Bab XXV [•] Penyelidikan. [ IV ]

5 3 0
                                    

Armas berdiri tegak, pistolnya terarah sejajar dadanya. Para pekerja yang awalnya tampak ragu-ragu sekarang mulai mengerutkan kening, menunggu perintah dari Alia yang berdiri di tengah ruangan.

"Menyerah sekarang, atau ini akan jadi lebih buruk!" teriak Armas sekali lagi, suaranya tegas, mencoba memaksa mereka untuk menyerah. Tapi, Alia tidak memberi ruang untuk negosiasi.

Alia melangkah maju, ia mengerutkan keningnya.  "Kalian pikir bisa menghentikan semua ini? Jangan bodoh, mereka tak akan menyerah hanya untuk seorang polisi." Suara dinginnya menggema, membuat para pekerja mulai bergerak perlahan, seolah baru mendapatkan perintah tersirat untuk melawan.

Armas tak mau membuang waktu. Dengan cepat, ia mengganti peluru di pistolnya dengan peluru bius. Ia tak ingin membunuh mereka, belum lebih tepatnya. Ia butuh mereka hidup untuk bisa diinterogasi nanti. Dengan cepat, ia mulai menembak beberapa pekerja yang mendekat, satu demi satu jatuh terkapar, pingsan di lantai.

Haken, yang berdiri tak jauh dari situ, segera melihat ke arah Emma yang menyelinap di sudut ruangan, masih di belakang Ansa. Benang merah yang melilit di tangannya mulai terlihat jelas di mata Haken, dan ia segera paham apa yang sedang direncanakan Emma. Emma mengangguk dengan genggaman talinya bersiap.

Alia tidak bisa dibiarkan kabur begitu saja. Haken langsung berlari ke arah Alia, menembakkan peluru ke arah Alia, sengaja meleset untuk mengalihkan perhatiannya.

Alia terkejut sesaat, matanya menyipit menatap Haken. "Beraninya kau!" geramnya, sambil bersiap menyerang.

Tapi sebelum Alia bisa melakukan sesuatu, Emma sudah berada di belakangnya. Dengan cepat, Emma melingkarkan benang merah di leher Alia, menariknya dengan kuat.

Alia terkejut dan meronta, tetapi benang itu sudah erat di lehernya. Sementara Alia sibuk mencoba melepaskan benang itu, Haken menodong senapannya, siap untuk bertarung. "Ini waktunya, Alia," ucap Haken tajam.

Sementara itu, Emma segera menarik benang merahnya dan bersembunyi di sudut aula besar tersebut. "Ansa! bantu Armas cari bukti lain!" perintahnya, suaranya sedikit terengah.

Ansa, yang cemas, akhirnya bergerak. Ia segera menuju Armas yang sedang sibuk menembak pekerja-pekerja yang masih mencoba mendekat. Tinggal sedikit sekali para pekerja yang masih sadar.

"Ayo, kita harus cari bukti lebih banyak," ujar Ansa segera, sambil menarik lengan Armas.

Armas mengangguk, mengerti maksud Emma. Mereka berdua segera berlari keluar dari aula, menyusuri lorong-lorong laboratorium yang gelap dan dingin. Sementara itu, suara pertempuran antara Haken dan Alia semakin terdengar jelas di belakang mereka.

Selama mereka berlari, Armas tiba-tiba ingat sesuatu. "Ada korban-korban pasien di ruangan sel tadi. Kita harus ke sana dulu," ujarnya dengan napas sedikit terengah.

Ansa mengangguk cepat. "Kita tidak bisa membiarkan mereka di sini."

Mereka melanjutkan langkah mereka menuju sel pasien yang telah Armas lihat sebelumnya. Lorong-lorong di lab ini begitu panjang, dengan lampu neon yang berpendar dingin di atas kepala mereka. Setiap detik terasa begitu cepat, bahkan ketika suara dentuman dan teriakan yang masih terdengar dari aula tempat Haken dan Alia bertarung. Haken sudah mengungkapkan kekuatan "Turbin"-nya, dan Armas hanya bisa berharap bahwa kekuatan itu cukup untuk membuat Haken bertahan melawan adiknya sendiri.

Ketika mereka sampai di depan ruangan sel, Armas segera menggunakan kekuatannya untuk membuka pintu. Pintu besi itu terbuka perlahan dengan suara berderit, memperlihatkan deretan sel-sel kaca yang dipenuhi pasien-pasien yang tergeletak lemah. Tubuh mereka terpasang alat-alat medis yang mencolok, seolah mereka tidak lebih dari kelinci percobaan. Wajah-wajah yang dulu mungkin penuh harapan kini tampak kosong dan hampa.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang