19

2.8K 576 175
                                    

Helaian rambut panjangnya menerpa wajah
Gracia yang muram. Langit cerah, namun hatinya di liputi mendung yang telah lama tak terselesaikan. Angin terus bertiup lembut, membawa harum bunga yang baru saja ia tabur di sekitar makam ayah dan bundanya.

Dengan suara yang lirih, penuh sesak, ia mulai bicara seolah kedua orang tuanya masih ada di sana, mendengar dan memahami segala keluh kesahnya.

"Ayah, Bunda..." suaranya bergetar, hampir pecah di tengah udara pagi yang hening.

"Aku minta maaf... aku tau selama ini kalian pasti kecewa sama aku, aku baru sadar selama ini aku egois."

Tangis Gracia sudah tak terbendung, isakannya pecah di antara kalimat yang sulit diucapkannya. Ia teringat masa-masa di mana ia sering menatap Zee dengan penuh kebencian, dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang begitu menyakitkan untuk diingat.

"Aku nyesel... aku bener-bener nyesel..." ia melanjutkan dengan suara yang makin lirih, hampir tenggelam di antara isak nya.

"Zee nggak pernah nyakitin aku, malah dia yang selalu terluka karena sikap aku. Aku emang nggak pantes jadi cicinya, tapi sekarang aku udah berusaha berubah. Aku pengen coba jadi cici yang lebih baik."

"Tapi Zee udah terlalu kecewa sama aku... dia belum mau maafin aku."

"Aku tau, aku pantes dapetin ini. Zee punya hak untuk marah, untuk benci. Aku sendiri juga akan lebih sabar nunggu sampai dia mau maafin aku."

Gracia menyeka air matanya sejenak. "Tapi... aku cuma pengen dia tau, aku sayang sama dia, mungkin selama ini dia gak pernah ngerasain, bahkan aku sendiripun nggak pernah nunjukin rasa sayang yang aku punya sama dia."

"Aku juga tau, dari dulu lebih sering nunjukin rasa benci dari pada rasa sayang... mungkin dia juga gak peka sama perhatian aku, walaupun itu cuma secuil tapi sebenernya dari dulu aku udah pengen coba buat berubah, tapi..." Gracia tak sanggup melanjutkan ucapannya, dadanya terlalu sesak saat ini.

Gracia memejamkan matanya, seolah berharap dengan begitu ia bisa mengusir semua rasa sakit yang memenuhi hatinya. Namun nyatanya, kesedihan itu makin menusuk, makin menyiksa.

Dalam tangisnya, ia selalu teringat semua usaha yang telah Zee lakukan untuknya dulu. Bagaimana gadis itu berusaha mendekat padanya, bagaimana Zee mengesampingkan rasa sakit hatinya, dan bagaimana Zee menghadapi banyaknya penolakan demi ingin dekat dengan dirinya.

"Hiks... maaf Zee, maafin cici..."

Tangisnya kembali pecah. Kali ini lebih keras dan lebih dalam, ia merasa lelah, lelah karena tak lagi bisa menanggung semua rasa sesal dan kesedihan sendirian. Seandainya ayah dan bundanya masih di sini, mungkin mereka bisa menenangkan hatinya, menghilangkan perasaan hampa yang terus menghantuinya setiap kali ia melihat Zee.

Tanpa Gracia sadari, beberapa meter di belakangnya, di balik sebuah pohon besar, Zee berdiri diam, mendengarkan setiap kata yang di ucapkan oleh Gracia.

Ada bagian dalam hatinya yang ingin mendekat, memeluk Gracia, dan mengatakan bahwa ia sudah sudah cukup menghukumnya. Namun, bayang-bayang sikap Gracia yang telah membuatnya sangat kecewa membuat Zee ragu.

"Aku takut... aku takut cici nggak bener-bener berubah, aku merasa dia baik karena cuma dia merasa hutang budi aja sama aku. Ini sulit di percaya, karena hari sebelum dia hampir celaka, dia bener-bener nyakitin aku banget." batin Zee.

Dada Zee terasa sesak, ia teringat semua rasa sakit yang Gracia pernah timpakan padanya. Namun, ini adalah pertama kalinya, Zee melihat sisi lain dari sisi Gracia yang mungkin selama ini tersembunyi di balik kemarahan dan kebencian.

Tanpa sadar, mata Zee berkaca-kaca. Zee menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Di depan sana Gracia masih berlutut di hadapan makam, menangis semakin keras, mencurahkan semua penyesalan dan harapannya di tempat sunyi itu.

Dear Azizi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang