Naren terbangun dengan kepala sedikit pening, merasakan bau kayu yang khas dan suara gemeretak halus dari api yang membakar di tungku. Matanya perlahan terbuka, mengerjap menyesuaikan ruangan gelap di sekitarnya. Kemudian perlahan, Naren menemukan dirinya terbaring di atas sebuah tikar, di sebuah rumah tua sederhana dengan langit-langit yang terbuat dari jerami. Suara malam yang hening menciptakan suasana yang tenang disana, namun rasa aneh segera merambati tubuhnya.
Dengan cepat, Naren tersentak duduk. Ia langsung panik saat menyadari bahwa tubuhnya hanya terbungkus selimut tebal, sementara pakaiannya hilang entah kemana. Jantungnya berdetak kencang. Bagaimana bisa?
"Di mana pakaianku?" bisiknya cemas, menggigit bibirnya dan merapatkan selimut ke tubuhnya dengan panik.
Tepat saat itu, pintu rumah terbuka dengan derit pelan. Seorang gadis masuk dengan santai, membiarkan udara malam menyelusup ke dalam ruangan. Wajahnya tersorot cahaya lentera yang remang, dan Naren mengenalinya seketika—gadis itu adalah gadis yang menyelamatkannya! Namun kini, gadis itu tampak berbeda, dengan rambut yang telah di kepang dan pakaian sederhana berwarna merah muda yang membungkus tubuhnya. Kakinya yang telanjang melangkah ringan di atas lantai.
"AHH!!" Naren berteriak spontan, tubuhnya melompat sedikit. Dengan cepat ia menarik selimut lebih erat, sementara wajahnya memerah. "Kenapa kamu masuk begitu saja?!"
Gadis itu berhenti, lalu menatap Naren dengan alis terangkat. Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. "Kamu... panik karena telanjang?" ujarnya dengan nada menggoda, sembari menunjuk ke arah selimut yang membalut tubuh Naren.
"H-hei!" wajah Naren semakin memerah. "Apa yang kamu lakukan pada pakaianku?"
Gadis itu hanya berdecak pelan, lalu berjalan masuk dengan tangan disilangkan di depan dada. "Aku melucuti pakaianmu. Kamu basah kuyup dan nyaris mati beku, jadi aku tidak punya pilihan lain. Tapi tenang saja, aku tidak melihat... apapun."
"A-apapun?" Naren membelalak, rasa malunya makin menggelegak.
Dengan santai, gadis itu menunjukkan pakaian Naren yang telah dia lipat dan kini dia pegang di tangannya. "lihat ini. Pakaianmu sudah kubersihkan dan aku keringkan. Kamu seharusnya berterima kasih padaku."
Naren mengerjap-ngerjap, tertegun sejenak, tak tahu harus berkata apa. Sial, bagaimana bisa gadis ini begitu tenang sementara ia berada dalam situasi paling memalukan seumur hidupnya?
"Terima kasih?" ia mengulang dengan bingung. "kamu malah membuat aku malu!"
Gadis itu tertawa kecil. "Kalau begitu, lain kali jangan tenggelam di sungai," candanya ringan sambil menatap ke arah Naren.
Naren hanya bisa tersipu, mencoba menenangkan dirinya. Setelah beberapa detik kebingungan, dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Siapa kamu, sebenarnya? Dan kenapa kamu menyelamatkanku?"
Gadis itu tak langsung menjawab, ia justru memiringkan kepalanya sejenak, kemudian berjalan mendekat dan duduk di kursi kayu di depan Naren, memandang Naren dengan tatapan penuh arti. "Lebih baik aku yang bertanya, siapa kamu, dan kenapa kamu memanggil namaku sebelum tenggelam?"
Naren terdiam sejenak. Nama? Nama apa yang dimaksud gadis ini? Lalu tiba-tiba ingatan Naren tentang kejadian yang menimpanya muncul. Perlahan, mata Naren melebar ketika teringat bahwa hal terakhir yang dia ucapkan sebelum segalanya berubah gelap adalah...
"Naya?"
Gadis di hadapan Naren mengangguk perlahan. "Ya, itu namaku."
Degupan jantung Naren tiba-tiba bergerak semakin cepat. Dia menatap gadis itu lebih lekat, mencari petunjuk dalam wajah cantiknya. Memang ternyata terdapat kemiripan antara gadis itu dengan Naya kecil. Mata birunya yang berbinar, rambut coklatnya yang panjang, kulit seputih susu, dan bibir plumpy yang merah alami. Satu-satunya hal yang berbeda adalah gadis ini hanya terlihat lebih dewasa.
Naren meneguk lidahnya sendiri tanpa mengedipkan mata "Naya... Kaisnaya Elandra?"
Naya mengangguk lagi, mengonfirmasi kebenaran yang bagai mimpi di siang bolong bagi Naren.
Saat itu, mata Naren mulai berkaca-kaca. "Jadi... ini benar-benar kamu? Naya? Naya sahabat kecilku?"
Naya mengerutkan kening, sedikit bingung. "Sahabat kecil? Apa maksudmu?"
Naren tersentak. "Aku... aku Naren. Narendra Atharva! Kita dulu sahabat masa kecil, ingat? Kita telah menghabiskan banyak waktu bersama, Naya!"
Naya tampak tidak mengerti apa-apa, dan ekspresinya berubah menjadi bingung. "Umh.. kamu mungkin salah orang?"
Naren menggelengkan kepalanya dan mencoba menjelaskan lebih lanjut, berbicara dengan antusias tentang masa kecil mereka—tentang taman tempat mereka biasa bermain, petualangan kecil mereka, dan semua hal lain yang pernah mereka lakukan bersama. Namun setiap kata yang keluar dari mulut Naren rasanya sia-sia. Naya hanya menatapnya dengan pandangan yang kosong, tanpa ada sedikit pun tanda kerinduan akan masa-masa indah bersama Naren di matanya.
Wajah Naren perlahan berubah muram. Dia terdiam, merasa seperti ditarik kembali ke dalam kehampaan. Kenangan yang sangat berarti baginya tampaknya telah sepenuhnya terlupakan oleh Naya. Keheningan di antara mereka mulai terasa berat, dan suasana yang tadi ceria perlahan berubah menjadi suram dan emosional.
<<<🖤>>>
to be continued
***
Apakah gadis itu benar-benar Naya? jika iya, mengapa dia tidak mengingat Naren?. Ayo cari tahu jawabannya di bab berikutnya dan berikan reaksi terbaikmu lewat vote, komen dan follow yaaaa ❤
With Love, Fiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIA | ON GOING
FantasyNarendra Atharva (Naren) adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Namun, di balik kesempurnaan itu, ia menyimpan luka mendalam akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Harapannya untuk menemukan kembali kebahagiaan muncul ketik...