𝗗𝗨𝗔 𝗣𝗨𝗟𝗨𝗛 :: Gema

12 4 0
                                    

Alas Urup — Chapter 20
___________________

Hening malam terasa sangat dingin dikarenakan hembusan angin dari jendela yang masih belum ditutup oleh sang pemilik kamar, padahal jam sudah menunjukkan pukul tengah malam tepat. Hal tersebut membuat suasana kamar seolah terasa dipakaikan AC, padahal hanya terdapat satu kipas angin kecil, itu pun letaknya berada di sudut ruangan.

Langkah kaki seorang mahasiswa berjalan ke arah jendela tersebut, hendak menutupnya. Namun saat tangannya terangkat ingin menutup jendela tersebut, tatapan matanya tak sengaja melihat sesuatu yang tak asing baginya. Hal tersebut yang membuatnya harus menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas sebuah sosok yang sedang berlari di tengah-tengah perkampungan.

Tak salah lagi, itu salah satu teman satu kelompoknya. Dirinya membalikkan badannya. “Tidak, jangan matikan lampunya.” Langkah kakinya berjalan ke arah pintu keluar kamar. “Ikut gue,” ucapnya sembari membuka pintu kamar tersebut.

Aziel yang sedang duduk di atas ranjang dan hendak bersiap untuk tidur langsung menatap Askara yang juga sama bingungnya dengan dirinya. Namun Aska memberi isyarat agar Aziel berdiri, ikut mengejar langkah kaki Arjuna yang berlari tergesa-gesa meninggalkan mereka berdua sendirian di kamar.

Langkah kaki Arjun menggema di lorong-lorong rumah Pak Jaga, dia berharap Pak Jaga tak akan memergokinya yang mencoba keluar malam tanpa sepengetahuannya walaupun itu mustahil karena langkah kakinya yang terdengar cukup keras di tengah-tengah heningnya malam.

Di belakang Arjun, sudah terdapat Aska dan Ziel yang berusaha untuk mengejar langkah kakinya. Sampai pada akhirnya langkah kaki mereka terhenti dikarenakan Arjun yang sebelumnya memimpin jalan juga berhenti.

Dia memberi isyarat agar mereka bersembunyi di balik sebuah meja yang cukup besar. Mereka berdua tak banyak bertanya dan langsung mengikuti arahan Arjun untuk bersembunyi.

Di tengah-tengah malam yang hening itu, terdapat percakapan antar dua orang yang menggema di lorong menuju pintu keluar rumah Pak Jaga. Yang tentu saja salah satu pemilik suara tersebut adalah sang pemilik rumah—Pak Jaga. Sedangkan suara yang satunya lagi tak mereka ketahui siapa pemiliknya, namun bagi mereka suara tersebut terdengar familiar di gendang telinga mereka.

“Kau harus diberi hukuman, Dina.” Langkah Pak Jaga berjalan melewati Arjun, Ziel, dan Aska yang sedang bersembunyi di balik meja. Untungnya, dua orang tersebut tak menyadari kehadiran mereka bertiga.

Arjun mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan dari Pak Jaga, begitu juga saat melihat punggung seorang pria dan wanita yang berjalan melewatinya begitu saja. “Dina? Apa yang dimaksud Pak Jaga adalah Mbok Dina?” tanyanya kepada dirinya sendiri dalam hati. Tatapannya menatap ke arah dua temannya yang saat ini juga sedang berjongkok di belakangnya.

Ziel menutup mulutnya, karena memang kebiasaan dirinya selalu bersuara di saat ketakutan. Dan saat inilah dirinya, takut jika ketahuan oleh Pak Jaga dan Mbok Dina. Sedangkan Aska hanya berjongkok biasa, tangannya berpegangan pada tembok di sebelahnya agar tak kehilangan keseimbangannya.

Sejujurnya, Arjun saat ini juga penasaran dengan topik apa yang sedang dibahas oleh dua orang warga asli desa Sudarsana tersebut. Namun dia kembali teringat dengan temannya yang saat ini sedang berlari-larian di luar tengah malam.

Saat Arjun rasa langkah kaki Pak Jaga dan Mbok Dina sudah cukup jauh dari tempat mereka bertiga bersembunyi, dirinya mengisyaratkan kembali untuk bangkit dan mengikuti langkahnya lagi.

Mereka bertiga bangkit perlahan, memastikan bahwa langkah mereka tak menimbulkan suara sedikit pun. Arjun melirik ke arah Aska dan Ziel yang tampak kebingungan. “Ayo cepat, jangan sampai kita kehilangan jejak,” bisik Arjun sembari matanya masih fokus pada pintu keluar.

“Payah.”

Mereka menyelinap keluar dari rumah Pak Jaga dengan hati-hati, pintu kayu tua itu berderit pelan saat Arjun membukanya dengan perlahan. Begitu berada di luar, angin malam yang dingin menyapa kulit mereka. Arjun kemudian memimpin jalan, mempercepat langkahnya di jalan setapak yang mengarah ke pinggiran desa, tempat dia terakhir kali melihat sosok temannya berlari.

Langit malam di Alas Urup terasa lebih gelap dari biasanya, awan tebal menutupi bulan, menyisakan sedikit cahaya untuk menerangi jalan mereka. Aska dan Ziel berusaha mengejar langkah Arjun yang cepat sembari sesekali melirik ke sekitar, mereka seakan merasa diawasi oleh sesuatu yang tak terlihat di balik pepohonan yang menjulang tinggi.

“Apa kau yakin itu teman kita?” tanya Ziel dengan napas yang mulai tersengal.

Arjun mengangguk cepat, "Aku yakin, itu Adre. Dia tidak mungkin keluar sendirian malam begini tanpa alasan."

Seketika bayangan sosok Adre berkelebat di ingatan mereka. Adre, yang selalu berhati-hati dan tentu saja tak akan mengambil resiko keluar tengah malam terlebih dirinya baru saja ditemukan setelah hilang satu minggu, tidak mungkin keluar di malam hari tanpa alasan yang kuat. Beberapa pertanyaan tersimpan di dalam hati Arjun yang masih fokus berlari; “Apa yang sedang terjadi malam ini? Apa yang Adre hadapi hingga dia nekat berlari sendirian di tengah malam?”

Mereka sampai di pinggiran desa, di mana jalan setapak mulai menyempit dan hutan Alas Urup kembali menyambut mereka dengan kegelapan yang lebih pekat. Suara gemerisik daun yang tersapu akibat ulah angin yang semakin kuat.

Arjun menajamkan pendengarannya, berharap bisa menangkap suara langkah kaki Adre. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara samar, seperti desah napas yang terengah-engah dan langkah kaki yang tergesa-gesa.

“Itu dia!” seru Aska dengan suara yang tertahan, jari telunjuknya menunjuk ke arah bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan.

Arjun langsung berlari tanpa pikir panjang, diikuti oleh langkah kaki Aska dan Ziel. Mereka mengejar sosok Adre, semakin dekat setiap detiknya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Semakin mereka mendekati Adre, semakin hutan di sekitar mereka berubah. Suara gemuruh pelan terdengar di kejauhan, mirip dengan suara yang Adre dengar sebelumnya. Suara itu semakin keras, seakan sesuatu yang besar sedang bangkit dari kedalaman hutan.

Langkah kaki Adre berlari semakin cepat, setiap derap langkahnya bergema di tengah-tengah hutan yang sepi. "Tunggu!" teriak Arjun. Tapi sayang sekali Adre tidak menoleh, dia terus berlari seakan-akan sedang dikejar oleh sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar kegelapan.

Tiba-tiba, langkah Adre terhenti di depan sebuah pohon besar yang tampak berbeda dari pepohonan lainnya. Cahaya bulan yang perlahan muncul dari balik awan menerangi pohon itu, memperlihatkan sebuah simbol kuno yang terukir di batang raksasanya. Nami berdiri terpaku dengan napasnya yang terengah-engah, dirinya menatap simbol tersebut dengan tatapan kosong.

Arjun, Aska, dan Ziel akhirnya berhasil menyusulnya, tetapi sebelum mereka sempat mengeluarkan sepatah kata, suara gemuruh itu semakin mendekat, menggema di seluruh hutan. Ketika mereka menoleh, bayangan besar mulai muncul dari kegelapan, seakan siap mengancam untuk menelan mereka semua sekaligus.

___________________

Alas Urup — TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang