𝗘𝗠𝗣𝗔𝗧 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗦 :: Ketemu

19 8 1
                                    

Alas Urup — Chapter 14
___________________

“Kalian ini bagaimana? Kenapa mereka bisa pergi tanpa sepengetahuan dari kalian?!” bentak seorang pria paruh baya kepada sekelompok warga yang ia tugaskan untuk menjaga dua mahasiswa dan mencari mahasiswi yang sudah hilang hampir satu minggu dengan suara yang menggema di antara pepohonan yang tinggi.

Tak ada yang menjawab, semuanya tak berani untuk melawan ucapan dari sang kepala desa tersebut.Wajah-wajah mereka tegang, sadar akan ketidakbecusan mereka dalam tugas yang mereka dapat kali ini. Sedangkan sang kepala desa yang merasa frustasi  membuang napas kasar memikirkan betapa kacau situasi yang mereka hadapi sekarang.

Malam itu sunyi. Hanya suara angin yang berhembus lembut di antara dedaunan. Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah oleh suara yang tak terduga—sebuah suara tawa. Tawa aneh yang melayang-layang di udara, membelah malam dan menyentuh telinga lima warga Desa Sudarsana. Mereka saling berpandangan. Bagi mereka, suara itu tidak asing. Ada sesuatu yang ganjil.

Mata Pak Jaga mengelilingi sekitar, berusaha mencari dari mana asal tersebut. Ia mengerutkan dahinya, ia teringat sesuatu. Sebuah rawa, mereka sekarang hampir sampai ke sebuah rawa yang banyak orang-orang mengira bahwa rawa itu tak ada di hutan ini. “Ayo,” ucap Pak Jaga singkat dengan nada tegas yang kemudian berlari menuju arah jarum jam empat. Kaki-kakinya berlari, memercikkan air dari tanah becek yang membasahi sandal tuanya.

Warga lainnya tak punya pilihan selain mengikuti langkah Pak Jaga, meskipun hati mereka diliputi rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Lima menit berlalu, dan mereka tiba di tepi sebuah rawa yang tampak tenang tapi seperti menyimpan rahasia. Empat dari warga itu saling pandang, bingung. Selama ini, mereka tak pernah tahu bahwa terdapat sebuah rawa sebesar ini di dalam hutan yang mereka huni sejak lahir. Namun, tidak dengan Pak Jaga. Ia sudah tahu.

Baru saja mereka sampai di tepi-tepi rawa, mereka sudah disuguhi oleh seseorang yang sedari satu minggu ini sudah mereka cari. Di sana, di tepi rawa, tergeletak seseorang yang sudah seminggu ini mereka cari. Tubuhnya tampak lemah, penuh luka, pakaiannya kotor dan compang-camping, seolah baru saja melewati sesuatu yang mengerikan.

Ketika mereka hendak mendekat, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari kejauhan. Teriakan yang menghentikan langkah mereka seketika.

“Pak Jaga! Itu bukan Adre,” teriak salah satu mahasiswa sembari berlari diikuti oleh temannya yang satu lagi menuju tempat berdirinya lima orang warga yang membantu mereka mencari teman mereka.

Lima orang warga itu refleks menoleh, tatapan bingung menyelimuti wajah mereka. Pak Jaga mendesah dalam hati. Ia ingin sekali memarahi kedua mahasiswa itu karena berpisah dari rombongan. Namun, ada sesuatu dalam suara mereka yang membuatnya menahan diri.

“Apa maksudmu, Askara?” tanya Pak Jaga, suaranya rendah namun penuh rasa curiga. Pandangannya beralih kembali ke tubuh di tepi rawa. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Askara dan temannya berhenti tepat di depan mereka, napas mereka tersengal-sengal. “Itu bukan Adre,” ulang Askara dengan nada yang lebih tegas dan meyakinkan. “Kami... kami melihat sesuatu... dan dia... dia bukan manusia lagi.”

Udara malam semakin dingin. Tawa itu kembali terdengar, lebih keras kali ini, dan datang dari arah tubuh yang tergeletak di tepi rawa. Mata Pak Jaga menyipit, mencoba menembus kegelapan. Tubuh itu bergerak sedikit, seolah mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

“Apa yang kalian lihat?” Pak Jaga mulai merasakan sesuatu yang aneh, seperti hawa dingin yang menjalar dari tulang punggungnya.

Askara menelan ludah, wajahnya pucat pasi mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. “Dia... dia berubah, Pak. Kami tidak tahu apa yang terjadi, tapi itu... itu bukan Adre yang kami kenal.”

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang