Hari menjelang siang ketika Naya, Naren, Arya, dan Aria melangkah keluar dari rumah sederhana milik Naya. Matahari sudah tinggi di langit, menyinari mereka dengan sinar yang menghangatkan. Langit biru membentang luas, sementara angin sepoi-sepoi meniup daun-daun di sekitar mereka. Namun meski suasan siang hari itu begitu cerah, ada perasaan tegang yang menyelimuti rombongan kecil itu bagaikan kabut tebal.
Naya memimpin jalan. Tingkahnya tampak lebih serius dari biasanya. Langkahnya mantap, dan pikirannya tampak terfokus pada satu tujuan. Naren melirik ke arah Naya yang berjalan di depannya dan kemudian mendekat. "Kenapa kita harus melakukan ritual untuk menggunakan buku ajaib itu di luar, jauh dari rumahmu?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang tak bisa ditahan.
Naya menoleh sedikit ke arah Naren, menghela napas pelan sebelum menjawab. "Aku pernah melihat Ayahku melakukan ritual yang sama. Waktu itu, seluruh ruangan tempat ritual dilakukan hancur lebur, seolah tersedot oleh kekuatan magis yang tidak terkendali. Aku tentunya tidak mau rumah sederhana kesayanganku hancur karenanya."
Naren terdiam, memahami keputusan Naya. Di sisi lain, Arya yang mendengar hal itu langsung melirik Aria dengan cemas. "Apakah kita benar-benar aman? Apa yang terjadi jika ritual ini tidak berjalan seperti yang diharapkan?"
Aria tersenyum lebar dan terbang mendekati Arya. "Tenang saja, Arya. Aku akan melindungi kita semua. Dengan kekuatan peri cahaya, aku akan membuatkan tameng yang akan menghalau kekuatan tuan putri." Aria melambaikan tangannya dengan gaya penuh percaya diri, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi, dengan batang yang besar dan kuat. Pohon itu berdiri sendirian, tanpa pohon lain yang terlalu dekat dengannya. Naya berhenti dan memandang pohon tersebut dengan tatapan penuh pemikiran. "Aku rasa ini tempat yang tepat," gumamnya.
Naya lalu mendekati pohon itu, meletakkan satu tangannya di atas kulit batang yang kasar. Perlahan, dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan mulai mengalirkan kekuatan magisnya ke dalam pohon. Cahaya keemasan mulai merembet keluar dari telapak tangan dan jari-jarinya, mengalir ke seluruh bagian pohon. Dalam hitungan detik, pohon besar itu kemudian berubah menjadi debu emas yang berkilauan di bawah sinar matahari sebelum dihembuskan angin, menyisakan hanya batang bagian bawah yang rata, seolah-olah siap menjadi altar untuk ritual.
Naren dan Arya menatap dengan mata terbelalak. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Naya memiliki kekuatan sebesar itu. "Luar biasa," bisik Naren dengan nada kagum, sementara Arya hanya mengangguk setuju, terlalu takjub untuk berkata-kata.
Aria mengangkat dagunya dengan sombong. "Tuan putriku memang hebat, bukan? Aku sudah sering melihat kekuatannya, jadi ini bukan sesuatu yang baru bagiku," katanya sambil terbang di sekitar mereka, memamerkan kehebatan Naya.
Naya sendiri tidak memperhatikan pujian Aria. Dia bersiap untuk memulai ritual dan memandang Aria dengan tatapan penuh arti. "Sekarang, Aria, buatkan tameng cahaya untuk melindungi mereka berdua."
Dengan cepat, Aria melayang di udara, mengangkat kedua tangannya ke langit. Cahaya lembut memancar dari sayapnya yang berkilauan, menyebar ke segala arah seperti selimut pelindung yang memayungi Naren dan Arya. Perlahan, tameng transparan bercahaya pun terbentuk di sekitar mereka, membuat mereka merasa aman.
Naya meletakkan buku ajaib di atas batang pohon yang rata, menatapnya sejenak sebelum menutup mata sekali lagi. Aura magis kemudian mulai memancar dari tubuhnya seperti kilauan bintang. Rambut Naya yang coklat legam perlahan berubah menjadi keemasan, bersinar di bawah cahaya mentari siang, dan ketika Naya membuka mata, iris birunya terlihat berkilauan dengan intensitas yang menakjubkan.
Suasana menjadi lebih tegang ketika Naya mulai mengucapkan mantra, suaranya lembut tapi penuh kekuatan. Setiap kata yang diucapkannya seolah menggema di udara, membawa resonansi magis yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Cahaya dari tubuhnya semakin terang, dan buku ajaib yang tergeletak di atas meja pohon mulai bergetar, merespons mantra yang diucapkannya.
"Di hadapan terang mentari dan kekayaan hutan, kutundukkan kehendak dunia. Bukalah tabir rahasia, bukalah lembar masa. Aku memanggil kuasa kuno, dari kata-kata yang hilang di antara waktu."
Tiba-tiba, buku ajaib itu membuka sendiri, halaman-halamannya bergerak dengan cepat, seperti mencari sesuatu. Cahaya berwarna keemasan keluar dari buku, berputar-putar di udara di sekeliling Naya.
Arya dan Naren, yang dilindungi oleh tameng cahaya Aria, tak bisa menahan keterkejutan mereka. Naren bahkan merasa jantungnya berdetak kencang, seolah-olah dia bisa merasakan kekuatan luar biasa yang dipancarkan Naya.
"Naya... apa yang sebenarnya sedang kamu lakukan?!" ucap Naren sedikit berteriak, suaranya penuh rasa takut sekaligus kekhawatiran.
Namun, Naya tidak menjawab. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada buku dan ritual yang sedang berlangsung.
"Terangi jalanku, beri aku kunci takdirmu. Bangkitlah, wahai buku ajaib, dalam cahaya abadi, tunjukkan kekuatanmu kepadaku yang berhak!"
Rambut Naya yang keemasan berkibar-kibar ditiup angin magis yang berasal dari buku, dan saat mantra telah selesai keluar dari bibirnya, sebuah kilatan cahaya besar meledak dari buku ajaib itu, menyelimuti seluruh area di sekitar mereka.
<<<🖤>>>
to be continued
***
maaf yaa kependekann hehe, soalnya kalo disatuin sama kelanjutannya malah kepanjangann. tapi jangan kecewa yaaa... bab berikutnya 2 hari lagi! jangan lupa vote, komen dan follow nya ❤
With Love, Fiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIA | ON GOING
FantasyNarendra Atharva (Naren) adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Namun, di balik kesempurnaan itu, ia menyimpan luka mendalam akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Harapannya untuk menemukan kembali kebahagiaan muncul ketik...