Langit malam di atas Hotel Dongtan dihiasi bintang-bintang yang berkelip tenang. Namun, Haken tak bisa menikmati keindahannya. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia berlari secepat mungkin menuju hotel itu.
Perasaan cemas terus menghantuinya, apalagi ketika ia tahu siapa yang sedang ia kejar adiknya yang lama hilang. Apakah adiknya tetap menjadi seorang 'adik'?
‘Alia tidak mungkin ada di sini,’ pikirnya lagi, berusaha menyangkal kenyataan yang mulai menjeratnya. ‘Dia... dia tidak mungkin kembali. Ini hanya Ella.’
Sambil berlari, Haken cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan menelepon Armas. “Aku butuh bantuanmu, Armas. Segera ke Hotel Dongtan,” katanya dengan suara panik.
Armas terdiam sejenak sebelum menjawab. “Hotel Dongtan? Apa yang terjadi, Haken?”
“Aku... Aku pikir Alia-“ ia teringat Armas tidak mengenal adiknya. “Maksudku Ella ada di sini,” kata Haken, suaranya terdengar ragu.
Bahkan dirinya masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. “Aku harus memastikan. Kirim tim secepat mungkin. Aku tak punya banyak waktu.”
“Butuh 20 menit untuk kami tiba,” jawab Armas cepat. “Jangan lakukan sesuatu yang gegabah sebelum kami datang.”
“Terlalu lama. Aku tidak bisa menunggu!” Haken menutup teleponnya, tak punya waktu untuk diskusi lebih lanjut.
Sesampainya di depan pintu hotel, Haken berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Pintu otomatis hotel terbuka dengan desisan halus, memperlihatkan lobi yang mewah namun sepi.
Tidak ada banyak tamu di sini, mungkin semua orang sudah berada di atas untuk menyaksikan hujan meteor Geminid yang akan segera mencapai puncaknya. ‘Apa Alia di atas?’
Langkah Haken terhenti di depan meja resepsionis, matanya berputar cepat mencari petugas. Resepsionis kali ini berbeda, seorang pria paruh baya dengan ekspresi datar menatapnya. Haken merasa darahnya kembali berdesir.
“Permisi, saya sedang mencari tamu bernama Ella Kudonta,” ucap Haken, suaranya serak namun tegas. Jaga-jaga masih menggunakan identitas palsu Alia.
Resepsionis itu mengernyitkan dahi, lalu menatap layar komputer di depannya dengan teliti.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya bagi Haken, pria itu mengangguk pelan. “Kamar 1204, lantai dua belas. Tapi—”
Haken tidak mendengar bagian akhirnya. Kata-kata itu langsung menggerakkan tubuhnya. Ia berbalik dan menuju lift tanpa menunggu respon lebih lanjut. Pikirannya kini berfokus penuh pada satu hal. Alia atau Ella ada disini. Di hotel ini.
Dengan perasaan kacau, ia segera masuk ke hotel. Lift bergerak naik, ia terasa lambat, seolah-olah waktu melawan dirinya. Ketika lift berhenti di lantai 12, Haken melangkah keluar dengan jantung berdebar.
Di ujung lorong, ada kamar 1204. Di balik pintu itu, Alia mungkin sudah menunggu, tapi Haken tidak tahu apa yang akan terjadi.
Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum ia bisa mengetuk, suara dari dalam ruangan terdengar samar-samar. Haken menajamkan pendengarannya. Ada suara percakapan, suara seorang wanita.
Ella?
Tanpa berpikir panjang, Haken meletakkan tangannya di gagang pintu. Terkunci. Haken menggigit bibirnya, lalu meletakkan tangannya di atas gagang pintu selama lima detik sambil berbisik pelan, “Turbin.”
Matanya tertuju pada gagang pintu. Perlahan, sebuah hologram turbin kecil berwarna merah muda muncul dari gagang pintu, berputar-putar layaknya angin topan kecil yang merusak segala yang dilewatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembalasan [ THE END ]
Teen FictionMereka yang dulunya menjalani kehidupan normal kini harus beradaptasi dengan kenyataan baru-bahwa di antara mereka ada yang memiliki kemampuan luar biasa yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Kekacauan dan ketidakpastian merajalela, membuat masyar...