BATAS

46 31 1
                                    

Naren berdiri di balkon kamarnya di vila, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang berkilauan. Angin sejuk berhembus pelan, namun tak cukup untuk meredakan kegetiran yang melingkupi pikirannya. Tangannya menggenggam erat pagar besi balkon, seolah dengan cara itu ia bisa menenangkan gejolak kegundahan yang menghantui hatinya. Sementara pikirannya? Pikirannya tertuju pada Naya.

Naren mengingat kembali momen ketika pertama kali ia melihat Naya di dalam air. Kilauan-kilauan magis menyelimuti tubuh Naya saat itu. Iris matanya yang biru tampak bersinar seolah memancarkan kekuatan yang tidak nyata. Hal itu membuat Naren bertanya-tanya apakah dia bukan manusia biasa?

"atau justru dia bukanlah Naya yang aku kenal?" gumam Naren pelan, bertanya pada dirinya sendiri.

Jika memang gadis di hutan itu adalah Naya, hal apa yang menyebabkan dia tidak mengingat masa lalu mereka? Kenapa dia terasa seolah asing? Naren masih ingat saat mereka masih kecil, Naya selalu berada di sisinya, tertawa bersamanya, dan tiada hari dilalui tanpa dirinya. Sedangkan gadis ini? Hanya ciri-ciri fisiknya dengan Naya kecil yang tampak masih sama, satu hal yang berbeda adalah pandangan gadis itu terasa lebih tajam dan penuh rahasia, dan wajahnya setelah beranjak dewasa tampak lebih cantik?

Kilasan kenangan lain terlintas dalam pikiran Naren beberapa saat kemudian. Ketika dirinya berada di antara lebatnya tanaman hutan, dengan suara gemerisik daun dihembus angin malam, dan Naya berdiri di hadapannya, memandangnya dengan tatapan yang begitu dalam. Mereka saling menggenggam tangan, tanpa kata-kata, namun saling merasakan sesuatu dalam hati mereka. Lalu tiba-tiba, kunang-kunang muncul, mengitari mereka berdua. Cahaya kecil kunang-kunang itu berkelip, menciptakan pendaran magis di udara, seolah dunia ikut berhenti untuk sesaat.

Naren menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Apa artinya semua ini?" batinnya bertanya, tanpa ada jawaban yang datang. "Kenapa banyak hal yang terasa... tidak nyata?"

Naren merasa kehilangan arah, tenggelam dalam labirin pikiran yang semakin rumit. Tidak ada seorang pun yang bisa ia tanyakan tentang hal ini. Siapa yang bisa menjelaskan apa yang ia alami? Logika biasa juga tak bisa menjelaskan apapun. Semua peristiwa yang terjadi sejak pertemuan kembali mereka membuat segalanya semakin kabur. Ia butuh jawaban, tetapi tak tahu harus mencarinya ke mana.

Ketika Naren membalikkan badan, hendak masuk kembali ke kamarnya, pandangannya secara tak sengaja tertuju ke lantai atas, ke arah lantai tiga. Di sana, Naren ingat ada satu ruangan yang telah ia kunjungi bersama pak Edi malam sebelumnya—ruangan tempat ia melihat gerbang menuju Alteria.

Naren terdiam sejenak, memikirkan kejadian di malam sebelumnya. Gerbang Alteria dalam ruangan itu, cahaya yang begitu kuat disana, terasa seperti memanggilnya, seakan ada sesuatu yang menunggunya. Mungkin, hanya mungkin, gerbang Alteria itu bisa memberinya jawaban.

"Apa aku harus kesana?" Naren ragu, tetapi rasa penasaran yang membara perlahan menguasai ketakutannya. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, ia memutuskan untuk pergi. Tanpa diketahui siapapun, ia berjalan dengan langkah pelan tapi pasti, memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.

Naren tiba di lantai tiga, lalu berjalan menelusuri lorong yang hening. Ruangan itu terletak di ujung, tersembunyi di balik pintu besar yang tampak tua namun kokoh. Naren membuka pintu itu perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Saat itulah Naren melihat cahaya samar dari gerbang Alteria masih bersinar, seperti sebelumnya—gerbang itu masih memancarkan kekuatan magis dan tampak begitu hidup, seolah bernafas, berdenyut dengan sihir yang entah datang darimana.

Naren mendekati gerbang itu dengan hati-hati, rasa takut dan rasa penasaran bersatu di dalam dirinya. Sinar dari gerbang itu berpendar-pendar di kulitnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh di lantai. Dengan ragu-ragu, Naren kemudian mengulurkan tangannya ke arah cahaya gerbang, merasakan energi yang kuat mengalir dari sana.

"Apakah aku bisa menembusnya?" Naren bertanya-tanya dalam hati. Tangannya semakin dekat, dan ketika jari-jarinya menyentuh sinar magis yang melingkupi gerbang, rasa sakit yang luar biasa langsung menyerang. Ia terkejut, berusaha menarik tangannya, namun kekuatan yang ada di balik gerbang itu terasa begitu kuat. Sinar tersebut seolah menarik tubuhnya ke dalam.

Naren merasakan sakit yang kian hebat, seakan tangannya terbakar oleh kekuatan yang tak terlihat. Ia mencoba menarik tubuhnya, berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga. Sampai kemudian, tubuh Naren terjatuh duduk ke lantai dengan napas tersengal-sengal dan jantung berdetak kencang.

Rasa sakit yang menjalar dari tangannya membuat Naren terhuyung. "Apa yang baru saja terjadi?" pikirnya, masih terguncang. "Kenapa... kenapa rasanya sesakit ini?" Tubuh Naren terasa sangat berat dan tangannya kini tampak terluka parah, kulit tangannya merah seperti terbakar, berdenyut nyeri dan membuat pikirannya semakin kacau.

Naren beberapa saat kemudian merenung, mengalihkan pandangan pada gerbang Alteria yang tetap bersinar tenang, seakan tidak terganggu oleh apa yang baru saja terjadi padanya. "Aku hanya manusia biasa," ia bergumam dalam hati. "Mungkin itulah sebabnya... mungkin aku tidak cukup kuat untuk menembusnya."

Semakin Naren memikirkannya, semakin ia merasa bahwa ada lebih dari sekadar batasan antara dunia manusia dan dunia Alteria. Gerbang itu pasti menyimpan rahasia yang lebih besar, dan Naren tahu bahwa ia harus menemukan cara lain untuk mengungkapnya. "Tapi bagaimana caranya? Dan... siapa yang bisa membantuku memahami semua ini?"

Di dalam kekacauan pikiran dan rasa sakit yang menguasai tubuhnya, Naren tahu satu hal dengan pasti: ia tak bisa menyerah. Naya, masa lalu mereka, dan semua misteri ini menuntut untuk dipecahkan. Meskipun Naren belum tahu bagaimana caranya, ia akan terus mencari jawaban.

Sementara itu, di suatu wilayah Alteria, Arka yang tengah berada di tengah sebuah perjamuan bersama beberapa panglima Alteria tiba-tiba meremas dada sebelah kirinya sembari menyernyitkan kedua alis, seolah mendapatkan suatu firasat buruk.

Brakkk!

Arka tiba-tiba berdiri sambil menggebrak meja, membuat semua orang dalam ruangan langsung berlutut dan menunduk seolah takut Raja mereka akan mengamuk.

"A-a... ada apa Yang Mulia? Apakah kami membuat suatu kesalahan?" tanya seorang panglima tanpa berani mengangkat kepalanya.

Arka, yang entah kenapa tiba-tiba diliputi oleh kemarahan, langsung berjalan pergi meninggalkan ruangan perjamuan itu dan membuat semua orang kebingungan.

"Gerbang sialan yang tidak bisa aku tutup itu... siapa yang berani menyentuhnya?" gumam Arka pelan.

 siapa yang berani menyentuhnya?" gumam Arka pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


<<<🖤>>>

to be continued

***

Ayok ayok vote, komen dan follow yaaaa trimakasiiiii ❤

With Love, Fiah.

ALTERIA | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang