Naren terjaga sepanjang malam. Pikirannya terombang-ambing dalam gelombang kebingungan dan kekhawatiran yang terus menghantamnya seperti badai tanpa henti. Selama berjam-jam, ia berbaring tak berdaya di tempat tidur, tatapannya kosong menembus langit-langit kamar yang gelap. Setiap fakta baru yang terungkap tengah malam tadi menggulung dalam pikirannya, seperti kepingan puzzle yang belum terpasang sempurna. Mimpi tentang Naya, keberadaan Alteria, dan cerita Edi mengenai kekuatan Arka—semuanya membentuk jalinan kebenaran yang semakin sukar dipahami.
Di tengah kesunyian malam, Naren mulai berspekulasi. Jika benar Arka memiliki kekuatan magis, mungkinkah itu alasan mengapa kepergian keluarga mereka tidak terekam di CCTV? Ataukah kekuatan itu mampu menghapus jejak mereka dari dunia nyata, mengaburkan semua bukti keberadaan mereka? Pikirannya tenggelam dalam lautan pertanyaan tanpa jawaban, membenamkannya lebih dalam ke jurang ketidakpastian. Setiap skenario yang ia bayangkan menambah beban di dadanya. Namun, di balik rasa takutnya, ada harapan tipis—harapan bahwa Naya dan keluarganya mungkin masih hidup di luar sana dan menunggu untuk ditemukan.
Saat pagi tiba, Naren belum juga tertidur. Kepalanya berat, tapi hatinya lebih berat lagi. Arya yang tidur di kamar seberang, mulai bangun dengan kebingungan di wajahnya saat melihat Naren berdiri di jendela, termangu. Tidak seperti biasanya, Naren tampak penuh dengan beban yang tak bisa ia ungkapkan. Arya mendekat, mencoba mengurai kebisuan itu dengan pertanyaan sederhana.
"Ada apa, Naren?" tanya Arya pelan, suaranya masih serak karena kantuk. "Kamu kelihatan khawatir."
Naren yang saat itu merasa terjebak dalam rasa kepedulian terhadap keluarga Naya, malah spontan membuat keputusan drastis untuk Arya. "Segeralah pulang tanpa aku, Arya," katanya tanpa basa-basi.
Arya, meski terkejut, langsung menolak keras. "Tidak, Naren! Aku tidak akan pergi tanpa dirimu!" seru Arya dengan tatapan mata penuh dengan tekad. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi kita selalu saling menemani dan mendukung, kan? Jadi jangan singkirkan aku. Apa pun masalahmu, katakan padaku. Aku akan membantu."
Naren tahu betapa keras kepalanya Arya, dan kali ini, tidak ada gunanya berdebat. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, Arya. Aku akan memberitahumu segalanya. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang mencari tahu apa yang terjadi pada Naya dan keluarganya."
Setelah mendengar penjelasan Naren, Arya membeku sejenak, sulit mempercayai semua yang didengarnya. Namun, akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia mengangguk mantap. "Aku mengerti. Ini semua memang gila, tapi aku percaya padamu, Naren. Kita akan cari tahu apa yang terjadi pada Naya. Aku akan bersamamu sampai akhir."
Kata-kata Arya memberikan dorongan hangat di dada Naren. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasa tidak sendiri dalam menghadapi kekalutan ini.
---
Masih di pagi yang sama, Naren dan Arya kini berdiri di depan mobil yang siap membawa mereka ke tujuan selanjutnya—hutan terlarang yang disebut-sebut sebagai tempat terakhir kali keluarga Naya terlihat. Hutan ini, berdasarkan penjelasan Edi, adalah tempat di mana Liana Elandra dulu menemukan Arka. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, hutan itu masih menyimpan misteri dan keangkeran yang mencekam.
"Kita semua harus sangat berhati-hati," ucap Edi, suaranya tenang namun penuh perhatian. "Banyak hal tersembunyi di dalam hutan ini."
Naren mengangguk, sementara Arya tampak menghembuskan nafas berat. Mereka tahu bahwa ini bukan perjalanan biasa. Ketika mobil mereka akhirnya memasuki area hutan, suasana langsung berubah drastis. Matahari yang sudah cukup tinggi seolah tak mampu menembus kanopi pepohonan yang tebal. Hutan itu terasa hidup, namun sunyi. Udara di sekitarnya begitu lembap, dengan aroma tanah basah yang tajam menyengat hidung. Pohon-pohon besar menjulang seperti raksasa yang menjaga rahasia zaman, menutupi setiap jejak cahaya.
Angin yang lembut bertiup, namun membawa bisikan aneh yang terdengar dari kejauhan. Bagaikan suara yang sudah lama mati namun tetap ada, bersembunyi di antara dedaunan dan semak belukar. Seiring mereka bergerak lebih dalam, jalanan menjadi semakin terjal. Batu-batu besar dan akar-akar pohon melintang sehingga memaksa Naren untuk memperlambat laju mobilnya. Hingga akhirnya, saat jalanan benar-benar tidak bisa dilewati lagi, mereka terpaksa berhenti.
"Kita harus jalan kaki dari sini," ujar Naren sambil menghela napas panjang. "Tolong serahkan peta kepada Arya, Pak Edi. Kami akan pergi, dan bapak tunggulah di sini."
Edi mengangguk. "Berhati-hatilah. Jika ada sesuatu yang tidak beres, segera kembali."
Dengan langkah penuh hati-hati, Naren dan Arya mulai menembus belantara yang semakin rapat. Setiap langkah terasa berat, seolah mereka berjalan melawan waktu menuju sebuah tempat yang penuh misteri dan kegelapan. Pepohonan semakin padat, dan semakin dalam mereka berjalan, semakin sunyi pula suasana di sekitarnya. Tidak ada suara burung, tidak ada hembusan angin—hanya keheningan yang menekan.
"Aku tidak suka ini," bisik Arya dengan gugup sambil melirik peta di tangannya. "Aku rasa kita tidak akan menemukan jalur yang benar-benar aman."
"benarkah?" Naren mencoba melihat peta di tangan Arya dan mencoba mencari rute lain. Namun, tiba-tiba, suara menggeram berat terdengar dari kejauhan. Suara yang begitu dalam dan penuh ancaman. Naren dan Arya saling bertatapan, tubuh mereka menegang. Suara itu datang semakin dekat, menggema di antara pepohonan.
"Lari!" Naren berteriak. Mereka segera melesat, berlari secepat mungkin di antara pohon-pohon raksasa itu. Napas mereka memburu, namun suara yang mungkin berasal dari hewan buas itu semakin mendekat. Jejak kaki yang berat dan cepat bergema di belakang mereka, memacu adrenalin mereka hingga ke puncak.
Di tengah kepanikan, Naren tiba-tiba menyadari bahwa Arya sudah tidak ada di sampingnya. Dia berhenti mendadak, menoleh ke segala arah, tapi tak ada tanda-tanda sahabatnya. "Arya!" teriaknya, namun hanya keheningan yang menjawab.
Naren yang tidak punya pilihan lain akhirnya terus berlari tanpa arah, terhuyung-huyung menembus medan yang semakin sulit. Ranting dan duri mencakar tubuhnya, namun ia tak peduli. Hingga tiba-tiba, tanah di bawah kakinya longsor. Naren terjun bebas ke dalam jurang yang dalam. Jeritan keluar dari mulutnya, namun teredam oleh suara angin yang menderu.
Tubuh Naren beberapa saat kemudian menghantam air yang dingin dengan keras. Naren rupanya tercebur ke dalam sungai deras di dasar jurang. Air yang dingin perlahan membungkus tubuhnya, menyeretnya seolah ingin menelan seluruh keberadaannya. Dengan pandangan yang mulai kabur, Naren berusaha menggapai apa pun untuk bertahan. Namun, kekuatan arus membuat segalanya sia-sia. Sesaat sebelum kesadarannya hilang, satu nama melintas di bibirnya.
"Naya..."
Lalu segalanya menjadi gelap.
<<<🖤>>>
to be continued
***
Huhu semoga Naren dan Arya baik-baik saja. Ayo berikan reaksi terbaikmu lewat vote, komen dan follow yaaaa ❤
With Love, Fiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIA | ON GOING
FantasyNarendra Atharva (Naren) adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Namun, di balik kesempurnaan itu, ia menyimpan luka mendalam akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Harapannya untuk menemukan kembali kebahagiaan muncul ketik...