4

497 35 2
                                    

Hari pertama ditinggal Ci Shani sendirian, aku bingung harus berbuat apa. Untuk mencegah Ci Shani ngomel saat pulang, lima menit setelah mataku terbuka, aku langsung beres-beres kamar. Mulai dari sprei, menyapu lantai sampai merapikan meja. Hanya sebentar karena kamar ini sudah rapi. Jaga-jaga saja kalau tiba-tiba Ci Shani minta foto keadaan kamar saat dia tinggal.

Hari ini aku belum mulai kuliah. Masih lama. Tiga minggu lagi baru aku mulai kuliah. Alhasil pagi ini aku habiskan dengan jalan-jalan di sekitar kosan sambil mencari sarapan. Pilihanku pagi ini jatuh pada bubur ayam.

Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan dengan piyama serba pink berdiri di samping gerobak bubur ayam. Saat sudah dekat, aku sedikit kasihan dengan perempuan itu. Keadaannya seperti sedang kalut.

Aku melihat kantung matanya begitu hitam. Rambutnya sedikit acak-acakan. Dalam sekilas melihat, aku bisa menyimpulkan perempuan ini belum tidur sama sekali.

"Bang, bubur ayam satu. Gak pake kecap, ya," kataku pada si abang bubur ayam.

Setelah aku mengucapkan pesananku, perempuan itu melirik sinis dengan kantung matanya yang hitam dan bibirnya mencibir pelan.

Jujur, aku merasa tersinggung. Apa ada yang salah dengan pesananku?

"Kenapa?" kuberanikan untuk bertanya.

"Aneh banget bubur gak pake kecap," katanya, lirih. Meski begitu aku masih bisa mendengar cibirannya.

"Emang kenapa kalo gak pake kecap?" kubalas dengan sinis juga.

Dia melirik sinis lagi, lalu membuang wajahnya. Ada masalah apa ini perempuan?

Kebetulan pesananku dang si perempuan aneh ini selesai bersamaan. Setelah membayar, aku langsung kembali ke kosan. Anehnya, saat aku berjalan ke kosan, si perempuan aneh itu mengikutiku dari belakang. Apa dia benci denganku dan berniat membunuhku sekarang?

Aku berhenti, lalu memutar badanku dan menatapnya lurus-lurus. "Kenapa kamu ngikutin aku terus?"

"Lah? Kok kamu kepedean banget? Orang aku mau balik ke kosanku kok!" Perempuan itu membalas tak kalah tinggi nadanya, lalu berdecih sembari membuang wajah sebelum berlalu melewatiku.

Oh, ternyata dia tetangga kosanku.

Sekarang dia berjalan di depanku dengan langkah gontai sambil menjinjing kantong plastik di tangannya. Sesekali dia menggaruk belakang kepalanya sambil menguap. Bukannya kesal melihat dia, aku malah semakin kasihan. Apa penyebab dia harus tidak tidur seharian seperti itu? Apa dia mahasiswa tahun akhir?

Aku menjaga jarak dengan si perempuan itu. Ternyata kamarnya berada di lantai dua, di seberang kamar Flora. Dia langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Dasar perempuan aneh.

Kebetulan, saat aku hendak masuk ke dalam kamar, Ashel membuka pintu. Dengan parfum yang begitu semerbak, dia melambai sambil menyapaku dengan riang. Senyumnya begitu lebar sampai barisan gigi putihnya nampak.

Aku membalas sapaannya dan sempat basa-basi menanyakan hendak kemana dia. Ternyata Ashel mau ke kampus.

Pantas saja penampilannya rapi dengan kemeja hitam dan celana jeans biru panjang.

"Oh, iya, Dek. Aku boleh minta bantuanmu gak?" tanya Ashel sambil kerepotan memakai sepatu putihnya di depan kamar.

"Apa, Kak?" Aku urung memutar knop pintu kamar, lalu menatapnya. Mataku sedikit terpana dengan payudaranya yang menggantung. Karena posisinya yang membungkuk dengan tangan menarik sepatunya dari tumit, payudara itu nampak jelas menggantung.

Sial. Gede.

"Nanti sih tapi. Nanti siang kamu ada acara?" tanya Ashel lagi. Kali ini sambil merapikan kerah kemejanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PensioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang