24

2.8K 541 110
                                    



Shani masih sibuk di ruangan kantornya, seperti biasa duduk di balik meja kayu besar yang biasa membuatnya merasa tegas dan percaya diri. Tapi kali ini, perasaan itu sirna. Jantungnya berdegup cepat, dari tadi Shani memang selalu cemas tapi kali ini rasa cemas itu kian bertambah.

Entah mengapa ada sesuatu yang terasa tidak beres. Tangan bergetarnya aktif mengetik di laptop, tapi fokusnya benar-benar hilang. Ia tak tahu mengapa perasaan cemas ini begitu kuat, seperti ada sesuatu yang buruk terjadi pada Gracia atau Zee.

Jinan, yang dari tadi berada di ruangan yang sama sudah memperhatikan Shani sejak tadi. Biasanya, Shani tenang dan terorganisir, tapi kali ini, dia tampak gelisah, tatapannya kosong. Jinan mendekat, merasa harus bertanya.

"Shan? Lo okay? Keliatan nggak tenang banget dari tadi gue perhatiin." ucap Jinan yang mendudukan dirinya di hadapan Shani.

Shani terdiam sebentar, menarik napas dalam-dalam, tapi cemas di hatinya tak kunjung hilang. Dia merasa ada yang terjadi, tapi tak bisa menjelaskan kenapa.

"Jujur gue gatau, Nan. Rasanya sekarang kaya resah aja gitu."

Jinan terkejut mendengar nada khawatir dalam suara Shani. Biasanya, Shani sangat tenang menghadapi segalanya.

"Lo lagi kepikiran apa, Shani? Nggak biasanya deh lo kaya gini."

"Adek-adek gue, apa gue cuma terlalu khawatir aja ya sama mereka? Zee baru sembuh dari alerginya, dan Gracia yang baru mulai kerja lagi." tebak Shani, ia pikir dirinya terlalu larut dengan pikirannya ini sampai-sampai merasa cemas.

"Mending lo telpon deh satu-satu, siapa tau kalo udah denger suaranya dan mastiin baik-baik aja lo bisa tenang." usul Jinan.

Shani mengangguk, meski masih tampak gelisah. Ia tahu Jinan benar, tapi perasaan buruk itu tak bisa hilang begitu saja.

"Oke, gue mau coba telpon Gracia dulu." ucap Shani dan Jinan mengangguk.

Suara dering terdengar di handphone nya, tapi tak ada jawaban. Shani menunggu dengan cemas, berharap Gracia segera mengangkat. Namun setelah beberapa kali nada sambung, panggilan itu terputus. Shani membuang napas, mencoba menenangkan dirinya.

"Kayanya Gracia lagi sibuk take, coba Zee dulu aja deh."

Shani kemudian menekan nomor Zee. Kali ini, nada sambung terdengar, tapi ada jeda panjang sebelum akhirnya panggilan terhubung. Shani merasa sedikit lega ketika Zee menjawab, tapi suara di seberang bukan suara Zee, itu suara asing yang membuat jantung Shani langsung berdegup kencang.

"Halo? Ini siapa?"

"Halo, apa anda keluarga gadis pemilik handphone ini?"

Shani tertegun sejenak, ia kebingungan. Kenapa bukan Zee yang mengangkat telepon?

"Lho? Itu hp adik saya, Zee. Siapa ini? Dia dimana?"

Suara di seberang telepon terdengar berat, penuh dengan urgensi. Ada jeda sejenak, sebelum orang itu menjawab dengan kalimat yang membuat seluruh tubuh Shani terasa dingin.

"Maaf, pemilik handphone ini kecelakaan. Dia sudah dibawa ke rumah sakit."

Handphone hampir terjatuh dari tangan Shani. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti berdetak. Kalimat itu menggema di kepalanya—"kecelakaan" dan "dibawa ke rumah sakit". Mendengar ucapan itu tangannya langsung gemetar hebat, sementara Jinan, tentu melihat jelas perubahan wajah Shani.

"Kecelakaan...?" Shani berbisik tak percaya.

Mata Jinan membelak, ia langsung mendekat, wajahnya juga dipenuhi kecemasan. Wanita itu juga meraih bahu Shani dengan lembut, mencoba menenangkannya.

Dear Azizi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang