Bab V [•] Gedung Runtuh.

21 7 7
                                    


       Mereka semua sejak kecil telah diajarkan untuk saling tolong-menolong, tapi jarang sekali di aplikasikan ke dalam situasi mendesak. Tidak sedikit mereka berlarian seperti cacing kepanasan di setiap lorong, mencari jalan keluar. Mereka tidak peduli itu wanita atau anak kecil, bahkan bayi sekalipun. Saling mendorong dan mendesak satu sama lain.

       Tidak sedikit yang terjatuh dan diinjak-injak oleh yang lain tanpa mereka melihat sendiri. Suara gaduh, suara jeritan, suara tangisan, suara membantah, semuanya saling beterjangan. Tanpa mereka sadari sendiri, sudah ada beberapa yang tidak selamat sebelum memasuki pintu darurat.

       Pancaran lampu telah redup sepenuhnya, cahaya yang tersisa hanya dari pecahan kaca di jendela besar. Beberapa pilar di setiap lantai telah runtuh, membuat pagu di atasnya runtuh lebih cepat. Lemari-lemari berkas dan tempat penting lainnya tertutupi dengan berserakan, sesuatu yang begitu disayangkan.

       Pintu darurat lantai dua belas telah terselimuti reruntuhan semen yang besar. Orang-orang di lantai tersebut segera menuruni lewat tangga biasa. Beberapa dari mereka lebih memilih lift layanan, suatu kesalahan fatal. Dua menit segera terlewati. Tidak jauh dari tangga utama di lantai sebelas, sang jurnalis bisa mendengar suara tali kawat baja yang terputus di sebelahnya.

       Mata Yin-Yang di depannya segera menengok Haken, wajah wanita itu semakin pucat. Haken sedikit menurunkan alisnya dan menggenggam kedua pundak Emma, ia memaksa wanita itu menuruni anak tangga yang tidak ada habisnya. Emma menggenggam pinggang Luna seerat mungkin, tidak ingin boneka mungilnya terjatuh secara sengaja maupun tidak.

       Berbagai aroma memasuki hidung mereka berdua, membuat bulu tengkuk semakin menegang di tengah keramaian. Tubuh Luna mulai menggelugut tidak tenang, wajahnya semakin murung setiap melihat orang-orang di sekitarnya terjatuh dengan wajah pucat. Kedua matanya semakin berkaca-kaca, wajahnya mulai memerah, ingin melampiaskan semuanya lewat suara. Ia melihat kedua orang dewasa yang terus bersamanya sejak kemarin, kedua bentuk seri muka yang tidak ingin dilihat Luna saat ini.

      Emma tak sempat mengawasi perasaan Luna, matanya harus fokus ke jalan yang mereka tuju. Nafasnya semakin berat. Ia membuang nafasnya dari mulut, tidak cukup dari hidung saja. Matanya melebar, berusaha tetap fokus. Wajahnya diselimuti dengan keringat.

      Haken mengeret tangan Emma yang lain untuk keluar dari kerumunan di tangga lantai empat. Ia menuntun mereka berdua ke arah jalan yang berbeda. Haken berjalan mantap  di antara reruntuhan, oto-ototnya tegang namun kendalinya tetap kuat. Matanya tajam mencari celah di antar keping-keping beton yang berguguran.

      Meski kepalanya dipenuhi kekhawatiran dan tekanan, ia memaksa pikirannya tetap jernih, menahan segala ketakutan yang berusaha menyeruak. Ia merasakan getaran besar di tanah yang mendekat, namun ia tidak bisa berhenti. Jangan sekarang, Haken.

       Di belakangnya, Emma berjuang mengikuti ritme lariannya. Wajahnya pucat dan napasnya tersenggal, sementara Luna lemas di dalam gendongan. Haken merasakan tanggung jawab menekan punggungnya seperti beban yang tidak terlihat, sejak kapan ia kembali seperti ini lagi?

       Sesaat pikirannya melayang pada semua kemungkinan buruk, namun segera ia paksa kembali ke realitas. Mereka seperti berlari di atas tali tipis, di antara hidup dan mati di dalam gedung.

      Ia segera melihat beberapa orang yang mulai memasuki pintu berwarna hijau.

      Mereka berdua segera berlari ke arah pintu tersebut, seakan-akan pintu itu bercahaya. Haken berteriak ke arah orang-orang itu, tetapi suara angin kencang yang masuk lewat celah pecahan jendela itu menghalanginya. Orang-orang itu melirik mereka berdua yang menuju kesini, serentak mereka saling mengerutkan dahi. Memangnya mereka siapa, huh? Mereka semua segera masuk dan cepat hendak menutup pintunya.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang