𝗘𝗽𝗶𝗹𝗼𝗴

22 3 0
                                    

Alas Urup — Epilog
___________________

Pada dasarnya, semua manusia pasti pernah membuat kesalahan. Entah itu kesalahan tidak disengaja atau disengaja. Memangnya ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan? Tidak, kan? Bahkan seorang pahlawan, dokter, guru pernah melakukan kesalahan.

Dan setiap orang pastinya pernah berpikir ingin memutar ulang waktu, ingin memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Namun sayang sekali, mereka lupa bahwa mereka hidup di kenyataan, di mana hal semacam memutar balik waktu adalah mitos.

Begitulah yang sedang dipikirkan Adre kali ini. Saat tubuhnya sedang terbaring menatap lampu-lampu dari mobil yang berpendar di jalanan, di sampingnya sudah terdapat temannya yang menatapnya dengan tatapan khawatir sembari menggenggam erat tangannya.

Senyuman getir ia lukis demi dapat menenangkan satu-satunya temannya yang selamat tersebut. Namun bukannya membalas dengan senyuman, temannya tersebut malah semakin menangis tersedu-sedu. Ah, Adre lupa bahwa temannya itu sudah tak memiliki siapapun lagi selain dirinya. Dan tentu saja takut jika teman terakhirnya—Adre akan ikut pergi menyusul teman-temannya yang lain.

Adre menahan napas sejenak, merasakan nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya. Luka-luka di tubuhnya terasa makin berat, namun dia tak ingin membuat temannya semakin cemas. "Aku nggak apa-apa," katanya pelan, meski suaranya terdengar bergetar. Ia berusaha menegaskan ucapannya dengan senyuman yang lebih tulus, namun rasa sakit yang menghimpit membuatnya gagal menyembunyikan kepedihan.

Temannya yang duduk di samping hanya bisa terisak tanpa bisa berkata apa-apa. Tangannya menggenggam erat jari-jari Adre, seolah takut melepaskannya. "Jangan ngomong kayak gitu... Kamu nggak akan pergi, kan?" suaranya patah-patah, penuh ketakutan dan harapan.

Adre menatap ke jendela ambulans, lampu-lampu jalan membias dalam pandangannya yang mulai kabur. Dalam hatinya, dia ingin menjawab dengan pasti bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia akan bertahan. Tapi kenyataan yang dia rasakan berbeda. Dia tahu, waktunya mungkin tak lama lagi.

"Dulu, aku pikir aku bisa mengubah semuanya," bisik Adre. "Aku pikir kalau aku bisa menebus kesalahanku, semuanya akan kembali seperti semula. Tapi nggak bisa, kan? Kenyataannya... waktu nggak bisa diputar ulang."

Isak tangis Aziel semakin keras. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, Adre... Kita bisa selamat, kita pasti bisa!"

Namun di dalam hati, Adre sadar bahwa segala sesuatu sudah berada di luar kendali. Waktu yang dihabiskannya dengan teman-teman yang lain telah hilang selamanya, dan sekarang dia hanya memiliki momen terakhir ini—momen di mana dia berharap, untuk sekali saja, dia bisa memperbaiki semua yang telah ia hancurkan. Tapi itu hanya angan.

Ia perlahan memejamkan mata, membiarkan pikirannya hanyut dalam rasa bersalah yang tak pernah hilang.

Namun sayangnya hidup harus terus berlanjut bagi Adrenalinne Naraya Nadiandra dan Aziel Dirgantara. Meskipun luka dari masa lalu masih membekas, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa terus terjebak dalam bayang-bayangnya. Kenyataan yang harus dihadapi jauh lebih keras dari sekadar memori, dan pada titik ini, keduanya harus benar-benar melepaskan diri dari masa lalu yang menghantui mereka.

Adre, meski lelah, mencoba berdiri tegak. Setiap langkah yang diambil terasa seperti perjuangan untuk menghirup udara baru, untuk menyembuhkan luka yang tak kasat mata. Di sisi lain, Aziel, yang selalu tampak tegar di luar, diam-diam membawa beban yang sama beratnya. Rasa bersalah, dendam, dan rasa kehilangan yang tak terucapkan membuatnya terkadang ingin kembali ke masa lalu, namun ia tahu itu adalah jalan yang sia-sia.

Mereka saling menyadari bahwa bertahan di masa lalu tak akan membawa mereka ke mana-mana. “Mungkin yang kita bisa lakukan sekarang adalah belajar memaafkan diri sendiri,” kata Aziel suatu hari, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan. Adre menatapnya lama, merenungkan kata-kata itu, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Memang tidak mudah, tapi mereka tahu bahwa masa depan tidak akan menunggu jika mereka terus terikat oleh apa yang sudah terjadi.

Dunia di depan mereka masih penuh misteri, namun ada satu hal yang pasti—mereka harus menghadapi kenyataan, dan itu berarti merelakan apa yang tak bisa diubah lagi.

___________________

Alas Urup — Tamat.

___________________

Terima kasih dari penulis.

Terima kasih, terima kasih kalian sudah mau menemani perjalanan Alas Urup hingga akhir. Tak terasa waktu benar-benar memaksa Alas Urup untuk mencapai endingnya yang segera. Semoga karyaku kali benar-benar dapat lolos terbit, segala usaha kuupayakan demi dapat mencapai ending ini.

___________________

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang