Ruang interogasi di kantor polisi terasa begitu sunyi. Dindingnya rapat, kedap suara, dengan hanya dua kursi dan sebuah meja di tengahnya. Ruangan itu terlalu sempit untuk menampung apa pun selain ketegangan yang ada di antara dua orang yang duduk di dalamnya.
Armas dan Haken. Dua pria, dua profesi yang berbeda, namun keduanya terjebak dalam situasi yang saling mempermainkan pikiran. Armas duduk tegak di kursinya, posturnya kaku dan tegas, sementara Haken berusaha terlihat tenang.
Dia tidak sesantai biasanya, karena keadaannya jauh lebih kompleks dari yang dia perkirakan. Rekaman suara mulai berbunyi, mencatat setiap kata yang terucap, setiap pergerakan di dalam ruangan itu.
Seorang jurnalis yang terbiasa bertemu orang-orang dengan beragam latar belakang, mencoba mengatur napasnya agar tidak terlihat tertekan, meski pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi.
“Baiklah, mari kita mulai.”
"Kota Osan, tanggal satu Januari dua ribu lima belas. Armas Halonen, bersama?" Armas membuka dengan suara dingin dan terukur, memecah keheningan.
Tidak ada basa-basi, tidak ada senyuman. Hanya suara serak seorang petugas yang melakukan tugasnya. Mata Armas tajam menatap ke arah Haken, seolah berusaha menyelami pikirannya lebih dalam dari sekadar permukaan yang terlihat.
Haken mengangguk perlahan, matanya melirik ke arah meja, seolah mencari pegangan dalam kata-katanya sendiri. “Haken... Haken Stryke,” jawabnya, suaranya terdengar lebih datar dari yang ia inginkan.
Armas mulai menanyakan hal-hal yang umum, layaknya polisi pada umumnya. Apa yang Haken lakukan di gedung itu? Mengapa ia berada di sana? Apa hubungannya dengan runtuhnya gedung tersebut?
Haken menjawab sebaik mungkin, mencoba terdengar setenang jurnalis yang biasanya ia tunjukkan dalam wawancara profesionalnya. Namun kali ini, dia tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah ujian. Ujian untuk mempertahankan kendali.
“Gedung itu runtuh, Haken. Ada korban, dan saya butuh jawaban yang jelas,” suara Armas menekan, seakan ingin memaksa Haken untuk membuka seluruh rahasia yang ia simpan.
“Saya… hanya berada di sana untuk menolong Luna, tapi,” jawab Haken. “Alia, adik saya, dia… ingatannya retak. Sama seperti yang terjadi pada Luna. Ini bukan tentang saya, bukan tentang gedung itu. Alia dalam masalah besar, dan saya hanya berusaha untuk menolongnya.”
Armas mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya terlipat di atas meja. Dia tahu bahwa ada yang disembunyikan Haken. Tatapannya penuh kecurigaan, seolah-olah dia bisa membaca setiap celah dalam jawaban Haken. Kenyataannya, hanya disinilah Haken yang bisa "read-mind."
“Retak, kata anda? Seperti apa tepatnya ingatan seseorang bisa retak?” Armas penasaran kenapa Haken bisa tahu tentang 'ingatan', seharusnya hanya Emma dan Pengguna Kekuatan internal yang tahu hal tersebut.
Haken terdiam sejenak. Ia tahu tidak mungkin menjelaskan sepenuhnya. Ia tidak bisa membawa masa lalu Alia ke dalam pembicaraan ini. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, tentang kenangan yang terkunci dalam ingatan Alia.
“Saya tidak bisa menjelaskan detailnya,” Haken berkata pelan. “Tapi ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada Luna. Anda harus percaya padaku, ini bukan sesuatu yang bisa kita pecahkan di sini.”
Kata-kata itu terdengar lemah bahkan bagi dirinya sendiri. Haken tahu, semakin sedikit yang ia katakan, semakin curiga Armas jadinya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Jika ia berbicara lebih dari itu, ia berisiko membongkar rahasia yang lebih besar lagi tentang masa lalu mereka, tentang kekuatan yang tak seharusnya ada.
Armas menatap Haken dalam-dalam. Ada sesuatu di balik ekspresi tegasnya, sesuatu yang tidak mudah diungkap. Meski Armas terus menahan sikap tegasnya, dia mulai mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang Haken katakan.
Jika yang dikatakan Haken benar, dan ini melibatkan lebih dari sekadar kecelakaan biasa, maka hukuman penjara atau denda besar sudah pasti menunggu di depan mata. Tapi ada sisi lain dari kasus ini. Armas tahu, Haken adalah seseorang yang tidak mudah ditundukkan. Terlebih, dia telah menyelamatkan Luna. Itu membuat keadaan semakin rumit.
“Tolong, Pak Armas. Saya tahu posisi saya buruk, tapi saya telah melakukan hal yang benar saat menolong Luna. Anda tahu itu.” Haken mencoba menarik sisi manusiawi Armas. “Gedung itu runtuh, ya, tapi ini lebih besar dari sekadar gedung runtuh. Saya tidak minta anda menutupi apa yang saya lakukan, tapi setidaknya lihatlah dari perspektif lain.”
Armas mengerutkan kening. Dia tahu Haken sedang berusaha melabui, berusaha mengalihkan fokus. Tapi tetap saja, ada bagian dari perasaannya yang mengerti. Namun, sebagai polisi, dia tidak bisa begitu saja menerima alasan tersebut. Ada hukum, ada regulasi yang harus dia ikuti.
“Saya tahu anda punya niat baik, Haken. Tapi hukum tidak melihat niat, hukum melihat tindakan.”
Kata-kata Armas menusuk Haken. Dia tahu bahwa polisi ini tidak mudah dibujuk, tapi dia harus tetap mencoba. Armas tiba-tiba mengingat kasus Stabilix, obat dari VitalStatis Labs yang belum diselesaikan oleh Haken. Sebuah kilatan muncul di kepala Haken ketika mendengar batin Armas.
'Ini kesempatan!'
Haken tersenyum tipis. “Stabilix, ya?” gumamnya pelan. “Kasus itu memang belum selesai. Tapi saya masih punya sumber yang bisa anda gunakan. Mungkin kita bisa bekerja sama. Saya bantu anda mendapatkan informasi yang anda butuhkan, dan anda membantu saya keluar dari masalah ini. Mutualisme.”
Tatapan Armas tak bergeming. Dia mengerti permainan ini. Dia tahu Haken sedang mencari jalan keluar. Namun, dia juga tahu betapa pentingnya kasus Stabilix ini. Jika Haken bisa membantunya memecahkan kasus itu, mungkin ada sedikit kompromi yang bisa mereka buat.
Namun, instingnya sebagai polisi terus menahannya. “Anda mengajak saya bekerja sama, Haken? Anda pikir ini bisa semudah itu?”
Haken mengangguk. “Saya tahu anda butuh informasi itu, dan saya bisa memberikannya. Pertimbangkanlah ini, Armas. Anda dapat menangani kasus Stabilix, saya keluar dari sini, dan kita berdua bisa mendapatkan apa yang kita mau.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Armas terdiam, bergelut dengan pikirannya sendiri. Di satu sisi, dia ingin mengambil kesempatan ini, memecahkan kasus Stabilix adalah sesuatu yang dia incar juga.
Namun, di sisi lain, sebagai seorang polisi, ada tanggung jawab yang harus dia jaga. Hukum tidak bisa begitu saja dilanggar, meski ada godaan untuk melakukannya.
“Pak Armas. Dengar, Saya tahu ini sulit, tapi Bu Emma punya rencana. Sesuatu yang bisa anda masuki juga. Kita bisa menyelesaikan ini bersama,” lanjut Haken, suaranya kini lebih tegas, berusaha meraih simpati terakhir Armas.
Sebelum Armas bisa merespon, pintu ruangan itu terbuka, memotong pembicaraan mereka. Suara dari luar seakan membawa mereka kembali ke kenyataan. Armas menoleh, lalu berdiri perlahan.
“Kita lihat nanti,” ujarnya dengan nada datar sembari mematikan rekaman suara.
Haken hanya bisa terdiam. Pertemuan ini belum selesai, tapi untuk saat ini, dia tahu bahwa Armas berada di ambang keputusan. Dan keputusan itu bisa mengubah segalanya.
'Akankah Armas menerima tawaranku, atau justru tetap memilih jalur hukum yang kaku?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan [ THE END ]
Ficção AdolescenteMereka yang dulunya menjalani kehidupan normal kini harus beradaptasi dengan kenyataan baru-bahwa di antara mereka ada yang memiliki kemampuan luar biasa yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Kekacauan dan ketidakpastian merajalela, membuat masyar...