Bab XV [•] Armas Dan Emma.

10 6 0
                                    


"Jelaskan pada kami, yang sesungguhnya, Haken," ujar Armas tegas. 'Bagaimana bisa aku membiarkan jurnalis ini bertindak ceroboh?'

"Armas benar," tambah Emma, raut wajahnya jelas tidak senang pada Haken. Bagaimana bisa dia hanya mendapatkan kabar bahwa Haken tiba-tiba kecelakaan?

Armas dan Emma duduk bersebrangan dengan Ansa dan Haken, sebuah meja berukuran sedang dengan isi empat gelas air mengisi jarak dari mereka berempat.

Suara mesin kopi berderak dan obrolan ramai memenuhi kafe, namun tidak satu pun mengalihkan fokus Emma dan Armas yang penuh rasa penasaran.

Haken hanya menghela nafas. Ia melirik sebelahnya, rekannya yang menatap sang polisi dan psikolog di depan mereka.

'Cerita saja, lah,' batinnya datar.

Haken menghembuskan nafas, ia mulai menceritakan kejadian kedua hotel tersebut lebih lengkap.

Selama bercerita, ia akhirnya mengungkapkan bahwa Alia adalah adiknya. Tidak diragukan lagi, Haken juga harus menerima kenyataan tersebut.

Tetapi Haken meyakinkan Emma dan Armas, Alia yang ia kenal dulu telah berubah, ia sendiri tidak tahu hal tersebut.

"Tunggu, kenapa kalian bisa berpisah?" potong Armas penasaran.

Ansa menyipitkan matanya dan melirik Haken. 'Kau juga belum pernah cerita padaku,' batinnya.

Haken menelan ludahnya pelan. "Itu..." Ia tidak tahu harus mulai darimana dan perlukah menceritakannya kepada mereka? "Panjang ceritanya," lanjutnya.

"Ringkas saja," usul Emma cepat, walaupun ia tahu bahwa tidak semua orang ingin melihat masa lalunya kembali.

Haken menatap mereka satu-persatu dengan perlahan, memastikan wajah mereka. Kakinya beberapa kali mengetuk lantai, mempertimbangkan respon yang akan muncul dari mereka semua kelak.

Ansa berdeham. Menunggu suara yang akan menjawab rasa penasaran mereka semua.

Haken menatap langit dari luar jendela sampingnya, ia mendengus. Kembali mengingat lautan yang menjadi terakhir kalinya ia melihat pulau tercintanya, tempat ia terlahir, dan dibesarkan hingga remaja.

Kakinya yang berkali-kali tersayat bebatuan tidak dapat menolak hati sang kakak, tangannya menarik kain panjang yang dikenakan oleh sang ibu.

"Ibunda! Jangan tenggelamkan adinda!" teriaknya memohon, matanya berkaca-kaca. 'Kakak tahu adinda jahat! Tapi jangan usir adinda!'

Elli menatapnya kosong, ia menggigit bibirnya sendiri dan menepis tanganku. "Kau pikir, aku akan berbelas kasih kepada dia dan dirimu, huh?"

Haken tahu hal ini tidak sopan. Ia memandang lurus perahu kecil di depannya. Anak perempuan dengan kedua tangannya yang diikat di bawah tiang, mulutnya yang diselimuti tali.

Haken menelan ludahnya cepat dan berlari ke arah perahu itu, memutar balik badannya dan merentangkan kedua tangannya lebar. Tubuhnya mulai bergetar, ia belum pernah durhaka kepada siapapun sebelumnya.

Elli mencibir bibirnya kesal. "Bocah ini!"

"Kakak tahu ibunda takut adinda akan menjadi monster! Tolong..." Matanya memohon.

"Kau bahkan tidak punya kekuatan apapun! 'Kain Kehidupan' tidak mencintaimu. Untuk apa aku juga menyayangimu, jika kau saja tidak ada yang bisa diteliti? Tch," bentak sang ibu tidak tahan. Temperamennya memang tidak pernah berubah.

Haken berhenti bercerita, mulutnya masih terbuka dengan matanya yang melihat langit biru. ''Kain Kehidupan', ya?' Ia kemudian melirik Emma.

Sejak tadi, Emma bermuka masam. Di dalam pikirannya, Haken tentu mendengar semuanya. Emma terus terheran dengan tingkah ibu Haken, pastinya dia belum pernah memiliki seorang ibu seperti itu.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang