20

2.8K 527 185
                                    


Jam makan siang tiba, sinar matahari menyinari ruang makan, tapi suasana di dalamnya masih terasa canggung. Gracia dan Zee duduk berhadapan di meja makan, seolah ada jarak tak kasat mata di antara mereka. Setelah semua yang terjadi, mereka berusaha untuk memulai dari awal, tapi bayangan dari rasa sakit dan kecewa masih mengintai.

Gracia mencuri pandang ke arah Zee yang duduk diam, tampak lemas dan lesu. Meskipun permintaan maafnya tadi sudah di balas anggukan, dingin dan sikap cuek masih melekat pada dirinya. Gracia harus lebih berusaha lagi agar Zee benar-benar memaafkannya, yakin dan tulus dari hati.

Hati Gracia terasa berat, tapi ia tak ingin menyerah. Dengan pelan, Gracia menaruh sendok dan garpu miliknya ke atas piring.

"Zee, biar cici yang suapin kamu, ya? Kamu keliatan masih lemes," ucap Gracia dengan nada hati-hati, seolah takut Zee akan menolaknya.

Zee mengangkat sedikit kepalanya, mata mereka bertemu hanya untuk sepersekian detik sebelum Zee menghela napas pelan.

"Terserah," jawabnya singkat, nadanya datar dan dingin, tapi tanpa penolakan. Ia tahu Gracia berusaha keras untuk memperbaiki segalanya, tapi hatinya belum sepenuhnya bisa menerima perubahan ini dengan mudah.

Gracia tersenyum tipis, meski ada rasa perih di balik senyum itu. Ia tahu Zee masih dingin, dan butuh waktu untuk semuanya kembali seperti dulu, atau setidaknya mendekati itu. Dengan hati-hati, ia berpindah posisi menjadi di samping Zee dan mulai menyendok nasi milik gadis itu lalu perlahan menyuapkannya ke mulut Zee.

"Pelan-pelan aja," kata Gracia lembut, berusaha membuat situasi lebih hangat.

Zee membuka mulutnya, menerima suapan itu tanpa banyak reaksi. Dia tetap diam, tak ada banyak kata yang keluar, hanya sesekali mengangguk kecil saat Gracia mencoba berbicara.

Suapan yang masuk ke mulutnya terasa berat, bukan karena makanannya, tetapi karena perasaan yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Ini adalah pertama kalinya Gracia menyuapinya, lagi-lagi hal kecil yang seharusnya biasa saja, tapi entah kenapa terasa begitu berbeda.

"Ayah, bunda... Zee secengeng itu ya? Masa gini aja pengen nangis, padahal aku belum sepenuhnya bisa maafin dia." batin Zee, dia terharu.

Mata Zee perlahan menunduk, melihat tangan Gracia yang terulur, menyodorkan makanan kepadanya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan sang cici, meskipun perlahan, terasa tulus. Ia teringat betapa dingin hubungan mereka dulu, betapa seringnya mereka berjauhan dan sulit berdekatan. Namun sekarang, di tengah canggungnya suasana ini, Zee merasa ada sesuatu yang berubah.

Ini adalah kali pertamanya Gracia menyuapi dirinya. Kali pertama ada perhatian nyata yang ditunjukkan Gracia dengan cara yang begitu sederhana, namun menyentuh. Dan meskipun Zee belum sepenuhnya siap untuk melepas semua kecewa dan sakit hati, ada perasaan hangat yang menyelinap di sudut hatinya.

"Cici seneng kamu mau makan, nanti abis ini minum obatnya lagi ya," lanjut Gracia, mencoba menutupi kegugupannya dengan kata-kata. Dia ingin Zee tahu bahwa ia peduli, bahwa keinginannya untuk memperbaiki hubungan itu tulus.

Di dalam diam, Zee merasakan dadanya sedikit sesak. Ada sesuatu yang mengaduk di dalam hatinya, sesuatu yang ia belum tahu bagaimana menamainya. Kehangatan yang ia rasakan saat suapan demi suapan diberikan oleh Gracia, terasa begitu asing tapi tak bisa disangkal.

"Enak banget lagi rasanya," batin Zee lagi yang terus menunduk

"Wah... pinter kamu, bentar lagi habis nasinya." ucap Gracia senang.

Zee menatap piringnya, menelan suapan yang diberikan Gracia tanpa melihat ke arah cicinya.

"Nih ayo, lagi aaa buka mulutnya lagi."

Dear Azizi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang