Pagi itu, sinar matahari pagi yang lembut mulai menembus tirai tebal kamar Naren, menciptakan semburat cahaya yang hangat di dinding dan lantai. Naren terbangun perlahan, matanya yang masih berat terasa lelah, tapi tidak ada keinginan untuk kembali tidur. Tanpa sadar, rupanya ia jatuh di atas tempat tidurnya entah pada jam berapa semalam, masih dengan pakaian formal yang ia kenakan pada upacara kelulusan.
Kamar Naren yang megah, dengan jendela besar yang menghadap ke kota itu kini tampak sunyi. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar pelan disana. Dengan gerakan lamban, Naren kemudian bangkit dari tempat tidurnya, melangkah ke arah jendela. Tangannya yang kuat membuka tirai dengan satu gerakan, memperlihatkan pemandangan pagi yang indah. Tanpa banyak berpikir, ia menarik kunci jendela dan membukanya lebar-lebar, membiarkan angin pagi yang segar menerobos masuk ke dalam kamar.
Angin pagi yang sejuk menyapa kulit Naren, membelai rambutnya yang berantakan. Dulu, momen seperti ini adalah saat-saat yang paling dinantikan oleh Naren. Ia biasa menyapa dunia dengan senyum ceria, menikmati aroma segar embun pagi, dan merasakan semangat baru untuk memulai hari. Tapi kini, keceriaan itu telah hilang entah ke mana. Yang tersisa hanyalah perasaan hampa, seolah setiap tiupan angin membawa pergi sedikit demi sedikit bagian dari dirinya yang dulu penuh dengan kebahagiaan.
Naren berdiri diam di dekat jendela, membiarkan angin menerpa wajahnya. Matanya menerawang jauh ke cakrawala, menatap tanpa fokus pada apapun. Ada kerinduan dalam hatinya, kerinduan akan masa lalu yang tak mungkin kembali. Angin pagi yang dulu mampu menyegarkan semangatnya, kini hanya membuatnya merasakan dinginnya kesendirian.
Setelah beberapa saat, Naren memutuskan untuk beranjak. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan interior yang elegan dengan marmer putih dan perlengkapan yang mewah. Naren menyalakan shower dan tanpa ragu langsung berdiri di bawah guyuran air yang dingin. Air mengalir deras, membasahi tubuhnya yang masih lelah dan terasa berat.
Naren membiarkan air itu mengguyur dirinya, seolah berharap setiap tetes air mampu menghapus beban pikiran dan perasaan yang telah menumpuk di hatinya. Suara air yang jatuh memenuhi kamar mandi, menciptakan alunan ritmis yang menenangkan, tapi tidak mampu mengusir kesedihan yang ada di dalam dirinya. Di bawah pancuran air, Naren menutup matanya, membiarkan waktu berlalu tanpa rasa urgensi. Seperti berdiri di tengah hujan yang lebat, ia merasakan sejenak ketenangan dalam kekosongan.
Tapi ketenangan itu semu, karena meski air terus mengalir, beban yang dirasakannya tidak berkurang. Dengan hati yang masih berat, Naren akhirnya menyelesaikan kegiatan mandinya dan melangkah keluar dari kamar mandi, seolah mencoba menata diri untuk menghadapi hari yang baru-hari yang terasa sama seperti hari-hari sebelumnya, tanpa semangat dan tanpa harapan.
---
Naren kini berdiri di depan cermin. Dia telah mengenakan pakaian rumahan yang kasual. Wajahnya masih terlihat lelah meski sudah segar setelah mandi. Dengan rambut yang masih basah, ia kemudian berjalan menuju ruang makan, di mana sarapan telah disiapkan oleh para pelayan. Meja makan di ruang itu besar dan panjang, terbuat dari kayu jati yang mengilap, dengan kursi-kursi elegan berjajar di sekelilingnya.
Di ujung meja, Naren duduk sendirian. Sepiring telur, roti panggang, dan buah tersaji dengan rapi di hadapannya, sementara seorang pelayan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas kristal di samping piringnya. Suara langkah para pelayan yang mondar-mandir pelan terdengar di belakang, tapi Naren tidak terlalu memperhatikan. Sarapan itu terasa hambar, bukan karena makanannya, tapi karena suasana yang menyelimuti ruangan. Keluasan meja dan kesunyian ruangan mengingatkan Naren betapa kosongnya rumah ini tanpa kehadiran keluarganya.
Ketika sarapan selesai, Naren berdiri dari kursinya, menghela napas panjang. Seperti biasa, pelayan datang dengan cekatan untuk membersihkan meja. Namun, saat Naren hendak beranjak, seorang pria paruh baya berpakaian rapi dengan kacamata tipis menghampirinya. Pria itu adalah Wira, asisten pribadi Naren yang sebelumnya adalah asisten ayahnya. Wira telah bekerja untuk keluarga Atharva selama bertahun-tahun, mengurus segala keperluan bisnis dan pribadi keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIA | ON GOING
FantasyNarendra Atharva (Naren) adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Namun, di balik kesempurnaan itu, ia menyimpan luka mendalam akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Harapannya untuk menemukan kembali kebahagiaan muncul ketik...