Bab XI [•] Geminid Meteor Shower. [ I ]

11 6 0
                                    


        Haken tidak menjawab pesan tersebut dan mematikan ponselnya, bukan sesuatu yang penting baginya. Ia kembali menatap Emma dengan serius, ia tidak ingin orang yang ia sayangi adalah dalang dari kasus ini.

        Sedangkan Emma menatapnya dengan bingung,  tidak tahu apapun tentang masa lalu Haken. Mata Yin-Yang-nya hanya semakin melebar, menunggu respon Haken. ‘Ada apa?’

        Haken menggelengkan kepalanya. “Kau yakin matanya berwarna cokelat kemerahan? Dengan rambut pirang?” ‘Tidak mungkin itu Alia’

        Emma mengangguk cepat. “Emma pikir akan memberi tahu hal ini ke Pak Armas, lagipula Ella sepertinya akan menginap di suatu hotel,” pikirnya cepat.

        Haken kembali mengerutkan dahinya, bertanya-tanya kenapa Ella ke hotel. ‘Apakah ia ingin bersantai?’ Ia seketika teringat dengan pesan Ansa, fenomena langit yang langka di negara mereka.

        Jurnalis tersebut duduk mematung di halte bus, pikirannya dipenuhi oleh berbagai dugaan yang muncul tiba-tiba. Ia mulai mencurigai sesuatu tentang Ella. Wanita itu, dengan sikapnya yang terlihat haus akan uang, sepertinya memiliki banyak kesamaan dengan adiknya secara fisik. Alia Stryke.

        Mungkinkah Ella juga punya hubungan dengan hal yang lebih besar di balik semua ini? Haken yakin, Ella tidak akan melewatkan fenomena langka seperti Geminid Meteor Shower tanpa motif tersembunyi.

         Hanya ada satu tempat yang akan banyak dikunjungi orang-orang untuk menikmati keindahan itu dengan cara yang biasa dilakukan orang menengah ke atas- sebuah hotel mewah!

        Tanpa berpikir panjang, Haken berdiri dari bangku halte. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan kecurigaan ini berlalu begitu saja. Di tengah deru kendaraan yang semakin memekakkan telinga, pikirannya semakin fokus pada satu hal. Mencari Ella.

        Dalam benaknya, jurnalis itu bisa membayangkan wanita tersebut sedang duduk di hotel, tersenyum licik sembari menonton meteor-meteor berjatuhan dari langit nantinya. Mungkin saja merencanakan sesuatu yang lebih dari sekedar menikmati fenomena langit tersebut.

        Di sisi lain, wawancara penemuan obat StabiliX akan di mulai dalam 30 menit lagi. Bus yang ia tunggu tidak kunjung datang. Matanya menyipit menatap jalanan, andaikan saja ia bisa membelah tubuhnya menjadi dua, itu pasti akan sangat membantu pekerjaannya.

        Haken menatap Emma sejenak, yang masih duduk di sebelahnya dengan senyuman tipis, psikolog itu tahu apa yang akan dilakukan Haken setelah ini. Emma mengangguk pelan.

“Maaf, Emma. Aku harus pergi,” ucapnya cepat, sebelum berlari menuju jalanan sembari menyalakan ponselnya.

        Pikirannya hanya terfokus pada satu tujuan, mengejar Ella sebelum ia kehilangan jejak. Ia segera menelpon editornya, ia tahu Ansa pasti kesal jika sontak ditelpon. Untung saja ia bukan tamu utama disana, melainkan menggunakan nama Ansa untuk bersigap. Suara berisik keluar dari ponsel Haken, ia mendekatkan ponselnya ke depan telinganya.

“Kenapa-“

“Ansa. Aku tidak bisa hadir, maaf karena mendadak,” lontarnya dengan cepat.

Ansa terdiam sejenak, ia berteriak. “Hei! Kenapa mendadak begini?”

“Ella sepertinya akan menginap di salah satu hotel.” ucap Haken sembari berlarian di jalan. “Apakah Ella hari ini tidak masuk?” tanyanya memastikan.

“Hah?” Ansa berpikir sejenak, ia tidak paham. “Bagaimana kau tahu itu?”

Haken menarik dasinya dan membuka satu kancing di kemeja polosnya, masih berlari. “Bisa saja Ella menginap di suatu hotel, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Maaf,” potongnya dengan cepat dan segera mematikan telepon.

        Layar ponselnya segera berganti dari aplikasi WhatsApp ke Google Maps, segera menekan tombol search dan mengetik ‘Hotel terdekat di Kota Osan’ kemudian layar menunjukan ‘loading’. Ia tiba-tiba menahan kakinya melanjutkan berjalan.

        Tanpa ia sadari selama berlari tanpa tahu arah, sudah sampai saja di penyeberangan jalan, ia mengingat-ingat jalan mana saja yang telah dilewati, dari tadi belum menemukan hotel. Ia menatap layarnya kembali, menemukan dua hotel yang ada di kota ini. Hotel Velino yang paling dekat. Sekitar 5 Km dari arahnya.

         Haken merasakan kegelisahan semakin membebani pikirannya. Waktu tidak terasa telah menjadi cepat, matahari siang mulai tergelincir ke tepi langit di barat, perlahan mengubah langit menjadi jingga. Ia merasa tidak punya banyak waktu, ia harus segera mencapai Hotel Velino sebelum Ella tiba di sana.

        Kakinya yang tadi berlari kini mulai terasa berat, nafasnya tak lagi teratur. Jarak lima kilometer terasa seperti ratusan mil. Ia berusaha tetap fokus pada ponselnya, memantau peta sembari mencari solusi tercepat. Tidak mungkin ia bisa berjalan atau berlari sejauh itu tanpa bantuan.

         Di tengah kecemasannya, sebuah taksi muncul di ujung jalan. Haken hampir tidak percaya keberuntungannya. Dengan cepat ia melambaikan tangan, berharap sopir taksi itu melihatnya di antara kerumunan orang lalu lalang.

        Taksi tersebut melambat, dan Haken langsung berlari mendekat. Ia membuka pintu dengan cepat, tanpa menunggu si sopir bertanya.

“Ke Hotel Velino. Cepat!” katanya singkat namun penuh tekanan, tubuhnya setengah terbenam di kursi belakang taksi, napasnya masih tersenggal.

         Waktu terus berjalan, cahaya matahari semakin memudar, menyisakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Haken menggenggam erat ponselnya, pikirannya terus berpacu. Taksi itu melaju di jalanan yang semakin padat.

        Haken hanya bisa berharap tak akan ada hambatan besar yang memperlambat langkahnya. Di benaknya, ia terus meyakinkan bahwa yang ia jumpai nanti bukanlah adik tersayang. Jangan sekarang... Jangan sekarang... Tolong jangan!

        Sementara itu, di Hotel Velino sendiri, seorang wanita dengan rambut lurus berwarna ungu berdiri di depan meja resepsionis. Ella tampak tenang di luar, namun dalam hatinya ia mulai merasa jengkel.

“Maafkan kami, kamar di lantai teratas sudah penuh,” ucap resepsionis itu sopan. Ia begitu menyayangkan hal itu. Tentu sang resepsionis tahu ada fenomena langit malam ini.

Ella mengerutkan keningnya, bibirnya mengatup rapat menahan frustasi. “Apa? Penuh?” Nada suaranya terdengar tajam, meskipun ia mencoba tetap tenang. “Aku sudah menunggu-nunggu hari istimewa ini,” tambanya dengan sinis.

“Maaf, Bu, tetapi semua kamar di lantai atas sudah terisi,” jawab resepsionis itu, tetap tenang dan ramah.

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari layar milik sang resepsionis. Sang resepsionis tersenyum.

“Kami ternyata masih memiliki kamar di lantai lima, jika anda berminat.”

Ella mendengus pelan, tidak sepenuhnya marah pada resepsionis itu, tetapi pada orang-orang yang memesan sebelum dirinya. “Tentu saja. Lantai lima saja,” jawabnya dingin, meskipun dalam hatinya ia merasa tidak dihormati.

        Seperti tidak ada pilihan, ia menyerahkan identitas palsunya dan mengambil kunci kamar. Dengan senyum tipis yang hampir tidak terlihat, Ella melangkah menuju lift, pikirannya sudah penuh dengan rencana lain yang lebih menyenangkan dari sekedar kamar hotel.

       Langit mulai gelap ketika Haken akhirnya tiba di Hotel Velino. Begitu masuk, sesuatu yang menarik perhatiannya. Saat ia mendekati meja resepsionis untuk meminta daftar tamu yang menginap, tiba-tiba lampu-lampu di seluruh hotel berkedip dan padam. Sepertinya panel distribusi listrik sepertinya rusak, membuat seluruh listrik di hotel menjadi tidak berfungsi.

        Suasana lobi yang sebelumnya ramai dengan tamu-tamu mulai berubah, diiringi suara keluhan dan erangan tidak nyaman dari para penghuni hotel. Haken bisa merasakan kegelisahan menyebar di antara mereka.

“Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya, listrik sedang bermasalah.” ujar resepsionis dengan nada cemas, mencoba menenangkan para tamu.

       Haken menyipitkan mata, firasatnya semakin kuat. ‘Ella... Apa yang kau rencanakan?’ pikirnya. Dalam gelap, kecurigaannya semakin mengarah pada satu orang. Sesuatu yang tidak beres, dan ia yakin Ella sudah bersembunyi di hotel ini. Sudah pasti bukan Alia... Iya, kan?

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang