sambil mengusap lembut rambut Arvinda.

Ratu pun membalas pelukan erat putri kesayangannya, "Bagaimana kabarmu, Nak?  Apakah kau sehat?"

Arvinda mengangguk, "Aku sehat, Ibu.  Perjalanan ku lancar."

Orang tua Arvinda menanyakan bagaimana kabarnya, setelah itu mengajak putrinya untuk memasuki istana. Setelah memasuki istana,  Arvinda menceritakan apa saja yang terjadi di Hastinapura, dari mulai perjalanan ke Hastinapura,  bertemu dengan sahabatnya Dursala dan Subhadra, penundaan upacara penobatan,  peperangan antara Hastinapura dan Pancala, lalu penobatan Yudhisthira sebagai pangeran mahkota.

Arvinda menceritakan semua dengan detail,  menceritakan tentang kemegahan istana Hastinapura, kepribadian para pangeran Hastinapura, dan konflik yang terjadi di sana.

Setelah menceritakan semua yang terjadi di Hastinapura, Raja dan Ratu Kekaya memandang Arvinda dengan penuh kebanggaan.

“Kau pasti lelah, Arvinda,” ujar sang Raja dengan senyum lembut. “Pergilah beristirahat di kamarmu. Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini nanti.”

“Iya, Nak. Kau perlu memulihkan tenaga setelah perjalanan panjang,” tambah sang Ratu dengan perhatian.

Arvinda mengangguk pelan. "Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Ibu." Dengan langkah lelah, Arvinda mulai berjalan menuju kamarnya, tempat yang dirindukannya selama berbulan-bulan.

Namun, saat ia hampir sampai di depan pintu kamarnya, sebuah suara yang akrab memanggil namanya dari kejauhan. “Arvinda!”

Arvinda berhenti seketika, matanya melebar. Itu adalah suara yang sudah lama tidak didengarnya. Ia berbalik dan menemukan sosok kakak laki-lakinya berdiri di ujung koridor dengan senyum lebar. Kakaknya, yang selama ini berada jauh dari istana karena tugas kerajaan, kini berdiri di hadapannya.

 Kakaknya, yang selama ini berada jauh dari istana karena tugas kerajaan, kini berdiri di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. Pinterest

“Kakak!” seru Arvinda dengan penuh kejutan dan kebahagiaan. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat, air mata kebahagiaan membasahi pipinya.

“Aku tidak percaya kau di sini,” ucap Arvinda dengan suara bergetar, matanya dipenuhi air mata yang mulai mengalir pelan di pipinya. Wajahnya memancarkan campuran keterkejutan dan kebahagiaan yang selama ini tertahan.

Melihat adiknya menangis, sang kakak tertawa lepas, sebuah tawa yang penuh kelegaan dan cinta. Tanpa ragu, ia membalas pelukan Arvinda dengan hangat, tangannya menepuk-nepuk punggung adiknya seolah ingin meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kau tahu, saat kau pergi meninggalkan istana ini aku menjadi kesepian. Aku selalu bermain sendiri, tidak ada yang menemaniku," protes Arvinda sambil sedikit merengek.

"Hey, bukan hanya kau yang kesepian, aku pun merasakan hal yang sama. Di sana sangat membosankan, aku tidak bisa menjahilimu," balas kakaknya dengan nada menggoda, suaranya mengandung tawa kecil yang khas.

Arvinda tersenyum, bibirnya melengkung lembut, hatinya terasa hangat saat kenangan masa kecil kembali menghampirinya. Ingatan ketika kakaknya tak pernah berhenti untuk menjahilinya sampai ia menangis, kini justru membuatnya merasa bahagia.

"Aku sangat merindukanmu, Kak," ucapnya tulus.

Kakaknya mengusap lembut kepala Arvinda, tersenyum hangat. “Aku juga merindukanmu, Arvinda. Terakhir kali kita bertemu, kau masih gadis kecil. Sekarang, kau sudah dewasa dan penuh keberanian."

Arvinda melepaskan pelukan, menatap wajah kakaknya yang selama ini hanya ia kenang dalam pikirannya. Wajah kakaknya kini tampak sedikit lebih matang, dengan garis-garis wajah yang menunjukkan pengalaman dan kedewasaan.

“Apa yang membawamu pulang kali ini?” tanya Arvinda, matanya berbinar. “Aku pikir kau masih bertugas di luar kerajaan.”

Kakaknya mengangguk. “Tugasku baru saja selesai, dan aku mendengar tentang kepulanganmu dari Hastinapura. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu denganmu. Banyak yang ingin kudengar tentang perjalananmu di sana.”

Arvinda tersenyum lebar, merasa bahagia bisa berbagi cerita dengan kakaknya. “Kau akan terkejut mendengar semua yang terjadi. Banyak hal yang tidak pernah kuduga.”

Kakaknya tersenyum penuh minat, “Aku tidak sabar mendengarnya semua. Tapi untuk sekarang, sepertinya kau memang butuh istirahat. Kita akan bicara lebih banyak nanti.”

Arvinda mengangguk setuju. “Ya, aku memang sangat lelah. Tapi, aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi. Ini benar-benar kejutan yang menyenangkan.”

“Masuk ke kamarmu dan beristirahatlah, Arvinda,” ucap kakaknya lembut. “Kita punya banyak waktu untuk berbicara esok hari.”

Dengan senyum di wajahnya, Arvinda akhirnya melangkah menuju kamarnya. Setelah sekian lama, ia merasa damai dan tenang berada di rumah, dikelilingi orang-orang yang ia cintai.

Ketika ia berbaring di atas tempat tidurnya, bayangan perjalanan dan peristiwa di Hastinapura berputar kembali dalam benaknya. Tapi sekarang, di tengah kehangatan keluarganya, semuanya terasa lebih ringan.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang