Mata biru muda tanpa cahaya, mengingatkan Haken tentang adiknya yang saat itu sedang menangis, karena dimarahi oleh ibunda.
Haken duduk bersimpuh dan menggenggam tangan mungil itu dengan lembut, tangannya yang penuh sayatan tidak sebanding dengan kulit dari Luna yang halus. Tubuh mungil dari anak perempuan terpaksa duduk di kursi besar yang seharusnya di duduki para saksi yang sudah paham dengan suatu situasi.
Dari segi tubuh manapun, kulitnya begitu melekat dari setiap tulang miliknya. Dari penglihatan siapapun, mereka sudah pasti menyimpulkan keadaan keluarga Luna. Haken teringat dengan salah satu catatan di note-nya. 'Dasar bapak tidak becus.'
Note :
Ayahnya dulu bekerja sebagai buruh di bagian bank, dipecat karena ketahuan mengorupsi.
“Adik...” Haken dengan pelan mengelus rambutnya yang kusut. “Masih ingat dengan kakak?”
Tubuhnya sedikit bergetar, matanya menatap mereka berdua dengan bengis, ingat dengan apa yang telah diperbuat Haken kemarin.
Haken tahu ini kesalahannya, dan ia harus bertanggung jawab atas luka itu. Tetapi, ia tidak tahu harus mulai darimana. Sedangkan ia harus mencari tahu pecahan itu, memuaskan rasa penasarannya kemudian dituang ke dalam kertas.
Ia bergumam tidak yakin, tetapi harus mencobanya. “Apa kamu tahu tentang kakak?”
Luna menggelengkan kepala dengan cepat. Mulutnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ia tahan.
“Nama kakak adalah Haken. Dan yang di belakang kakak, namanya Ansa, pernah jumpa dengannya?” Haken memberikan senyuman rupawan, kepalanya menengok ke Ansa. Menunggu jawabannya.
Ansa melambaikan lengan kiri bawahnya dan tersenyum lebar, tangan kanannya di balik pinggang sembari menggenggam ponsel yang sudah diaktifkan perekam suara.
Luna mengangguk perlahan. ‘Kakak yang ada di lantai empat.’ pikirannya terdengar Haken.
“Ingat kakak polisi yang bersamamu kemarin?” nadanya kali ini lebih pelan. “Apa dia memberikan sebuah cemilan kepadamu?”
Luna mengangguk pelan, ia memberanikan diri berbicara dengan bibirnya yang merah. “Kak Armas... memberiku susu pisang,” tambahnya.
“Susu pisang? Apakah itu lezat?” Haken sedikit bersemangat, ia menaruh wajah sedih. “Aku belum sempat mencobanya.”
Alisnya yang tipis sedikit terangkat, tidak menduga bahwa orang dewasa belum pernah mencoba susu pisang di sepanjang hidupnya.
Matanya menyala. “Sangat enak dan manis, itu kesukaanku semenjak kecil.” Nadanya mulai naik.
“Wow, aku semakin penasaran dengan rasanya,” seru Haken dengan cepat, matanya ikut melebar dan senyumannya menular ke Ansa.
Luna merasa yakin, bahwa mereka harus mencoba kesukaannya. “Kau harus mencobanya.”
Haken menoleh ke arah Ansa, ingin sekali berkata ‘Kau yang bayar,’
Ansa terkikik dan mengangguk pelan. ‘Cari kesempatan saja bocah ini!’ suara di pikirannya lumayan tinggi, tapi tidak marah.
Haken kembali menengok ke Luna. “Bagaimana setelah ini, kita beli susu pisang bersama?” tawarnya dengan nada energik.
Luna menganggukkan kepala dengan cepat, ia tersenyum sukaria. “Tentu!” matanya mulai terisi.
Haken melirik ke Ansa. Ia bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya.
'Jika terus seperti ini, kita tidak akan dapat informasi. Bahkan dia sendiri, tidak dapat mencari tahu solusinya.’ batin Ansa, wajahnya kembali datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan [ THE END ]
Ficțiune adolescențiMereka yang dulunya menjalani kehidupan normal kini harus beradaptasi dengan kenyataan baru-bahwa di antara mereka ada yang memiliki kemampuan luar biasa yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Kekacauan dan ketidakpastian merajalela, membuat masyar...