Bab IV [•] Dugaan Sementara.

22 7 2
                                    

      Anak yang masih mungil berlari menuju ke rumah tanpa sandal sembari membawa secarik kertas ujian, ia menembus angin di sekitarnya. Menuju ke rumah yang menantinya, keluarganya.

        Ia segera menggeser pintu utama dan mencuci kakinya, menaruh tas beratnya di samping rak sepatu. Anak laki-laki ini berlarian ke arah dapur, ia dihadirkan sepasang suami-istri yang menantinya.

“Ayahanda! Ibunda! Saya dapat nilai sepuluh!!” ujar anak laki-laki itu sembari melompat-lompat kegirangan dan menunjukan kertasnya.

Sang ayah yang mendengar hal itu tersenyum bangga. “Sudah Ayah bilang, kan? Haken pasti dapat nilai bagus!” sang ayah mulai menggendong sang anak.

“Mimpi ayahanda selalu benar, memang terbaik!” anak laki-laki itu ikut puas dengan kekuatan yang dimiliki sang ayah.

       Mata Haken perlahan terbuka, tubuhnya tidak bisa banyak bergerak. Ia kembali ke dunia nyata setelah selesai merajut mimpi. Dan ini kedua kalinya dia diikat oleh teman dekatnya sendiri. Talinya terbuat dari plastik, baginya mudah untuk terlepas dari ikatan ini. Pinggangnya tidak nyaman, karena telah berjam-jam tidur dalam duduk.

       Sepasang mata merahnya menyala terang dengan tubuhnya yang berjongkok di atas kasur, bagian bawah dari kasur tingkat. Wanita berambut gelombang itu sedang memikirkan banyak pertanyaan, ia bingung harus mulai darimana.

Haken menghela napas. “Ansa, aku minta maaf.”

“Kau bahkan belum meluruskan hipotesisku,” ia menekan kacamatanya yang bulat agar tidak jatuh. 'Bagaimana caranya kau melakukan itu? apa seperti sekarang ini?'

Haken mengangguk. “Aku hanya perlu bertatapan dengan seseorang, walaupun orang tersebut tidak menatapku,” tambahnya.

'Ucapkan apa yang kupikirkan! Anggur.'

“Anggur,” Haken menghela napas lagi, heran dengan Ansa yang masih penasaran. “Apa permintaan maafku diterima?”

Ansa tersenyum dan menunjukan layar ponselnya. Tanggal 16 Desember 2014, Selasa. Waktunya Ansa belanja kebutuhan. “Gantian, ya.”

Haken mengangkatkan alisnya sejenak, ia tahu akan seperti ini jadinya. Ia hanya mengangguk. “Okey, okey,” ujarnya pasrah.


--|||[:::::::::::]|||--


        Ia keluar dari pintu geser otomatis. Menggenggam lima kantong dalam dua tangan, tidak sebanding dengan dirinya yang dulu menarik gerobak penuh padi setiap menjelang sore.

         Ia teringat hal kecil yang sering dilakukannya dahulu, ternyata lebih berat di kota daripada lingkungan tersebut. Angin malam yang dingin menusuk rambutnya yang sependek leher, ia berniat untuk memanjangkannya.

         Ia memeriksa setruk belanjaan, memastikan uang kebutuhan dan kembaliannya sesuai dengan target awal. Tentu saja mereka harus menghemat mulai dari sekarang.

         Banyak kantor berita yang mulai menurunkan harga, karena mereka tahu bahwa mereka harus tetap meliputi berita dunia yang terjadi, tetapi tidak boleh sampai bangkrut. Itupun belum termasuk berita umum selain dunia yang mendadak kacau ini.

        Saat ingin berbelok ke lorong bagian kanan, matanya tidak sengaja menangkap punggung seorang yang berseragam polisi. Rambutnya dengan gaya turun berwarna hijau kegelapan, mengingatkan Haken dengan sayuran hijau yang layu.

        Pria dengan wajah polos itu duduk di kursi sembari mencatat banyak hal di note kecilnya. Ia sedang duduk sembari menggigit tutup pena, Haken mengira bahwa Armas sedang menahan dirinya untuk merokok.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang