𝗗𝗘𝗟𝗔𝗣𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗟𝗔𝗦 :: Rere

14 5 0
                                    

Alas Urup — Chapter 18
___________________

“Rere, apa kamu tahu nggak sepanik apa aku dan Aska saat kemarin kamu kejar sebrutal itu?” tanya Arjuna yang seolah merasakan suasana terasa hening menggantung di udara sedari tadi, jadi dia memutuskan untuk memulai percakapan.

Saat ini Adre, Arjuna, Askara, Aziel, Nayya, dan Nami sedang duduk di teras rumah Mbok Dina sembari menatap langit yang ditutupi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Setelah Adre pikir-pikir, Alas Urup mempunyai jenis pohon yang dapat berusia berjuta-juta tahun dan memiliki ukuran yang besar dan tingginya bukan main.

Tawa kecil keluar dari Adre saat mendengar pertanyaan dari Arjun. “Tunggu, apa tadi? Rere? Sejak kapan kamu panggil aku begitu?” Dia menyikut pelan lengan Arjuna, membuat laki-laki di sebelahnya itu tertawa salah tingkah.

“Ya, kan kita udah lumayan kenal lama. Masa enggak boleh bikin panggilan spesial? Kayak Aziel dan Aska?” balas Arjuna dengan nada bercanda, tapi tatapan matanya mengatakan lebih. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, tapi seperti biasa, dia menyembunyikannya di balik senyum yang tampak jahil.

Nami yang duduk tak jauh dari mereka tertawa pelan mendengar balasan dari Arjun. “Kalian lucu deh, kayak kakak adik yang berantem tapi saling sayang.”

Nayya mengangguk menyetujui ucapan temannya. “Iya, ya. Gimana ya, mereka tuh kayak…,” dia terdiam sejenak mencari kata yang pas untuk melanjutkan ucapannya, “...kayak udah terlalu nyaman satu sama lain, tapi enggak sadar.”

Adre melirik ke arah Nayya dengan alis terangkat. “Terlalu nyaman gimana? Kita emang temenan biasa.”

“Temenan biasa,” ulang Aziel sambil melirik tajam pada Adre dan Arjuna bergantian. “Biasa-biasa aja, sih, ya?” nada bicaranya jelas menyiratkan makna ganda.

Arjuna yang sejak tadi diam hanya bisa menghela napas, pura-pura tak acuh. “Ya udah lah, kalian malah bikin suasana makin aneh aja,” ujarnya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi kayu.

Namun, sebelum suasana kembali sepi, Adre menggoyang-goyangkan kakinya dan dengan nada jahil berkata, “Jadi, kamu beneran panik kemarin, Juna? Kirain kamu udah kebal sama kejar-kejaran seperti itu.”

Arjuna menoleh dengan cepat, tatapannya tajam namun penuh tawa yang ditahan. “Jangan bilang gitu dong. Sumpah, kemarin itu beda! Kamu larinya kenceng banget, suara kamu juga kedengeran beda dari biasanya dan kondisi kamu saat itu ngeri banget! Siapa yang enggak panik, coba?”

Adre tertawa keras, kali ini tak bisa menahan diri. “Aku ingat bagaimana wajah kalian saat saat itu. Tapi kan, aku sudah di sini. Tidak perlu panik lagi.”

Arjuna menggeleng pelan, pandangannya lembut, dan nadanya berubah lebih serius. “Iya, tapi tetep aja. Aku enggak mau kamu hilang begitu lagi.”

Untuk beberapa detik, suasana di antara mereka berubah. Bukan lagi sekadar lelucon. Ada sesuatu yang lebih dalam dalam tatapan Arjun, sesuatu yang tak pernah sepenuhnya dia ucapkan. Tapi, sebelum suasana itu bertahan terlalu lama, Askara menghela napas keras, memecah keheningan. “Arjuna khawatir.”

“Udah-udah,” Adre segera merespon, meninju pelan bahu Arjun untuk menutupi rona merah di pipinya. Tapi tawa kecil keluar dari bibirnya, dan meski berusaha menyembunyikan, hatinya menghangat mendengar kepedulian itu.

Nami dan yang lain hanya bisa saling pandang dengan senyum penuh arti. Meskipun mereka hanya sebatas teman, jelas ada sesuatu yang lebih di antara Adre dan Arjuna, walaupun mungkin keduanya masih terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Hanya suara angin yang meniup lembut dedaunan di atas, menambah kedamaian yang terasa aneh namun hangat. Adre menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba menyembunyikan perasaan aneh yang baru saja muncul. Matanya beralih ke arah Arjun, yang kini tengah memainkan tali sepatunya, pura-pura sibuk agar tak terlalu terlihat canggung.

“Eh Re,” suara Arjuna tiba-tiba memecah lamunan Adre, “kamu tahu nggak sih, kalau aku...” Ia terhenti sejenak, ragu melanjutkan kalimatnya. Pandangannya sebentar menatap jauh ke pepohonan, sebelum akhirnya kembali pada Adre. “Kalau aku beneran takut kalau kemarin itu beneran bukan kamu.”

Adre yang sebelumnya tersenyum kecil, mendadak terdiam. Kata-kata itu terasa berat, tidak seperti candaan yang biasa dilontarkan Arjuna. Dia tahu betapa jujurnya kata-kata itu. “Aku kan udah bilang, aku baik-baik aja sekarang. Kamu enggak perlu khawatir berlebihan gitu, Jun,” jawabnya pelan, tapi jelas ada getar kecil di suaranya.

Arjuna menoleh, tatapannya lembut tapi penuh dengan keseriusan. “Bukan itu masalahnya, Re. Rasanya... aneh aja. Kalau itu bukan kamu, rasanya kayak ada sesuatu yang kosong di sini.” Dia menunjuk dadanya pelan, lalu menunduk, tak berani melihat reaksi Adre.

Seketika, dunia seakan berhenti berputar bagi Adre. Jantungnya berdebar lebih cepat, dan suasana di sekeliling terasa berubah. Suasana yang sebelumnya penuh candaan kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia mencoba merespon, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

“Aku...” Adre akhirnya bicara, suaranya serak. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Aziel yang dari tadi diam tak tahan lagi untuk tidak ikut campur.

“Duh, kok kalian jadi baper begini, sih?” Aziel berseru dengan tatapan jahilnya jelas mengisyaratkan bahwa dia tahu betul ada sesuatu di antara mereka. Nami dan Nayya langsung tertawa, ikut meramaikan suasana yang baru saja sempat tegang.

“Bener banget!” sambung Nayya sembari mengukir senyuman lebar di bibirnya. “Udah-udah, kalian nih kayak lagi di sinetron aja, bikin deg-degan orang nonton.”

Adre langsung memalingkan muka, berusaha menyembunyikan wajahnya yang kini memerah. Dia tertawa meski jelas-jelas canggung. “Halah, kalian lebay banget,” katanya dengan nada setengah mengelak. Tapi di dalam hatinya, ia tahu momen tadi terlalu nyata untuk dianggap sekadar candaan.

Arjuna juga hanya bisa tersenyum, menghela napas panjang sebelum mengangkat tangannya menyerah. “Ya udah deh, kalian menang,” katanya sambil tertawa kecil. Tapi tatapan terakhir yang dia berikan pada Adre mengatakan hal lain. Meskipun dikelilingi teman-temannya, ada satu hal yang tak terucap di antara mereka berdua, sesuatu yang hanya dirinya yang tahu.

Sementara malam perlahan menuruni Alas Urup, suara tawa teman-teman mereka yang riang membuat suasana kembali ringan, tapi tidak ada yang benar-benar sama lagi. Mungkin mereka belum siap mengakuinya, tapi perasaan antara Arjun dan Adre yang dulu hanya sebatas pertemanan, kini mulai terasa lebih dari itu. Atau mungkin hanya salah satu dari mereka yang beranggapan seperti itu? Entahlah, hanya mereka yang tahu.

___________________

Alas Urup — TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang