11

2.9K 517 223
                                    

1 Jam kemudian. Shani telah bersih-bersih, mengisi perutnya yang lapar dan juga sudah berusaha membuka pintu kamar Gracia, namun tak membutuhkan hasil alias Shani tidak berhasil membuka pintunya.

Saat ini rasa penasarannya sudah di ujung tanduk. Shani jadi turun ke bawah, lebih tepatnya ke ruang kerjanya.

"Ngga ada pilihan lain selain cek cctv, maaf Ge, Zee. Selama ini sebenernya Cici diem-diem pasang cctv di rumah ini." Monolog Shani di dalam hatinya, beberapa tahun belakangan ini Shani memang memasang cctv.

Shani terduduk di kursi meja kerjanya, dengan cepat, dia mengarahkan pandangannya ke monitor yang menampilkan rekaman cctv dari berbagai sudut rumahnya. Ia memeriksa layar satu per satu, jemarinya dengan cekatan menekan beberapa tombol di keyboard, mengganti tampilan dan memperbesar area yang tampaknya membutuhkan perhatian lebih.

Hingga kerutan di dahinya timbul kala melihat Zee melangkah membawa nampan ke arah kamar Gracia, mulutnya berdecak pelan namun tetap fokus menonton.

"Azizi Azizi..." gumam Shani.

Rasanya baru melihat setengah saja hati Shani sudah dag dig dug, ia begitu takut melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Zee sudah masuk kedalam kamar Gracia, hingga kini isi cctv hanya area luar yang kosong saja namun suaranya masih dapat di dengar.

"Tuh kan tuh kan."

Tidak ada kata lagi yang keluar dari mulut Shani. Matanya, telinganya sungguh fokus menatap dan mendengarkan suara yang tertampil di layar monitor.

Hatinya mulai sesak, ia sudah mendengar semua omongan yang keluar dari mulut Gracia. Setiap detik dalam video seolah menggaruk luka, menyisakan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Air mata mulai menggenang di matanya.

Tes

Tes

2 tetes air matanya menetes cepat, topeng kuatnya runtuh seketika.

Shani menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Azizi, adik kesayangannya di dorong begitu saja oleh Gracia hingga tersungkur. Kepala Shani menggeleng kecewa, ia tidak terima adiknya di perlakukan seperti itu walau yang melakukannya itu adiknya juga.

Sungguh tidak menyangka, layar monitor yang tadi hanya menampilkan ruang kosong kini di isi oleh seorang Azizi yang baru saja di dorong oleh Gracia, bahkan makanan yang dibawa oleh Zee tadi kini sudah tumpah amat berantakan.

"Cici kecewa sama kamu, Ge." gumam Shani, bibirnya bergetar karena ia menangis terus.

"Lutut Azizi— kebentur..." Shani baru sadar, ia mengingat ingat tadi saat menggantikan baju Zee namun tetap tak ingat.

Rasa khawatir semakin memuncak, Shani dengan cepat meninggalkan ruangan kerjanya dan berjalan cepat ke atas kembali tepat nya ke kamar Zee.

Sesampainya dikamar Zee, Shani menyalakan lampu tidurnya dulu. Langsung saja begitu perlahan Shani naik dan duduk di samping Zee dan menyingkap selimut yang digunakan oleh gadis itu.

"Huft... semoga ngga memar, tapi benturan tadi keras banget..." batin Shani sesak.

Pelan tapi pasti Shani mulai menaikan celana panjang Zee, tangan bergetarnya berusaha lembut. Hingga kini helaian kain yang menutupi sudah terangkat sepenuhnya, jelas sekali memperlihatkan luka memar walau Shani melihatnya dalam cahaya yang remang-remang.

Hatinya semakin perih, rasa khawatir dan marah bercampur namun tetap berusaha tenang.

"Maafin Shani, ayah... bunda. Fisik dia luka lagi, maaf Shani selalu belum sempurna jadi kakak." batin Shani penuh rasa bersalah, bukan kali pertamanya Shani lagi-lagi merasa gagal menjadi seorang kakak.

Dear Azizi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang