Arya berlari sekencang mungkin, kakinya menghantam tanah keras yang licin oleh dedaunan basah. Suara nafasnya yang terengah-engah berbaur dengan gemuruh jantung yang berdetak liar. Di balik punggungnya, suara hewan buas menggeram semakin mendekat, memaksanya terus berlari tanpa memedulikan apapun. Kegelapan hutan semakin menelan dirinya, dan sepertinya ia telah kehilangan arah.
Entah sejak kapan dirinya terpisah dengan Naren, hanya naluri bertahan hidup yang memaksanya melaju. Namun, ketika suara hewan buas itu akhirnya hilang di kejauhan, Arya tersadar dan berhenti mendadak. Napasnya terputus-putus, tubuhnya gemetar bukan hanya karena kelelahan, tetapi karena sesuatu yang lain—ketakutan.
"Naren..." Arya berbisik cemas, berputar cepat untuk memeriksa sekeliling. Hanya ada pohon-pohon besar yang menjulang bisu, melingkupi hutan yang seolah menelan suara dan harapannya. Tidak ada jejak Naren disana. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Arya merasa sendirian di tengah hutan yang begitu mencekam.
Pikiran panik segera menguasai dirinya. "Naren! Naren dimana kamu?!" Suaranya menggema di antara pepohonan, tetapi tidak ada jawaban. Sekarang, rasa bersalah mulai menyerang pikirannya. Kapan dia kehilangan Naren? Bagaimana bisa ia begitu ceroboh?
Arya menatap sekeliling dengan saksama sembari mengendalikan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang bisa membantunya menemukan jalan kembali. Ia mulai mengingat-ingat tempat dimana terakhir kali dirinya dan Naren bersama. Lalu dengan langkah hati-hati, Arya mencoba menyusuri kembali jejak menuju tempat itu. Namun, setelah beberapa lama, Arya menyadari kenyataan pahit: Naren juga ternyata tidak ada disana.
Arya menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan putus asa yang merayap di hatinya. Dia harus membuat keputusan. Tetap mencari Naren di dalam hutan bisa membuat dirinya semakin tersesat—dan dia tahu, beberapa saat lagi langit akan berubah gelap.
Akhirnya, dengan berat hati, Arya memutuskan untuk pergi. Hanya ada satu tempat yang bisa dia tuju sekarang—kembali ke mobil, ke tempat Pak Edi menunggu. Mungkin, hanya mungkin, Naren sudah berhasil keluar dari hutan dan kembali lebih dulu.
Langit mulai merona jingga saat Arya akhirnya tiba di tempat mobil mereka terparkir. Napasnya masih berat setelah perjalanan panjang yang penuh ketegangan. Di kejauhan, ia melihat sosok Pak Edi berdiri di dekat mobil, tangannya terlipat di depan dada, tampak sedang menunggu dengan raut wajah yang tenang.
Arya segera berlari mendekat. "Pak Edi! Apakah Naren sudah kembali?"
Pak Edi mengangkat alis, lalu menggeleng perlahan. "Belum, Tuan Arya. Apakah dia tidak bersamamu?"
Arya terdiam, keringat dingin membasahi dahinya. "Kami terpisah... di dalam hutan," jawabnya dengan suara serak. "Saya kira dia sudah lebih dulu kembali."
Pak Edi menatapnya dengan cemas, "Tidak, saya belum melihatnya sejak kalian pergi."
Arya merasa dadanya semakin sesak. "Apa mungkin dia tersesat... atau terluka?"
Pak Edi menghela napas, pandangannya menyapu sekitar. "Hutan ini memang berbahaya. Tapi kita tidak bisa terburu-buru membuat kesimpulan buruk. Tuan Naren pasti baik-baik saja."
Arya mengepalkan tangannya, berusaha mengusir rasa panik yang terus menghantui. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Pak Edi memandang ke arah hutan yang semakin gelap. "Kita tunggu sebentar lagi. Kalau dia tidak muncul juga, saya akan mencari bantuan."
Arya menatap ke arah pepohonan yang pekat dengan perasaan tak menentu. Suasana sore yang berubah larut terasa seperti jam pasir yang menipis, sementara bayangan hutan terus menyimpan rahasia di baliknya.
---
Kegelapan yang mencekam kini telah menelan tubuh Naren sepenuhnya. Ia hanyut dalam arus sungai yang deras, jauh di bawah permukaan, seolah waktu sendiri telah berhenti untuknya. Rasa dingin bahkan telah merambat dan mulai melemahkan setiap detak jantungnya. Jiwa Naren melayang di antara kesadaran dan kehampaan, terombang-ambing seolah hampir menjumpai kematian.
Namun di saat yang sama dari arah hutan di atas sana, dari celah pepohonan yang rindang, sesosok gadis bergaun putih tiba-tiba terlihat berlari dengan kaki yang telanjang, tanpa peduli pada ranting atau batu yang menghadang. Rambut coklatnya yang panjang terurai liar, menari bersama angin, sementara wajahnya memancarkan ketenangan di tengah-tengah kekacauan. Lalu semakin waktu berjalan, ia semakin mempercepat langkahnya kemudian berhenti tepat di tepi jurang tempat Naren terjatuh.
Napas gadis itu terengah, tapi tak ada sedikitpun kebimbangan di raut wajahnya. Lalu setelah satu atau dua detik melihat ke bawah, gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya sendiri ke dalam jurang dengan tenang bagaikan daun yang terjatuh dari pepohonan. Deru angin menerbangkan rambut panjangnya ke belakang saat dia meluncur turun dengan anggun, sementara iris matanya yang berwarna biru terlihat begitu fokus memperhatikan tujuan.
"sungai ini lagi?" gumam gadis itu dalam hati sembari mengulurkan satu tangan ke depan.
Kemudian saat jari-jarinya mulai menyentuh permukaan air, sebuah keajaiban terjadi. Aliran sungai yang semula liar dan tak terkendali itu mendadak berhenti. Segala riak, gemuruh, dan derasnya arus seketika membeku bersamaan dengan munculnya cahaya lembut berwarna keemasan yang menjalar dan menyebar dari tubuh gadis itu. Rambutnya bahkan tampak ikut berkilauan dan sekilas berubah warna, sementara mata birunya kini menyala bagaikan dua bintang di kegelapan.
BYUURRRR!!!
Akhirnya, tanpa sedikitpun merasa terhantam ataupun merasa kedinginan, gadis itu menceburkan tubuhnya ke dalam sungai dan berenang dengan keanggunan. Setiap gerakannya begitu lembut dan tenang, seolah air memang sudah biasa dirinya taklukan. Dengan mudahnya dia menyusuri kedalaman sungai dan bahkan bernafas di dalamnya, hingga tak berselang waktu lama pandangannya menangkap sosok Naren yang telah melayang-layang tak berdaya.
"dia..?"
Sembari disibukkan oleh isi pikiran yang entah apa, mata gadis itu menatap lekat pada Naren. Wajah Naren terasa familiar baginya, seolah ini bukanlah pertama kalinya mereka berdua berjumpa. Ada suatu hal yang bahkan terasa menggetarkan hatinya, bagaikan perasaan yang aneh dan mendalam.
"dia siapa?"
Perlahan, gadis itupun berenang mendekat pada Naren. Lalu ketika tubuh mereka berdua berhadapan, dia mengulurkan satu tangan dan mengangkat jari telunjuknya untuk menyentuh lembut hidung Naren, selembut angin yang menyapa kelopak bunga. Sesaat kemudian, melalui sentuhan itu, sebuah cahaya muncul dan merambat hangat ke tubuh Naren, bersamaan dengan kesadarannya yang entah bagaimana bisa kembali.
Saat itu dalam kekaburan pandangannya, Naren bisa melihat sesosok gadis dengan kecantikan luar biasa. Rambut coklat dan gaun putihnya melambai dalam air, seolah mengalun mengikuti arus yang tak ada. Iris matanya yang biru menyala dengan kilauan misterius, memancarkan aura kekuatan dan ketenangan.
Gadis itu tersenyum tipis, tatapan penuh rahasia terpatri di wajahnya. Namun sebelum Naren sempat meresapi apa yang terjadi, kesadarannya kembali perlahan menghilang. Gadis itu mengamatinya dengan tenang, hingga akhirnya, tubuh Naren kembali jatuh dalam keheningan.
"apakah dia yang tadi memanggil namaku?" batin gadis itu dipenuhi pertanyaan.
<<<🖤>>>to be continued
***
Siapakah kiranya gadis itu? kenapa dia memiliki kekuatan seperti itu? apakah dia akan menyelamatkan Naren? atau membiarkan Naren tenggelam? Ayo cari tahu jawabannya di bab berikutnya dan berikan reaksi terbaikmu lewat vote, komen dan follow yaaaa ❤
With Love, Fiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIA | ON GOING
FantasyNarendra Atharva (Naren) adalah sosok yang tampak sempurna di mata banyak orang. Namun, di balik kesempurnaan itu, ia menyimpan luka mendalam akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Harapannya untuk menemukan kembali kebahagiaan muncul ketik...