𝗦𝗔𝗧𝗨 :: Sambutan

220 56 6
                                    

Alas Urup - On Going
___________________

“Selamat datang di Desa Sudarsana, desa yang jarang disentuh oleh orang luar!” Seorang pria paruh baya dengan umur sekitar 40-an tersenyum menyambut kami. “Desa Sudarsana ini  jarang disentuh oleh orang luar, namun desa ini sering dijadikan tempat untuk melaksanakan kegiatan KKN oleh para mahasiswa Universitas Diyatama,” lanjutnya sembari berjalan lurus membawa kami masuk ke desa. “Sebelumnya izinkan bapak untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama bapak Jagawana, orang-orang di sini lebih sering memanggil bapak dengan panggilan Pak Jaga.”

Kami berenam serentak mengangguk paham sebagai jawaban. Senyuman kaku terlukis di wajahku dan teman-temanku yang lain, kecuali Nayyasha Serandita yang selalu tersenyum senang seolah menganggap kegiatan KKN ini liburan.

Mataku memandang ke sekitar sembari terus menggendong barang bawaanku. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah ibu-ibu yang sedang mengawasi anak-anak mereka bermain di depan sebuah rumah yang terlihat berbeda dari rumah-rumah yang lain. Dapat kutebak, pasti ini rumah Pak Jaga karena beliau adalah kepala desa di sini.

Rata-rata rumah di desa ini terbuat dari kayu, aku tak pasti terbuat dari kayu jenis apa. Hampir semua dicat dengan warna coklat, namun ada beberapa yang dicat dengan warna lain seperti warna merah gelap. Hal tersebut menimbulkan kesan sedikit horor di desa ini.

Sedangkan rumah yang kuanggapap berbeda itu bentuknya seperti rumah di beberapa perumahan pada umumnya, bedanya ukurannya lebih besar.

“Nggak berat, Re?” sebuah suara terdengar mengagetkanku yang sedang memerhatikan sekeliling. Pemilik suara tersebut terkekeh saat melihat reaksiku yang refleks menoleh dengan ekspresi kaget. “Lihatin apaan, sih? Serius banget perasaan.”

“Berhenti kagetin orang, Jun.” Dia -Arjuna Kaivandra atau yang kerap orang-orang panggil dengan panggilan Arjun namun aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Juna sedikit mendekat ke sebelahku. Aku yang menyadari hal tersebut langsung menghentikan langkah kakiku.

Tatapan bingung ia berikan padaku yang tiba-tiba berhenti. “Kenapa? Keberatan bawaannya?” tanyanya sekali lagi.

Aku menggeleng. “Cuman kasih jarak aja.”

Senyum tipis terukir di bibirnya, aku tahu, ia pasti merasakan suasana canggung mulai muncul di antara kami berdua. Tanpa pikir panjang, Juna langsung kembali menyamakan langkahnya dengan kedua temannya yang sudah berada beberapa langkah dari tempatnya berpijak. Helaan napas keluar dariku yang kemudian mengekori Juna dari belakang.

Bagiku tak banyak yang menarik di desa yang akan dijadikan tempatku dan temanku yang lain untuk menyelesaikan tugas KKN. Hanya saja saat sampai di dekat sebuah pohon  tinggi dan lebarnya bukan main yang aku tak ketahui namanya, aku merasakan ada yang janggal.

“Pohon ini merupakan pohon yang menjaga wilayah Sudarsana. Kalian lihat buah-buah yang ada di sekitar kalian?” Pak Jaga menunjuk beberapa buah yang berserakan di sekitar kami berenam.

“Apa ini bisa dimakan?” tanya salah satu anggota kelompokku yang mempunyai rambut pirang panjang yang dikepang. Tangannya hendak mengambil salah satu buah yang bentuknya seperti apel namun berwarna jingga, tapi lebih dahulu ditepis oleh Aska. “Apa sih, Kar?” tanya Namiera yang tak terima.

“Namiera Maharani Yunanta, jaga tanganmu.” Tatapan serius dilemparkan oleh Askar Bagaswara pada Nami. Dan yang ditatap hanya dapat diam seribu bahasa. “Maaf, Pak. Bapak boleh lanjutkan penjelasan bapak,” lanjutnya yang kali ini memberi senyum pada Pak Jaga.

Lima menit Pak Jaga bercerita tentang pohon yang tingginya sudah entah berapa meter tersebut. Yang dapat kuambil kesimpulannya adalah pohon di depan kami ini merupakan pohon yang memiliki buah beracun.

Pak Jaga membenarkan posisi berdirinya yang sebelumnya sedikit membungkuk menjadi tegak kembali. “Dahulu kala, ada seorang mahasiswa yang tak sengaja memakan satu buah yang jatuh dari pohon ini.”

“Lalu? Apa yang terjadi dengan mahasiswa tersebut?” Kali ini Aziel Dirgantara yang melontarkan pertanyaan. Sedari tadi Ziel selalu diam mendengarkan penjelasan dari Pak Jaga, bukan karena apa, tapi karena ia tak paham. Dan sekarang dirinya berani bertanya karena Pak Jaga diam cukup lama setelah menggantung ucapannya.

Namun pertanyaan itu tak membuat Pak Jaga kembali melanjutkan kalimatnya. Sampai suara tawa kecil keluar dari pria paruh baya dengan tinggi sekitar 170 cm itu. “Ia tak dapat mengendalikan raganya kembali, gadis yang malang.”

Kami berenam saling tatap, mencoba untuk mencerna perkataan Pak Jaga barusan. Kami sama-sama menggeleng, tak dapat memahami maksud ucapan Pak Jaga.

“Sudah. Ayo, bapak antar ke penginapan.”

___________________

Alas Urup — On Going

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang