Bab VII [•] Adik Tercinta.

19 8 0
                                    

       Ia berjalan dengan sedikit lompatan sembari mendorong gerobak di antara pepohon besar, tubuhnya yang kecil tidak membuatnya mengeluh. Di dalam gerobak besar itu, terdapat tumpukan padi kering yang siap dikupas. Ia bergumam pelan, berusaha mengingat nama-nama zat yang ada di Tabel Periodik.

       Anginnya begitu dingin dan sejuk, menembus ke dalam rambutnya yang telah di ikat. Kakinya merasa sedikit geli setiap berjalan di atas kerikil lancip, tetapi itu tidak mengganggunya.

        Pakaiannya cukup tebal untuk seorang lelaki, baju sepanjang lutut yang terbuat dari kain rayon. Bagian kakinya yang diselimuti kain halus yang begitu panjang, dan di ikatkan dengan selendang berbahan kasar. Lehernya diselimuti syal hingga menutupi mulutnya.

       Anak laki-laki ini akhirnya menemukan gerbang besar dengan papan nama yang sering ia jumpai. Desa Nuasa. Senyumannya melebar dan segera mendorong gerobak sekuat tenaganya, tidak sabar menuju ke tempat istirahatnya. Ia berjalan dan saling menyapa penduduk desa yang lain, seperti semuanya adalah keluarga.

       Perumahan yang sederhana, terbuat dari alam dan magis dari pemilik rumah itu sendiri. Beberapa dari mereka lebih memilih membuat rumahnya melayang, tidak ingin susah payah membersihkan salju di bawah rumah mereka.

       Udara di desa itu selalu membawa aroma segar, seolah dipenuhi oleh hembusan angin yang menjaga alam tetap harmonis. Tidak ada tempat yang terasa sunyi, karena suara gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di sepanjang desa seakan-akan berbisik menenangkan di hati.

       Anak lelaki itu memberhentikan gerobaknya di depan rumah kayu besar, di sampingnya terdapat sungai. Ia menyempatkan diri mencuci kakinya, kemudian berjalan kembali ke arah pintu rumah. Ia duduk bersimpuh sejenak sembari menggeser pintu bambu tersebut, dan perlahan masuk dengan berjalan jongkok menuju ke ruang utama.

       Ia menggeser pintu bambu lainnya, menemukan dua orang di dalam ruang utama. Pria berbadan langsing segera menengok ke pintu, mulutnya tersenyum, bola matanya yang berwarna merah gelap menatap mata biru anak kecil itu dengan sejuk.

       Pria itu menggenggam segelas teh yang masih menguap di wajah halusnya, sedang duduk bertimpuh dengan anak keduanya.

“Ayahanda,” anak lelaki memasuki ruangan dan menutup pintu. “kakak pulang,” sapanya halus.

       Anak perempuan di depannya yang sedang fokus dengan bidak caturnya, pikirannya segera terpecah mendengar kakaknya telah pulang. Rambutnya yang bergelombang segera tertiup angin dari jendela, mata rubynya berbinar dengan senyuman terbuka. Ia segera bangkit dan memeluk kakaknya.

“Kakanda pulang!” teriaknya dengan girang, ia menggelengkan kepalanya di dalam rangkulan anak lelaki.

       Suara pintu bambu di belakang mereka bergeser dengan cepat. Mereka serentak menengok ke arahnya. Wanita dengan rambut biru gelap yang bergelombang hampir menutupi sebagian wajahnya, sepasang mata birunya menatap kedua anaknya.

       Ia sedang menggenggam seberkas kertas dan kamera di sampingnya, sesuatu yang tidak terlalu disenangi mereka.

“Haken, Alia,” panggilnya dengan datar. “ikuti ibunda.”

AGH!

       Tubuh pria tinggi itu segera bangkit dari rajutan mimpinya, nafasnya kacau. Matanya melotot tidak tenang, perutnya begitu sakit. Ia segera mendongak dan melihat ke sekitar, dia sedang berada di ruangan putih dengan tiga kasur dan alat elektronik yang kompleks.

“nah, baru bangun juga kau,” ucap wanita berkacamata dengan santai.

       Haken segera menoleh ke arah kanan, Ansa dengan santai kembali memainkan ponselnya. Ia tahu, Ansa pasti memukul perutnya. Rekannya bukanlah tipekal orang yang sabar menemani temannya sendiri. Ansa segera memberinya sekantong obat resep dokter kepadanya.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang