𝗧𝗜𝗚𝗔 :: Rumah

111 35 0
                                    

Alas Urup - On Going
___________________

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, iris obsidian milikku menatap ke langit-langit kamar. Isi pikiranku masih dipenuhi dengan penjelasan rumit tadi sore di meja makan.

"Re, kamu kira-kira paham nggak sama penjelasannya Mbok Dina tadi?" Suara yang amat kukenal terdengar bertanya padaku yang baru saja merenggangkan tubuh di kasur.

Ragaku bangkit dari tiduran singkat. Berpikir sejenak. "Entahlah, penjelasannya nggak masuk akal."

Kerutan muncul di dahi Nami, dia tak paham dengan ucapanku.

Dapat kutebak, mereka berdua pasti jarang yang namanya membaca atau bahkan membuat novel dan film yang berisikan tentang misteri.

"Ayolah, Re. Kamu kan sering baca-baca novel tentang misteri?" Nayya duduk di sebelahku, tatapan matanya seolah berbinar menungguku menceritakan apa yang berhasil aku tangkap dari penjelasan Mbok Dina.

Kepalaku menggeleng. "Aku nggak yakin ini bener apa nggak. Intinya, cuman ini yang bisa aku pahami."

Nayya dan Nami mengangguk. Rasa antusias sepertinya mulai muncul di diri mereka.

Aku kembali mengingat-ingat percakapan tadi sore di meja makan. Mbok Dina saat itu hanya menjelaskan seputar rumah Pak Jaga dan rumah para warga.

Tanganku meraih sebuah buku dan bolpoin yang aku letakkan di atas meja di samping kasurku yang sebelumnya aku gunakan untuk menulis apa yang akan aku lakukan di esok hari.

"Kata Mbok Dina, hanya kita dari sekian banyak orang yang dapat melihat rumah Pak Jaga dengan perbedaan yang sangat terlihat." Tanganku dengan lihai menggambar sebuah rumah yang cukup besar.

Di sekeliling rumah yang ukurannya besar tersebut, aku menggambar beberapa rumah lagi, namun kali ini ukurannya lebih kecil. "Tak semua orang dapat melihat rumah ini. Di mata para warga dan beberapa pendatang, rumah ini hanya terlihat seperti rumah para warga yang lain." Aku melingkari rumah yang ukurannya cukup besar tersebut dengan bolpoin yang kugenggam.

Tanganku berpindah mengarsir beberapa rumah kecil, ada beberapa rumah juga yang tak aku arsir. "Di rumah warga juga dibedakan menjadi dua; rumah dengan warna coklat berarti penghuninya tak berani melawan sang penguasa, sedangkan yang dicat dengan warna merah gelap kebalikannya."

Suasana kembali hening, aku tak melanjutkan ucapanku. Sedangkan Nayya dan Nami diam menatap gambaran asal yang kubuat di bukuku.

Helaan napas keluar dariku. "Padahal kita baru saja sampai, masa iya harus berteori seperti yang ada di novel dan film-film?" Aku tertawa kecil melihat Nayya dan Nami yang fokus memerhatikanku berbicara.

Tanganku menutup buku tersebut yang membuat kedua temanku yang sedang serius mendengarkanku sedikit tersentak.

"Udah malem," ucapku sembari menunjuk sebuah jam yang ada di atas pintu masuk kamar. "Ayo tidur." Aku kembali merebahkan tubuhku di kasur yang membuat dua temanku langsung menghela napas kecewa.

Di sisi lain, tiga orang mahasiswa masih duduk sembari bersiap-siap untuk tidur di atas kasur yang empuk dan jauh beda dari kasurku dan dua temanku yang lain gunakan untuk tidur di malam ini.

"Kesel banget di sini nggak ada sinyal." Salah satu dari tiga orang tersebut mengangkat ponselnya, berharap sinyal akan masuk ke ponsel kesayangannya itu.

Temannya yang juga sedang duduk di ranjang di sampingnya meraih sebuah buku dari dalam tas miliknya. "Udahlah, Jun. Udah tau ini di tengah hutan masih aja cari sinyal," ucapnya sembari memberikan buku yang baru saja ia ambil kepada teman satu fakultasnya.

"Iya! Mending kita baca novelnya Asky aja." Tangan Aziel memerlihatkan buku novel milik Askara tersebut pada Arjuna yang masih sibuk mencari sinyal.

Decihan keluar dari mulut Arjun. "Kamu yang bacain tapi, Zi." Dengan langkahnya yang terlihat pasrah, Arjuna berjalan menghampiri Aziel dan Askara yang sedang duduk di satu kasur yang cukup besar.

Di kamar yang ukurannya cukup besar itu, hanya terdapat dua kasur yang bisa ditempati. Namun mereka terdiri dari tiga orang, hal tersebut yang membuat mereka untuk melakukan kesepakatan; Aziel dan Askara tidur di satu ranjang yang cukup besar, dan Arjun tidur di ranjang yang satunya namun dengan ukuran yang lebih kecil.

Kepala Aziel menggeleng. "Nggak boleh. Memang ini cerita penghantar tidur?" Aziel kembali melihatkan novel yang sedang ia genggam pada Arjun, bisa dilihat dari cover dan judulnya menunjukkan bahwa novel itu mempunyai genre horor.

Beberapa detik setelah Arjun melihat dan membaca cover serta judul novel tersebut, tawa keluar dari mulutnya. "Yakin mau baca cerita ini? Kalau nanti nggak bisa tidur jangan salahin Aska loh, Zi."

Takk!

Suara renyah terdengar saat Askara menjentikkan jarinya ke dahi Arjun yang sedang tertawa terbahak-bahak. "Sekali lagi ketawa, gue tendang lo dari sini."

Arjun mengaduh kesakitan sembari memegang dahinya. "Serius mulu, nggak asik." Kemudian, Arjun bangkit dari duduknya. Berjalan kembali ke ranjangnya. Dapat Askara tebak bahwa Arjun sudah kehilangan mood-nya.

"Ciel, mau ganti novel aja?" Tatapan Aska sekarang beralih ke temannya yang sudah bertahun-tahun menemaninya di saat sedih maupun senang itu.

Gelengan kepala diberikan oleh Aziel. Aska tahu sekali hal-hal kecil perihal sahabatnya tersebut, salah satunya adalah sensitif terhadap hal ghaib yang membuat Aska harus lebih berhati-hati dalam menjaganya.

Aziel memang sudah berusia 19 tahun, namun perlu diingat bahwa sifat kekanak-kanakannya yang ceroboh itu masih terbawa hingga sekarang.

Aska kembali teringat dengan bagaimana dahulu ia bertemu dengan Aziel dengan keadaan yang cukup tak enak untuk diingat.

"Asky." Sebuah panggilan membuyarkan lamunan Aska yang sedang mengingat bagaimana awal pertemuan mereka bedua. "Kalau misalnya Ciel tidak bisa tidur, Asky bakalan tetap menemani Ciel, kan?"

___________________

Alas Urup - On Going

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang