𝗧𝗨𝗝𝗨𝗛 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗦 :: Kakak

16 4 0
                                    

Alas Urup - Chapter 17
___________________

Rasa mual yang luar biasa mulai menyerangku, jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu dia. Kakakku sudah hilang sejak lima tahun yang lalu, dia bagai lenyap begitu saja tanpa jejak. Seluruh keluargaku mencarinya tanpa henti, berharap dia masih hidup. Namun setelah waktu berlalu, harapan itu perlahan memudar dan akhirnya mereka menganggapnya sudah tiada.

Tapi aku? Aku tidak pernah bisa melupakan kepergiannya-atau lebih tepatnya, aku tak pernah bisa menghilangkan rasa pahit di hatiku tentang dia.

Dia selalu menjadi yang terdepan, yang terbaik dalam segala hal. Sejak kecil, orang tuaku selalu menaruh harapan besar padanya. Dia anak kebanggaan mereka, kebanggaan keluarga. Aku di sisi lain, selalu berada di bayang-bayangnya. Apa pun yang kulakukan, selalu menjadi bayangannya, seperti sebuah standar yang tak pernah bisa kucapai.

"Nora pintar sekali. Kau harus seperti kakakmu, Adre."

"Nora selalu mendahului segalanya. Belajarlah darinya."

Kata-kata itu selalu menghantuiku setiap kali aku berusaha keras untuk mendapatkan perhatian. Tapi entah bagaimana, usahaku selalu terasa sia-sia. Di mata mereka, aku hanyalah versi yang lebih lemah, lebih tak sempurna dari kakak.

Dan sekarang, lima tahun setelah dia menghilang, muncul sosok yang mirip dengannya, di tempat paling tak terduga-dalam bentuk sebuah jiwa jahat. Apa maksud semua ini?

"Apa kau tak ingin memeluk jiwa kakakmu ini, Adre? Lima tahun, lho. Aku menghilang tanpa kabar."

Aku menggeleng, dan gelengan tersebut membuat senyuman yang sebelumnya terlukis di bibirnya menjadi pudar perlahan. Langkah kakinya terdengar samar di telingaku, perlahan tapi pasti mulai mendekat ke arahku yang saat ini sedang duduk mematung menatapnya.

Dapat kurasakan, tangannya dengan lembut membelai pipiku. Belaian itu sedikit membuat bulu kudukku berdiri, terlebih saat mengingat bagaimana sosok di depanku ini menjadi segalanya bagi keluargaku di masa lalu. Bahkan sampai sekarangpun jika mereka tahu sosok di depanku masih hidup, mereka pasti akan langsung membuangku.

Dia semakin mendekat, dan saat ini posisinya sedang memeluk tubuhku. Aku tak bisa melawan, jangankan melawan, berteriak saja aku tak bisa. Dia benar-benar tahu apa yang bisa membuatku diam seribu bahasa.

Dia menenggelamkan wajahnya pada leherku, dapat kurasakan setetes air keluar dari mata indahnya dan membasahi leherku. "Kau masih berharap untuk bisa melampauiku, ya? Sudah sampai sejauh ini ternyata."

Tanganku terangkat, dengan ragu mulai memeluk punggung kakakku. Ah, sudah lama aku tak mendapat pelukan ini darimu, Kak. Atau karena dahulu aku selalu menolak saat engkau hendak memelukku? Jiwanya benar-benar berbeda.

"Kakak juga lelah harus menuruti perintah orang tuamu itu." Tangannya dengan lembut membelai rambut bagian belakangku. "Berhenti untuk memenuhi ekspektasi mereka, kamu sudah cukup berusaha. Ada kalanya kamu harus beristirahat."

Aku menggeleng, yang kemudian perlahan menurunkan kembali kedua tanganku yang sebelumnya memeluk punggung sosok di depanku. "Itu semua karena ulahmu, Kak. Andai dahulu kau juga memberiku kesempatan untuk memperlihatkan kemampuanku pada mereka, Noradrenalinne Anisa Anandra."

Ucapanku barusan berhasil membuat sosok yang saat ini sedang memeluk dan membelai rambutku menghentikan gerakannya. Perlahan, dia mulai melepaskan pelukanku, sedikit mundur demi dapat melihatku yang saat ini sudah memasang mata yang berkaca-kaca.

"Naif sekali dirimu." Nada suara yang beberapa detik lalu terdengar lembut dan rapuh, kali ini berubah menjadi nada yang terdengar mengejek. Aku menatapnya tak percaya saat kondisi tubuhnya yang sebelumnya terlihat normal berubah menjadi sangat mengerikan.

Berbagai luka seakan menghiasi setiap inci tubuhnya. Terlebih di wajahnya yang saat ini terlihat sangat buruk, terdapat luka bakar yang mengerikan di sana. Di bagian matanya yang sebelumnya berwarna putih berubah menjadi merah, seakan darah masuk ke dalam bola matanya.

Dia merentangkan kedua tangannya, seolah menyuruhku untuk melihat bagaimana kondisinya yang acak-acakan itu. Terdapat berbagai sobekan di bajunya, terlebih di tangannya yang seperti hampir memerlihatkan tulangnya. Aku menatap ngilu, membayangkan bagaimana sakitnya itu. Kemeja yang ia kenakan yang sepertinya berwarna putih itu hampir berubah warna menjadi merah seutuhnya.

"Pemandangan yang indah, bukan?" Dia tertawa kecil saat melihatku yang menatapnya dengan tatapan yang jeri. "Aku adalah bagian dari cahaya yang dipaksa masuk ke dalam kegelapan."

Napasku tercekat saat melihatnya menyingkirkan rambut yang menutupi lehernya, memerlihatkan nanah yang bagi siapapun yang melihatnya akan muntah. Langkah kakinya berjalan mendekatiku yang masih terduduk menatapnya di pinggiran ranjang. Aku yang menyadari hal tersebut mundur, menghindari sosok menyeramkan di depanku ini. Itu bukan kakakku.

"Aku kakakmu, aku Noradrenalinne Anisa Anandra yang selalu ingin engkau renggut posisi panggungnya di hadapan kedua orang tuamu." Tubuhnya kini ikut naik ke atas ranjang saat aku merangkak mundur. "Kau selanjutnya yang akan berakhir sepertiku, dan aku tak akan pernah membiarkannya."

Aku memejamkan mata saat melihat sosok yang mengaku sebagai kakakku itu mengangkat tangannya, seolah hendak memukulku. "Biarkan aku mengendalikan tubuhmu lagi, akanku tamatkan semua ini." Bukannya pukulan yang aku dapat, melainkan sebuah tepukan kecil di kepalaku.

Aku perlahan mulai membuka mataku, walaupun aku masih takut dengan perawakan sosok di depanku ini. Dapat kulihat, senyuman terukir di bibirnya walaupun wajahnya tertutupi oleh luka bakar yang menurutku bagi siapapun yang pertama kali melihatnya akan merasa ngilu.

___________________

"Tumbuhlah lebih baik dibanding diriku, Adrenalinne Naraya Nadiandra."

Noradrenalinne Anisa Anandra, Alas Urup.

___________________

Alas Urup - TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang