"Jadi kita sudah punya sepuluh orang ya, yang mau ikut karnaval nanti?"
"Iya, Kak! Temanya juga sudah sesuai dengan jurusan kita, kok!"
Priska dan Tio sedang berjalan beriringan. Selain itu, mereka juga sedang mengobrolkan terkait karnaval untuk ulang tahun kampus mereka.
"Kebanyakan, kok, pesertanya dari semester satu sama tiga doang, ya, Pris?" tanya Tio sambil membaca tulisan pada daftar yang ia pegang.
"Lah, kok, tanya sama aku? Kak Tio sama teman-teman seangkatan ke mana? Semester lima enggak ada yang mau mengajukan diri untuk turun nanti? Hah, apalagi semester tujuh!" Priska menggelengkan kepala.
Sebagai mahasiswa semester tiga, Priska merasa dirinya dan teman yang jadi tumbal. Kakak tingkat mereka beralasan dengan menggunakan jadwal PPL dan juga KKN. Sementara adik tingkat, karena mereka masih baru, juga belum terlalu bisa diandalkan.
"Ya, aku, kan sedang sibuk, Pris! Apalagi jadi ketua Hima! Masa aku mau turun juga! Lah, udah ada si Boni ini yang jadi perwakilan!" timpal Kak Tio sambil tersenyum tengil.
"Cuma satu orang!"
Dari sepuluh orang yang harus mewakili jurusan, dua di antaranya adalah semester satu, lalu tujuh orang dari semester tiga, ditambah satu orang dari semester lima.
Sewaktu Priska dan Tio asyik membahas karnaval dalam perjalanan mereka menuju ke ruang himpunan, tiba-tiba ada orang yang mencoba menerobos dan memisahkan keduanya.
"Permisi! Misi! Misi! Ini berat ini! Permisi!" Tiba-tiba dari arah belakang mereka, ada seseorang yang membawa setumpuk buku dan tampak berat.
"Kak Dewa? Mau dibantu, Kak?" Tio menoleh dengan spontan dan menawarkan bantuan.
Sementara Priska, langsung melipir begitu dia tahu jika orang tersebut adalah Dewa.
"Oh, kamu mau bantu? Dengan senang hati! Tolong aku!" Dewa memberikan setengah bagian dari tumpukan tersebut untuk Tio.
"Kau juga mau bantu?" tawar Dewa sambil melirik pada Priska.
Karena ini di tempat umum dan banyak orang yang melihat, mana mungkin dong, Priska menjadi mahasiswi yang jahat dan anti membantu orang yang membutuhkan. Tentu saja, dengan berat hati, dan senyum meringis setengah menangis, Priska pun mengangguk.
"Oh, boleh! Sini, biar aku bantu!" timpal Priska yang hendak mengambil lagi sebagian tumpukan buku dari tangan Kak Dewa.
"Ah, tidak usah! Tidak usah! Biarkan ini jadi pekerjaan laki-laki saja!" Dewa menjauhkan lagi tumpukan buku yang ia pegang dari Priska.
Laki-laki itu menoleh sambil mengangkat kedua alis dan tatapannya sangat jahil pada istrinya.
Tangan Priska mengepal dan rasanya ingin meremas rambut Dewa yang ditata sedikit berdiri seperti duri landak tersebut.
"Ayo, Tio! Antar gue ke perpustakaan fakultas!" ajak Dewa pada Tio, tapi matanya melirik pada Priska. "Duluan, ya, Priska! Terima kasih atas niat baiknya, kalau mau bantu lain kali saja. Laki-laki harus bisa BERDIRI sendiri!" Tiba-tiba saja, dia membahas lagi, perihal 'Berdiri' yang seakan menjadi hot topik di otaknya hari ini.
"Apaan, sih! Enggak nyambung banget!" ketus Priska sambil memalingkan wajah. Namun saat wajahnya berpaling, dia malah terkejut.
"Hei!"
"Eh, Kak Disa!" Sekretaris BEM itu ada di belakang Priska. "Ngagetin orang aja!"
"Kamu sih, menggerutu terus. Haha!" Perempuan dengan rambut hitam yang diikat itu tersenyum pada Priska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Simpanan Ketua BEM!
Roman d'amourMungkin dia bukan jodohku! "Kalau begitu kenapa kita nikah?" "Please, deh! Asal jangan Kak Dewa!" . . . Memohon agar perjodohan ini dibatalkan? Hah! Jangan mimpi Priska! "Jelaskan sama mama papa, kenapa kalian berdua di kamar seperti ini!" "Mama...