𝗗𝗨𝗔 𝗣𝗨𝗟𝗨𝗛 𝗧𝗜𝗚𝗔 :: Mual

9 2 0
                                    

Alas Urup - Chapter 23
___________________

Kedua tangan Adre dengan gemetar menggenggam erat rambutnya dikarenakan rasa pusing yang luar biasa mengganggu ingatannya sedari tadi. Bagaikan kaset film yang rusak, kejadian-kejadian di masa lalu berputar tak henti-hentinya di kepalanya. Tak hanya kejadian di masa lalunya, melainkan juga kejadian di masa lalu teman-temannya.

Bagaimana?” Sebuah suara yang tak asing baginya kembali terdengar, suara itu berasal dari pikirannya sendiri. Sebelum pada akhirnya dia membuka matanya, menatap sosok di depannya yang saat ini sedang tersenyum seolah puas melihat sang adik yang sedang berusaha untuk tetap sadar walaupun rasa mual dan pusing mulai menggerogotinya.

Nora berdiri di sana, melipat kedua tangan di depan dadanya. Matanya yang tajam mengamati Adre, seperti menunggu sesuatu. “Lihat dirimu sekarang. Kau tak bisa melarikan diri dari masa lalu, Adre. Ingatan-ingatan itu akan selalu mengejarmu, mengikatmu.”

Adre menggigit bibirnya, mencoba menahan diri dari rasa mualnya. "Kenapa kau selalu muncul saat aku mulai mengingat hal-hal ini? Apa yang kau inginkan?" suaranya terdengar serak, hampir tertelan oleh ketegangan yang menyesakkan dadanya.

Nora mengangkat alis. “Apa yang kuinginkan?” Ia melangkah mendekat, langkahnya ringan namun tetap menimbulkan suara derap langkah pada ruangan gelap itu. “Hanya ragamu, Adre.

Tepat setelah mendengar bisikan lembut dari sang kakak, tubuhnya terhuyung, namun untungnya Nora terlebih dahulu menangkap tubuhnya sebelum benar-benar kehilang keseimbangan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang terlihat bergetar, seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.

Di detik berikutnya, napasnya seperti terhenti sejenak. Namun tiba-tiba rasa mual yang tak tertahankan membuat tubuhnya tersentak. Darah merah segar mulai mengalir perlahan dari bibirnya.

Nora memiringkan kepalanya sedikit, menatap darah yang mengalir dari bibir Adre dengan ekspresi datarnya. “Lihat, bahkan tubuhmu pun tahu bahwa kau tak bisa melawan,” ucapnya dengan nada lembut dan penuh kemenangan. Tangannya yang dingin menyentuh pipi Adre, membuat gadis itu menggigil sejenak sebelum Nora dengan hati-hati membaringkannya ke lantai.

Adre mencoba bergerak, tapi seakan terasa lemah. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan pusing yang semakin kuat, namun darah terus mengalir mulai membasahi dagunya. Matanya perlahan mulai kehilangan fokus, diikuti dengan napasnya tersengal-sengal.

Aku tak butuh lebih dari ini,” lanjut Nora sambil menunduk, mendekatkan wajahnya ke telinga sang adik. “Cukup diam dan biarkan aku mengambil alih. Kau tak perlu merasa sakit lagi.” Senyum tipis terukir di bibirnya, dirinya tentu saja menikmati keputusasaan yang mulai memancar dari mata adiknya.

Adre ingin berteriak menolak, tapi suara itu tak pernah sampai ke tenggorokannya. Tubuhnya terasa kaku, bahkan gelengan kepala saja tak dapat ia lakukan. Sementara dingin mulai menjalar dari ujung jari hingga ke jantungnya.

Nora menatapnya dengan senyum sinis, seakan menikmati setiap detik kehancuran yang terjadi pada adiknya. "Tenang saja, Adre," bisiknya dengan suara yang tak lebih dari desir angin, "sebentar lagi kau tak akan merasakan apa-apa."

Adre mencoba untuk melawan, tapi tubuhnya seolah kehilangan semua energinya. Pandangannya perlahan mulai kabur, dan sensasi dingin yang menjalar dari ujung jari hingga ke jantungnya terasa semakin pekat seakan membungkus dirinya dalam kabut kelam yang tak bisa ditembus. Napasnya semakin terasa berat, setiap helaan terasa seperti perjuangan yang sia-sia.

Namun di tengah kepasrahannya, sebuah kilasan memori muncul di benaknya—ingatan tentang dirinya yang dahulu selalu mencoba untuk menjadi lebih baik dibanding sang kakak.

Dengan sisa-sisa tenaga yang hampir habis, Adre mencoba untuk melawan, ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang menggerogoti. Namun dengan setiap detik yang berlalu, rasa lelah dan putus asa semakin menggerogoti hatinya. “Apa gunanya berjuang jika pada akhirnya aku tak bisa menang?” pikirnya yang mulai merasakan kekalahan yang tak terhindarkan lagi.

Tatapan Nora menatap sang adik yang sebelumnya terlihat datar kali ini berubah menjadi tatapan mengejek, dirinya seolah bisa melihat ke dalam jiwanya yang sedang bergolak. “Kau lihat, Adre?” ujarnya dengan nada penuh kemenangan. “Tubuhmu sudah tak memiliki tenaga lagi. Serahkan saja semuanya padaku, aku janji akan membawakan raga-raga manusia pengkhianat itu padamu.

___________________

Alas Urup - TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang