𝗗𝗨𝗔 𝗣𝗨𝗟𝗨𝗛 𝗦𝗔𝗧𝗨 :: Penghianat

24 4 0
                                    

Alas Urup - Chapter 21
___________________

Empat tubuh mahasiswa-mahasiswi yang berasal dari universitas terbaik kota Sagana tergeletak tak berdaya di bawah naungan sebuah pohon. Sang pelaku hanya menatap mereka dengan tatapan mata yang menggambarkan bahwa dirinya tak menyukai kehadiran mereka. Tangannya terarah mengelap keringatnya dengan sedikit darah yang mengotori pipinya. "Ya, apa yang kita punya sekarang?"

Hembusan angin malam terasa dingin dan menerbangkan rambutnya yang tak dikuncir tersebut. Suasana malam saat ini merupakan hal yang sangat dia suka, terlebih saat tatapannya terkunci pada tubuh-tubuh yang baru saja ia kumpulkan. Sebenarnya, ada sedikit rasa tak puas dalam batinnya. Dia masih kekurangan satu orang lagi agar dapat ia bawa ke tempat tujuannya nanti. Dia menghela napas, kemudian berjongkok di dekat salah satu mahasiswa, menatap wajahnya saat ini sedang dihiasi oleh sedikit bercak darah dari temannya sendiri.

Kekehan kecil keluar dari mulutnya saat merasakan sang pemikik tubuh yang sedang ia gunakan meronta-ronta di bawah alam sadarnya. "Mereka harus mengetahui segalanya, Adre." Tangannya terangkat mengelus pipi salah satu mahasiswa tersebut dengan lembut, seakan dirinya sudah mengenalnya lama, tapi memang begitulah kenyataannya.

"Jangan apa-apakan dia...." Sebuah suara terdengar lemah diikuti dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya itu berasal dari mahasiswa juga yang tergeletak di samping mahasiswa yang sedang dielus dengan lembut oleh sosok yang bukan temannya namun berada di tubuh temannya itu. Tangannya terarah menyentuh jari-jari temannya yang sudah tak sadarkan diri tersebut.

Sosok tersebut berjongkok lebih dekat, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan malam. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Aziel yang sedang berusaha menggenggam tangan Arjuna, sosok tersebut berbisik dengan suara rendah yang dingin, "Jangan khawatir, Aziel Dirgantara. Aku tak akan menyakiti teman-temanmu, belum...."

Ziel berusaha untuk menjawabnya, namun sayangnya tenggorakannya terasa begitu kering, setiap kata yang hendak ia ucapkan seakan terperangkap dan tak dapat ia ucapkan langsung dengan mulutnya. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya, tetapi lebih dari itu, ada rasa takut yang tak tertahankan. Sosok itu entah siapa pun dia, yang pasti saat ini sedang berada di tubuh Adre sudah mengenalnya.

Orang tersebut tersenyum tipis, tangannya yang berlumuran darah kali ini berpindah menyentuh pipi Ziel. Namun kali ini sentuhan kasar yang ia berikan, berbeda dengan saat dirinya menggenggam pipi Arjun dengan lembut. "Kalian semua sangat bodoh, semuanya. Dirimu, Adrenalinne, Namiera, Nayyasha, Arjuna, dan Askara. Kalian semua bodoh, tak terkecuali."

Ziel menatap teman-temannya yang masih tak sadarkan diri di sekelilingnya. Wajah-wajah mereka yang baru saja tadi sore terlukis dengan senyuman kini tampak pucat, dingin, dan dikelilingi oleh bayang-bayang kematian yang siap menjemput mereka sekarang juga. Tubuh mereka lemah dan tak berdaya, terperangkap dalam keheningan yang mencekam. Dia berusaha keras untuk bergerak, untuk menyelamatkan mereka, tapi tubuhnya menolak perintahnya sendiri.

Sosok itu berdiri kembali, menatap ke arah pohon besar yang menjulang di belakang mereka, seolah berbicara kepada sesuatu yang tak terlihat. "Di mana Nayyasha Serandita?" Nada suara yang sebelumnya dapat Ziel dengar terasa lembut kali ini berunah menjadi nada suara yang datar, seakan dirinya tak segan-segan untuk menghabisi nyawa mereka satu-persatu menggunakan tangan dari tubuh Adre yang saat sedang ia kendalikan itu.

Alih-alih menjawab, Ziel hanya menatap tubuh Adre yang saat ini dikuasai oleh jiwa lain dengan tatapan mata yang terlihat meneliti. Saat itu Ziel berpikir bahwa teman-temannya yang lain pasti akan mengira bahwa sosok tersebut adalah Adre, namun nyatanya bukan. Bukan Adre yang Ziel lihat, bukan raga Adre juga. Melainkan
sosok wanita dengan kondisinya yang acak-acakan seperti yang pernah mengganggunya dan Askara saat baru saja hari pertama menginap di rumah Pak Jaga.

Di tengah keheningan tersebut, sebuah batang kayu tiba-tiba melayang hendak memukul kepala Adre dengan kekuatan yang cukup cepat. Namun sayang sekali, yang mengendalikan tubuh Adre saat ini bukan jiwa aslinya, yang tentunya memiliki insting yang lebih kuat ketimbang pemikik aslinya. Pukulan batang kayu tersebut hanya mengenai angin kosong, karena Adre terlebih dahulu menghindarinya.

"Ah, kau datang sendiri ya ternyata." Dia tertawa cekikikan saat melihat orang yang baru saja hendak ia datangi, namun ternyata malah dia yang datang menghampirinya. “Baguslah, aku tak perlu bersusah payah untuk menghampirimu.”

Sedangkan Nayyasha semakin menguatkan genggaman tangannya pada batang kayu yang memiliki ukuran seperti tongkat baseball yang ia ambil acak di sekitarnya beberapa menit yang lalu. Napasnya dapat terdengar oleh sosok Adre di tengah-tengah heningnya malam. Nayya menyiapkan kuda-kudanya, dirinya sudah siap untuk melawan sosok Adre di depannya itu. “Penghianat.”

Ziel yang masih membuka matanya walaupun terlihat kabur menggeleng saat mendengar ucapan dari Nayya yang masih berdiri dengan kedua kaki yang kokoh, namun Ziel dapat merasakan kegugupan dalam diri Nayya. Dirinya ingin sekali berteriak di tengah-tengah kesunyian hutan ini, berteriak bahwa sosok di depannya bukan sepenuhnya Adre. Tapi sepertinya takdir baik saat ini sedang tak berpihak pada Ziel.

Penghianat?” Tawa sosok tersebut menggelegar di tengah-tengah hutan dengan pepohonan yang lebat serta tinggi tersebut. Dirinya tak dapat menahan tawa saat mendengar satu kata yang keluar dari mahasiswi di depannya itu. “Apa benar aku seorang penghianat? Aku jadi merasa kasihan melihat bagaimana mengenaskan keadaan kalian sekarang. Menganggap bahwa orang yang sedang menyelamatkan kalian ini penghianat?” Dirinya mengelap air mata yang keluar dari matanya akibat tertawa. “Naif sekali.

Tepat setelah sosok tersebut menghentikan tawanya, Nayya kembali memukulkan batang kayunya pada sosok tersebut. Tapi sayang sekali, pukulannya tak dapat mengenai sosok Adre lagi. Malahan, sosok Adre berjalan dengan santai mendekatinya, bukan malah menjauhinya. Tangannya terarah seperti hendak menampar balik Nayya. Sedangkan Nayya ikut mengangkat batang kayu miliknya.

Saat tangan Adre semakin dekat dengan wajah Nayya, Nayya memukulkan tongkatnya kembali, dia kali ini menutup matanya seolah berharap pukulannya dapat melukai sosok temannya tersebut. Selain itu, Nayya sebenarnya juga tak tega untuk memukul temannya tersebut.

Langit-langit hutan lengang sejenak. Nayya masih menutup rapat kedua matanya, sedangkan Ziel membelalakan matanya melihat pertempuran kecil di depannya itu. Saatt Nayya membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah sebuah tangan yang sedang menahan pukulannya, tetesan darah perlahan mengalir di tangan tersebut.

Nayya kehilangan keseimbangannya dikarenakan Adre yang tiba-tiba menarik tongkatnya dengan kasar, membuat temannya itu tersungkur di tanah tak jauh darinya. Senyuman licik kembali ia lukis pada bibirnya sembari berjongkok demi dapat menatap wajah Nayya yang sedang berusaha untuk menahan air matanya agar tak keluar itu.

Ayo, aku tuduhake sapa kang penghianat ing kene.

___________________

Alas Urup — TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang