Bab XXVIII [•] Takdir Kehidupan. [ III ]

7 2 0
                                    

Alia dengan tangan penuh luka, tampak berusaha memperban tangannya sendiri, tetapi tidak bisa. Gerakannya kaku, jemarinya gemetar. Di sampingnya, Haken mendayung perahu, wajahnya penuh ketegangan.

"Kenapa kakanda tak bantu adinda?" keluh Alia, nada suaranya terdengar bingung, meskipun ada rasa sakit yang ia sembunyikan.

Haken tak menjawab langsung. Ia terus mendayung dengan fokus. "Kakak harus membawa kita ke kota dulu sebelum malam tiba," ucapnya pelan, menahan rasa bersalah yang tak bisa ia tunjukkan.

Alia menggerutu lagi, meski tahu kakaknya tak punya pilihan. "Kenapa harus sampai sebelum malam?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara dayungan.

Haken hanya tersenyum memandangnya. "Jika kita masih di sini saat malam hari, kita tak bisa melihat sebuah pantai karena gelap," jawabnya lembut.

Ali memandang air laut yang terombang-ambing, mengangguk paham. Haken beberapa kali melirik belakangnya Alia, Alia tidak tahu harus menganggap kejadian barusan adalah keajaiban atau kesialan yang diberikan "Takdir Kehidupan."

Pulau yang mereka tinggali sejak lahir, terkena kebakaran masal dari salah satu desa, menyebar begitu cepat. Sayangnya, ayah mereka belum tidur sejak malam, desa mereka tidak memiliki persiapan seperti biasanya. Haken segera mengajak Alia untuk pergi dengan perahu yang telah ia siapkan, sudah berbulan-bulan dahulu untuk menunggunya. Mereka tahu, mereka durhaka. Mereka harus menerimanya.

Begitu mereka sampai di sebuah pantai, Haken akhirnya berhenti dan segera turun. Segera mendorong perahu masuk ke wilayah pantai lebih dalam, agar tidak tertarik oleh air. Napasnya terengah-engah, keringat mengalir di dahinya. Dia menoleh ke arah Alia, melihat tangan adiknya yang masih berdarah. Ia kemudian naik ke perahu lagi. Dengan lembut, ia mengambil perban dari sakunya, mulai merawat luka-luka Alia, meskipun tubuhnya sendiri penuh goresan dan memar.

Alia menatap lukisan memar di lengan kakaknya, terheran mengapa selalu adiknya yang duluan.

"Kenapa kakak tidak obatin diri sendiri dulu?" tanya Alia dengan nada pelan, ada rasa bersalah.

Haken tersenyum tipis, tetapi matanya terlihat sekali kelelahan. "Luka kakak tidak sepenting milikmu," jawabnya. Tapi senyumnya itu palsu, Emma bisa melihatnya. Ia tahu Haken menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan ketakutan yang lebih besar.

Tiba-tiba Haken bertanya dengan ragu. "Omong-omong, apa yang sebenarnya dilihat ayah?"

Alia terdiam sejenak. Ia bingung bagaimana menjelaskannya. "Ayah melihat kita," ujarnya pelan. "Bertarung... Saling menghancurkan."

Matanya melebar. "Bertarung? Untuk apa?"

"Adinda tak tahu. Tapi itu pasti hanya bohong, kan? Harus jawab iya!" Alia masih tidak sudi dengan takdir mereka.

Haken hanya tersenyum kecil, tetapi terdengar pahit. "Ayahanda nggak pernah salah soal 'Kain Kehidupan'. Dia bisa melihat masa depan kita, dan dia yakin kita bakal berhadapan satu sama lain suatu hari nanti."

Alia merinding mendengar hal itu. "Tapi kenapa? Kita kan nggak pernah punya alasan buat bertengkar!" ucapnya, mencoba memahami. Rasa takut mulai merayap di dalam hatinya.

Kakaknya berpikir sejenak. Haken mendekatkan wajahnya pada Alia, menatap adiknya dengan serius. "Bagaimana jika kita buat janji? Lebih tepatnya sumpah," tawarnya lembut

"Sumpah?" ulang Alia berusaha memahami.

"Kita nggak akan pernah nyakitin satu sama lain. Kita nggak akan pernah biarin masa depan yang ayah lihat jadi kenyataan." timpalnya, Haken mencondongkan tubuhnya.

"Sumpah, ya." Alia masih berpikir.

"Ya, sumpah." Haken mengulurkan tangan pada Alia, meski ragu, menggenggam tangan kakaknya erat-erat. "Nggak peduli apa yang terjadi, kita nggak akan saling bunuh. Kita bukan musuh."

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang