𝗗𝗨𝗔 𝗣𝗨𝗟𝗨𝗛 𝗗𝗨𝗔 :: Iblis

15 3 0
                                    

Alas Urup - Chapter 22
___________________

"Apa kamu tahu bagaimana asal usul keluarga kita?" tanya Nora dengan nada yang santai sembari duduk di salah satu dahan pohon yang menjadi ikonik dari desa Sudarsana. Dirinya menatap pepohonan tinggi di hadapannya, mengingat bagaimana kisah Alas Urup dahulu.

Kalau tak salah, dirinya pernah mendengar bahwa tak semua orang dapat keluar dengan selamat ketika sudah masuk ke dalam wilayah Alas Urup. Sejujurnya dia mempercayai hal tersebut, buktinya sekarang dirinya terjebak selamanya di hutan yang mempunyai rentetan peristiwa yang tak masuk akal tersebut.

Padahal, orang-orang mengatakan bahwa Alas Urup merupakan hutan yang memiliki beberapa flora serta fauna yang langka di dalamnya, dan katanya hanya dapat ditemukan di hutan tersebut. Namun kekayaan flora dan fauna itu tak bertahan lama dikarenakan banyaknya orang kota yang tak memiliki izin menebang pepohonan dan memburu berbagai macam hewan langka di Alas Urup tersebut dengan liar.

Sampai pada akhirnya para warga asli tak menerima akan hal tersebut, mereka memutuskan untuk melakukan sebuah ritual untuk mengundang iblis untuk membuat kesepakatan agar dapat menghentikan para manusia yang tak ada habisnya terus berdatangan untuk merusak lingkungan alam Alas Urup.

Ritual tersebut berjalan dengan lancar, saat itu sang iblis mengatakan bahwa dia tak ingin menerima upah dalam bentuk apapun. Namun para warga desa lupa bahwa iblis tetaplah iblis, dan iblis mana yang mempunyai hati dermawan? Itu hanyalah dongeng semata yang sayangnya para warga asli mempercayai hal tersebut.

Tepat hampir setahun hutan yang memiliki nama Alas Urup yang sebelumnya diambil karena merupakan hutan paling terkenal di kota Sagana dan memiliki berbagai macam jenis flora dan fauna menganggap bahwa hutan tersebut sangat hidup dan subur itu tak pernah lagi disentuh oleh orang luar, sang iblis datang untuk meminta upahnya.

Di hutan tersebut sebenarnya terdapat dua desa, yaitu desa Jagawana dan Sudarsana. Kedua desa itu bersepakat untuk mengadakan ritual, namun hanya Sudarsana yang memberikan upah kepada sang iblis karena diancam akan melenyapkan seluruh warga desanya sehingga tak ada satu lagi yang tersisa. Sedangkan desa Jagawana? Sang kepala desa beserta para rakyatnya menolak untuk memberikan upah sesuai permintaan sang iblis, yang berakhirlah desa tersebut rata dengan tanah, yang tersisa hanyalah abu yang terus beterbangan terkena angin.

Sang iblis tentu saja tak merasa puas dengan hanya melenyapkan satu desa saja, dia menginginkan lebih. Hal tersebut mendorongnya untuk kembali mendatangi desa Sudarsana dengan membawa berbagai godaan untuk menghasut sang kepala desa. Berbagai godaan sang iblis berikan kepada kepala desa, dirinya mengatakan bahwa akan membuat seluruh keluarganya dapat hidup abadi di dunia, dapat membuat seluruh rumah para warga menjadi tertib, memperlaya kehidupannya yang sedari dahulu selalu hidup pas-pasan, dan membuat rumahnya untuk dapat menjadi rumah paling mewah di antara rumah-rumah warga yang lain.

Pada awalnya sang kepala desa menolak dengan tegas godaan tersebut karena dirinya hanya membutuhkan bantuan sang iblis untuk menjaga wilayah Alas Urup saja, tidak lebih. Namun bukan iblis namanya jika menyerah untuk menggoda manusia, hingga kepala desa Sudarsana atau yang dikenal dengan nama Pak Jagawana menyetujui perjanjian dengan iblis itu.

Namun sebagai imbalan, sang kepala desa harus memberikan salah satu mahasiswi yang menurutnya menarik perhatiannya kepada sang iblis. Saat itu Pak Jaga menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang mudah, sampai pada akhirnya dirinya bertemu dengan Noradrenalinne Anisa Anandra. Seorang mahasiswi terbaik yang sengaja dikirimkan oleh Universitas Diyatama hadir untuk menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata di desa tersebut.

Bahkan iblis merasa kewalahan menghadapi Nora, sang wanita yang saat ini sedang menumpang di raga milik adik kandungnya sendiri, Adre.

"Sebegitu banyaknya dosamu itu kah? Sampai membuat seorang iblis kewalahan menghadapimu." Adre duduk di tengah-tengah sebuah ruangan yang katanya sang kakak merupakan suatu dimensi atau alam bawah sadar buatannya, ruangan tersebut gelap gulita. Hanya terdapat sebuah bola seperti semacam bola ajaib di dunia fantasi di novel yang pernah ia baca, bola tersebut mengambil sudut pandang dari bagian matanya.

"Tidak, iblis sialan itu saja yang tak dapat melawan imanku." Tangan Nora atau lebih tepatnya jiwa Nora yang saat ini sedang mengendalikan tubuh Adre terarah memetik salah satu buah dari pohon yang salah satu dahannya sedang ia buat duduk tersebut. Dirinya menggigit buah yang masih segar tersebut sembari menatap ke bawahanya yang terdapat lima tubuh mahasiswa-mahasiswi yang sedang tergeletak tak sadarkan diri.

Adre yang tak kuasa menatap pemandangan di depannya itu lebih memilih untuk membenamkan wajahnya di balik tangannya yang saat ini sedang memeluk kedua lututnya, dia tak tega menatap teman-temannya yang terdapat bercak-bercak merah darah di beberapa bagian tubuhnya.

"Lalu, kenapa kau mengkhianatiku jika imanmu itu luar biasa kuatnya?" tanya Adre yang masih terus membenamkan wajahnya.

Nora yang sedang dengan santai mengunyah sebuah buah yang bentuknya mirip seperti apel namun memiliki warna jingga tersebut mendadak berhenti, seakan ucapan Adre membuatnya sedikit terkejut, dan Adre sudah hapal itu. Namun baru saja beberapa detik ia menghentikan aktivitas mengunyahnya, giginya kembali menggigit buah yang berada di tangannya. "Karena aku ingin membalaskan dendamku, tentu saja."

Adre diam sejenak. Dirinya memejamkan kedua matanya yang terasa perih dikarenakan terus melotot sedari tadi saat Nora mengendalikan tubuhnya dengan santai membuat teman-temannya tergeletak tak sadarkan diri begitu saja di tanah, terlebih saat di bagian Ziel, Adre tak akan pernah melupakan bagaimana brutalnya sang kakak. "Amarah dan dendam tak akan menghasilkan apapun."

Tawa kembali terdengar di langit-langit hutan tersebut, membuat Adre yang baru saja memejamkan matanya langsung membukanya lagi. "Kamu ini benar-benar bodoh."

Suara tawa itu masih terdengar, dan itu membuat Adre semakin kesal. Dia bangkit dari duduknya, kakinya menendang bola yang menampilkan gambaran bagaimana keadaan dunia luar dengan kesal. Dan yang memiliki bola tersebut tentu saja langsung diam, raut wajahnya yang sebelumnya terlihat santai sekarang berunah menjadi serius.

"Akan kuperlihatkan bagaimana mereka yang sebenarnya, Adrenalinne." Langkah kakinya turun dari dahan pohon yang cukup besar dan tinggi tersebut, berjalan ke salah satu mahasiswi yang masih diam tak sadarkan diri. Tangannya terarah menarik rambutnya dan mendekatkannya ke wajahnya, memerhatikan setiap inci dari wajahnya yang paling banyak terkena darah tersebut. "Kita mulai, yang pertama..."

___________________

Alas Urup - TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang