XVI

164 19 0
                                    

Episode sebelumnya:
Arvinda tersenyum malu. “Kau yang mengajariku untuk terus berjuang, Kak. Aku tak mungkin bisa mencapai ini semua tanpa contoh darimu.”

Percakapan mereka terus mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang masa lalu, tentang ambisi dan harapan mereka ke depan. Matahari semakin condong ke barat, perlahan-lahan tenggelam di balik cakrawala.

Langit sore berubah menjadi kanvas warna-warna lembut—oranye, merah muda, dan ungu—yang memantulkan kedamaian dan kehangatan.

- - -

Satu bulan kemudian...

Arvinda duduk dengan tenang di kamarnya, tenggelam dalam buku yang ia baca. Hening memenuhi ruangan, hanya terdengar suara lembut dari halaman-halaman yang dibaliknya. Cahaya matahari sore menyusup melalui jendela, menciptakan suasana hangat namun penuh rahasia.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Darma masuk dengan wajah yang tampak gelisah, ekspresinya seperti memendam sesuatu yang berat. Ia berdiri di ambang pintu, ragu untuk melangkah lebih jauh.

Arvinda mengangkat pandangannya dari buku,  "Ada apa, Darma? Kau terlihat gelisah," tanyanya, suaranya penuh perhatian.

Darma tampak ragu, matanya mencari-cari keberanian untuk bicara. "Tuan putri..." gumamnya pelan, seperti masih menimbang kata-kata yang harus diucapkannya.

Arvinda meletakkan bukunya di pangkuan dan menatap Darma, "Bicaralah dengan jelas, Darma. Ada apa?" desaknya, ingin segera mengetahui apa yang ingin dikatakan oleh Darma.

Darma menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. "Aku membawa kabar tentang Pangeran Hastinapura," ucapnya perlahan, nada suaranya penuh keraguan.

Arvinda mengerutkan keningnya, merasa heran dengan ketidakpastian Darma. "Pangeran Hastinapura?" tanyanya, mencoba mencari kepastian dari berita yang samar.

"Ya, tuan putri," jawab Darma sambil mengangguk pelan. "Pangeran mahkota Yudistira pergi ke Waranabrata bersama keempat adiknya dan yang mulia Kunti."

"Bukankah itu kabar baik? Mengapa kau tampak begitu gelisah?" tanya Arvinda lagi, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar berita biasa.

Darma tampak ragu, ia menggigit bibirnya, pikirannya berkecamuk antara menyampaikan atau menyimpan berita yang ia bawa. Tapi ia tahu, ia tak bisa menyembunyikan apa yang sudah ia dengar.

"Ada berita yang kudengar dari temanku di Hastinapura," akhirnya Darma berkata dengan suara pelan, "bahwa istana Waranabrata yang dikunjungi oleh para Pandawa dan yang mulia Kunti... terbakar habis."

Arvinda terpaku sejenak, tubuhnya membeku mendengar kata-kata Darma. Buku yang tadi dipegangnya jatuh ke lantai dengan suara keras, namun ia tak memperdulikannya. Dengan cepat, Arvinda bangkit berdiri dan mendekati Darma, wajahnya penuh ketidakpercayaan.

"Kau jangan mengarang sebuah berita, Darma!" ucap Arvinda dengan suara gemetar, matanya menatap tajam, berharap apa yang didengarnya hanyalah kebohongan.

Namun, Darma menggeleng dengan sedih. "Tuan putri, aku tidak mungkin mengarang," ucapnya lirih. "Berita itu sudah tersebar di semua penjuru wilayah."

Arvinda menghela napas, hatinya berdebar tak menentu. "Lalu bagaimana dengan para pangeran dan yang mulia Kunti?" tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.

Darma menundukkan kepalanya, suaranya serak ketika ia menjawab. "Dari kabar yang kudengar, semua orang yang berada di dalam istana itu... tidak ada yang selamat."

Arvinda berdiri terdiam, seolah waktu membeku di sekitarnya. Kata-kata Darma bergema di telinganya, begitu menyesakkan. Pikirannya berkecamuk, menolak untuk percaya pada kenyataan yang baru saja ia dengar. Tubuhnya terasa berat, kakinya seakan kehilangan kekuatan untuk menopang dirinya.

“Tidak mungkin…” bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.

Arvinda menggenggam sebuah kalung yang terpasang di lehernya, benda berharga yang diberikan oleh Nakula saat pertemuan terakhir mereka. Jari-jarinya meraba-raba liontin kalung itu.

Pikirannya dipenuhi oleh sosok Nakula, pangeran yang selama ini diam-diam mengisi hatinya. Ia tak percaya bahwa pria yang selalu ia kagumi, yang membuatnya merasakan getaran halus di dalam hatinya, kini telah tiada.

"Ini... tidak mungkin," bisiknya lagi, suaranya hampir lenyap ditelan udara.

Kalung itu, pemberian Nakula, kini terasa begitu berat, seakan membawa beban kesedihan yang tak tertanggungkan. Hatinya terasa sangat sakit, seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk tanpa henti.

Bayangan wajah Nakula mulai melintas di benaknya—senyum hangatnya, suaranya yang lembut, dan cara dia selalu membuat Arvinda merasa aman ketika berada di dekatnya. Setiap kenangan yang tersimpan selama ini tiba-tiba berkelebat, begitu nyata, begitu menyakitkan.

Ia mengingat kembali saat-saat mereka bersama, saat Nakula diam-diam menyelipkan kalung itu di tangannya. "Kau adalah putri yang secantik perhiasan ini. Dan aku ingin kau memilikinya sebagai kenang-kenangan dariku." Nakula pernah berbisik lembut waktu itu, matanya menatap Arvinda penuh kasih. Sekarang, bisikan itu hanya tinggal kenangan yang terasa bagai mimpi buruk.

Arvinda menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang mulai mendesak keluar. "Nakula..." desisnya, suaranya dipenuhi rasa duka yang mendalam.

Ia tak bisa menerima bahwa Nakula, pria yang ia sukai, telah tiada begitu saja, dalam kobaran api yang kejam. Arvinda ingin percaya bahwa ini hanyalah mimpi buruk, tapi kenyataan yang ada di hadapannya semakin tak terbantahkan.

Setiap kata yang diucapkan Darma tadi seperti tombak yang menembus jantungnya. Para Pandawa, Nakula, Yudistira, Kunti... semuanya hilang dalam sekejap. Kenangan indah bersama Nakula kini berubah menjadi luka yang tak akan pernah sembuh.

Air mata yang tadinya ditahan kini akhirnya jatuh, mengalir perlahan di pipi Arvinda. Sakit di hatinya terlalu besar untuk ditahan, terlalu dalam untuk disembunyikan.

Another FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang