PELARIAN YANG ENTAH KEMANA

129 35 3
                                    

Sinar mentari yang mulai meninggi kini menemani perjalanan Naren di balik kemudi SUV mewahnya menuju rumah Arya. Mobil hitam legam dengan bodi besar dan elegan itu melaju mulus melewati jalanan kota yang masih lengang. Atap mobil yang terbuka menyapu wajah Naren yang tampan, membuatnya tampil begitu memukau dan menarik perhatian orang-orang. Sementara itu, Naren sendiri hanya terdiam. Pikirannya dipenuhi oleh hal impulsif mengenai rencana liburan yang mendadak ia buat ini.

Setelah sekitar 15 menit berkendara, Naren akhirnya tiba di depan rumah Arya. Rumah itu berdiri megah di sebuah kawasan elit, dikelilingi pagar tinggi dengan gerbang yang terbuka otomatis begitu mobil Naren mendekat. Meski rumah Arya tidak sebesar milik Naren, tetap saja kemewahannya menandakan status keluarga Arya yang mapan. Desain arsitekturnya memadukan nuansa modern dengan sentuhan klasik, lengkap dengan taman yang asri di bagian depan. Selain itu di sepanjang jalan masuk menuju rumah, para pelayan tampak sibuk, beberapa menyirami tanaman, dan beberapa lainnya tampak membersihkan kaca jendela rumah.

Naren memarkir SUV-nya di depan pintu utama. Saat ia keluar dari mobil, pintu itu terbuka, menampilkan Arya yang masih mengenakan piyama. Wajahnya yang tampak belum sepenuhnya terjaga mengerutkan dahi ketika melihat Naren sudah berada di hadapannya. "Kamu serius datang secepat ini? Katanya setengah jam!" gumam Arya dengan nada setengah marah, setengah mengeluh.

Namun sebelum Naren sempat menjawab, suara lantang ibunya Arya terdengar dari dalam. "Arya! Kamu belum selesai sarapan!" Naren bisa melihat seorang wanita yang tampak anggun dan hangat muncul di belakang Arya, menarik tangannya kembali ke masuk ke rumah sembari meminta Naren ikut.

Arya mendengus. "Ibu, aku sudah kenyang..." protesnya, tapi ibunya hanya tersenyum lembut sambil menyodorkan segelas susu. "Selesaikan sarapanmu dan minum susumu dulu. Tidak ada alasan!"

Sambil tertawa kecil, Naren melipat tangannya di depan dada kemudian duduk di kursi di samping Arya. Dia sudah sangat akrab dengan kebiasaan keluarga Arya yang selalu memastikan anak-anak mereka makan dengan baik sebelum pergi kemanapun. Arya sendiri, sebagai anak bungsu, memang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang dikenal sangat hangat dan perhatian.

"Jangan tertawa, Naren," ucap Arya sembari memasukkan sepotong roti panggang terakhir ke mulutnya. "Aku ini memang sangat taat pada perintah ibu."

Ayah Arya, yang sudah duduk dengan santai setelah menyelesaikan duluan sarapannya, tersenyum lebar ke arah Naren. "Taat apanya? Setiap hari kamu harus dipaksa untuk sekedar makan. Sekarang lihat, kamu membuat Naren harus menunggu."

Naren tersenyum. "Tidak apa-apa, Pak Tama. Santai saja."

Barulah setelah beberapa menit meneguk susu dengan setengah hati, akhirnya, Arya bangkit dari meja makan, mencuci muka, berganti pakaian, meraih tas ranselnya, dan segera kembali menghampiri Naren.

"Terima kasih sudah menunggu," ucap Arya dengan nada yang sedikit geli, "Seperti biasa, ritual pagi ini selalu menghabiskan banyak waktu."

"Tidak masalah," jawab Naren sambil beranjak dari kursi tempat duduknya, "Ayo pergi." lanjutnya mengajak.

Arya berpamitan dengan orang tuanya terlebih dahulu sebelum kemudian berjalan menuju mobil bersama Naren.

"hei, kita akan liburan kemana?" tanya Arya, matanya memandang Naren dengan sedikit kebingungan.

Naren hanya tersenyum tipis, memandang lurus ke depan. "Hmm, entahlah. Kita akan menyusuri jalanan dan melihat kemana nasib membawa kita."

Arya mendelik. "Hah? Jadi, kamu tidak punya rencana sama sekali?"

"Betul sekali," sahut Naren dengan semangat. "Kadang-kadang hal terbaik dalam hidup adalah menemukan tujuan yang tidak terduga."

Arya mendengus. "maksudmu, kita akan pergi ke tempat yang belum kita tentukan? Ah ayolah, ini seperti merencanakan petualangan sambil menutup mata."

ALTERIA | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang