𝗗𝗨𝗔 :: Mbok Dina

118 40 0
                                    

Alas Urup — On Going
___________________

Langkah kaki keenam mahasiswa dan mahasiswi beserta seorang kepala sebuah desa yang akan dijadikan untuk menyelesaikan tugas KKN berjalan melewati rumah-rumah warga. Dan pada akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang terbuat dari kayu dan dicat oleh warna merah gelap.

Tak lama saat mereka baru sampai di depan rumah tersebut, seorang wanita dengan punggungnya yang membungkuk dikarenakan faktor usia keluar dari rumah itu.

“Ini namanya Mbok Dina. Kalian yang perempuan akan tidur di rumah Mbok Dina.” Pak Jaga menatap ketiga mahasiswa perempuan yang meletakkan barang bawaannya di tanah. “Sebelumnya kalian belum perkenalkan diri, boleh bapak tau nama kalian siapa?”

Salah satu dari mahasiswi dengan rambut sebahu dan mata yang sipit sedikit maju ke depan. “Nama saya Nayyasha Serandita, biasa dipanggil Nayya. Yang mempunyai rambut pirang dikepang namanya Namiera Maharani Yunanta, orang-orang biasa memanggilnya Nami.” Mata sipitnya melirik ke arah mahasiswi perempuan yang terakhir. “Dan yang mempunyai rambut lurus kuncir kuda itu namanya Adrenalinne Naraya Nadiandra, biasa dipanggil Ad—”

“Biasa dipanggil Nara,” gadis dengan rambut lurus tersebut memotong terlebih dahulu ucapan Nayya sebelum temannya itu melanjutkan ucapannya.

Tatapan bingung Nayya lemparkan pada gadis berambut lurus tersebut. “Adre?” bisik Nayya.

Gadis dengan rambut lurus yang entah mempunyai nama Adre atau Nara tersebut menggeleng.

Sedangkan Pak Jaga mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasan dari sang Primadona Universitas Diyatama tersebut. “Dan yang laki-laki?”

Sebuah tangan terangkat di bagian laki-laki. “Saya Arjuna Kaivandra, bapak bisa panggil saya Arjun.” Jari telunjuknya menunjuk ke salah satu mahasiswa laki-laki lagi yang mempunyai tatapan mata yang tajam. “Ini namanya Askar Bagaswara, kami sering memanggilnya Askara. Dan yang selalu ada di sebelahnya Aziel Dirgantara atau Ziel.”

Pak Jaga membenarkan posisi punggungnya lagi. “Yang laki-laki, nanti kalian bermalam di rumah saya.”

Adre dan Nayya saling tatap. “Rumah yang beda dari rumah para warga yang lain?” pertanyaan kali ini bukan berasal dari Adre ataupun Nayya. Sontak semua mata tertuju pada asal suara tersebut, dan terdapatlah Arjun yang sedang menatap Pak Jaga dengan tatapan ingin tahu.

Tak ada jawaban dari Pak Jaga, begitu juga Mbok Dina yang tak membantu menjawab pertanyaan tersebut. Rasa janggal kembali dirasakan Adre saat melihat tatapan Mbok Dina yang datar, seakan tak terdapat kehidupan di dalamnya.

Hampir beberapa menit Pak Jaga diam, dan pada akhirnya hanya melontarkan jawaban singkat. “Iya.” Tatapan matanya berganti ke arah Aska, Ziel, dan Arjun. “Ikuti bapak.”

Mentari semakin lama semakin turun ke porosnya dan berganti dengan cahaya dari sang rembulan. Semilir angin dari jendela yang belum ditutup siap untuk membuat siapapun kedinginan.

Langkah kaki seorang wanita dengan punggung yang membungkuk berjalan menuju jendela tersebut, hendak menutupnya.

Di meja makan, sudah terdapat tiga orang mahasiswi yang dititipkan padanya sedang berbincang-bincang sembari menikmati masakan buatannya.

Wanita yang dikenal dengan panggilan Mbok Dina tersebut duduk di salah satu kursi di sebelah Nayya. “Kalian serius akan benar-benar melaksanakan KKN di desa ini?” tanya Mbok Dina sembari mengambil piring untuk dirinya sendiri.

Adre menatap wajah Mbok Dina yang sedang sibuk mengambil makanannya sendiri. Sebenarnya sedari tadi Mbok Dina belum pernah melontarkan pertanyaan atau apapun, mulutnya hanya diam.

Nami menyenggol lengan Adre, menyuruh Adre saja yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Iya, Mbok. Kami sudah sepakat untuk menyelesaikan tugas KKN di desa ini,” jawab Adre yang berusaha mengukir senyuman yang tidak canggung di wajahnya.

“Begitu ya....” Mbok Dina mengangguk mendengar penjelasan dari Adre. “Kalian sepakat atau terpaksa?”

Ketiga mahasiswi yang sebelumnya sedang fokus dengan makanan mereka masing-masing sekarang mendongak menatap wanita di hadapan mereka. Bahkan Nayya yang duduk di sebelah Mbok Dina sampai tersedak ketika mendengar pertanyaan tersebut.

“Tidak perlu kaget seperti itu. Mbok sudah tahu.” Tangan Mbok Dina terarah mengambil salah satu gelas berisikan air dan memberikannya pada Nayya.

“Maaf, Mbok. Tapi....”

“Apa kalian ingin tahu kenapa hanya rumah Jagawana saja yang berbeda dengan rumah-rumah warga lainnya? Apakah kalian ingin tahu kenapa rumah warga di desa ini hanya dicat dengan dua warna; coklat dan merah gelap?” Belum sempat Adre membalas ucapan Mbok Dina, wanita dengan rambut yang sudah berubah warna menjadi putih dikarenakan faktor usia tersebut lebih dahulu memotong ucapannya.

Rumah yang terbuat dari kayu dan dicat dengan warna merah gelap tersebut lengang sejenak. Adre kali ini hanya dapat diam seribu bahasa, tak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

___________________

Alas Urup — On Going

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang