𝗘𝗡𝗔𝗠 :: Lamunan

36 17 2
                                    

Alas Urup - On Going
___________________

"Asky...." Sebuah suara berhasil membuyarkan lamunan Askara yang sedang menatap langit-langit plafon kamar yang sedang mereka bertiga--Arjuna, Askara, dan Aziel--gunakan untuk beristirahat saat melaksanakan kegiatan KKN.

Saat ini, Aska sedikit bingung saat melihat Aziel berkali-kali menggoyangkan tubuhnya dengan tatapan khawatir.

"Iya, Ciel? Kenapa?" Tangan Aska mengelap matanya yang sedikit berair ketika mengingat awal pertemuannya dengan Aziel beberapa tahun yang lalu.

Aska ingat sekali bahwa Ziel lebih menyukai jika dirinya dipanggil dengan sebutan Aciel dari seseorang yang ia sayang, namun sayang sekali tak ada seorangpun di dunia yang memanggilnya dengan panggilan favoritnya itu sendiri. Bahkan kakaknya yang biasanya selalu menuruti keinginannya tak suka dengan panggilan tersebut.

Dan Aska yang menjadi satu-satunya orang yang memanggil Ziel dengan sebutan tersebut. Lalu Ziel memanggil Aska dengan panggilan buatannya lagi; Asky sebagai timbal balik.

"Asky jangan melamun." Aska merasakan ada yang janggal pada nada di kalimat Aziel barusan, nadanya seperti yang pernah dilontarkan Ziel pada saat beberapa tahun lalu.

Perlu Aska ingat bahwa Ziel cukup sensitif terhadap hal gaib, juga dapat merasakan dan melihatnya. Dan beberapa tahun lalu, Aziel mengatakan bahwa Aska hampir dimasuki tubuhnya oleh salah satu mahluk itu.

Dapat Aska tebak kali ini, kejadian beberapa tahun lalu terulang kembali. Aska yang paham dengan hal ini, langsung menarik Ziel yang sebelumnya sedang duduk di sebelahnya untuk berbaring di sebelahnya. "Kali ini seperti apa?"

Aziel diam sejenak, ia berusaha berpikir bagaimana menjelaskan sosok tersebut hanya dengan melihatnya beberapa detik saja. “Perempuan, rambut lurus sebahu, terdapat luka bakar di wajah bagian kanan, mengenakkan kemeja putih yang terlihat bercak darah, juga rok hitam.”

Ruangan tersebut lengang sejenak. Aska dapat merasakan bulu kuduknya mulai berdiri. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Menurutnya tidak wajar jika dirinya wangi namun tak dapat melihat mereka.

Dari dahulu, yang selalu Aziel lakukan sebagai balas budi kepada Aska yang sudah membantunya adalah menjaganya. Setiap kali Aska hendak diikuti ataupun dirasuki, yang selalu mengusirnya adalah Aziel.

Namun kali ini, Aziel tak dapat mengusir sosok tersebut. Sosok itu seakan enggan untuk meninggalkan kamar yang sedang mereka tempati saat ini.

Tubuhnya tak terlalu tinggi, namun bagian matanya yang biasanya orang-orang berwarna putih malahan berwarna merah. Tapi Aziel masih dapat melihat pupil matanya yang berwarna hitam.

Tangan Aziel menggenggam erat kaos milik Aska, dirinya berusaha untuk mengusir sosok tersebut dengan membaca doa di dalam hati. Tetapi hasilnya masih tetap nihil.

Lunga... Lunga saka kene....” Aziel yang sebelumnya memejamkan matanya sontak membelalakan mata saat mendengar bisikan tersebut, dan kali ini matanya bertatapan langsung dengan mata sosok tersebut. “Lungo... Aja gelem ngancani aku ning kene....”

Cengkeraman tangan Aziel pada baju Aska semakin mengencang saat mendengar bisikkan tersebut, tatapannya ia alihkan menatap wajah Aska yang juga sedang menatapnya bingung.

“Apa yang dia katakan?” Tangan Aska terarah menutupi mata Ziel yang saat ini jelas-jelas sedang merasa takut, bahkan genggamannya pada baju Aska terasa bergetar saking takutnya. “Tenangin diri kamu dulu.”

Jujur saja, sudah lama Aska tak melihat Aziel sepanik ini. Dirinya juga sebenarnya penasaran dengan bagaimana wujud sosok tersebut sampai dapat membuat Aziel yang sudah sedari kecil terbiasa dengan berbagai mahluk atau bahkan berteman dengan beberapa di antaranya menjadi ketakutan seperti ini.

Sedangkan di sisi Ziel, dirinya sedikit bingung dengan bagaimana cara menenangkan dirinya sendiri. Siapa juga yang tak akan takut jika berhadapan dengan sosok yang mungkin penunggu di kamar ini.

Helaan napas keluar dari Aska, dirinya mulai muak dengan semua hal-hal yang berkaitan dengan tak kasat matanya. Tubuhnya hendak bangun dari tempat berbaringnya, namun tangannya terlebih dahulu ditarik oleh Aziel, ia seakan diminta untuk tetap diam saja di tempat.

“Zi, aku nggak mau lihat kamu terus-terusan kayak gini. Ada waktunya juga kita lawan mereka, kamu bantuin aku komunikasi sama dia ya?” Beberapa kali Aska tak berani untuk melawan Aziel untuk jangan pernah berkomunikasi dengan salah satu dari sosok tersebut, tapi kali ini Aska sudah tak tahan dengan para mahluk yang selalu mendatanginya.

Genggaman Aziel pada tangan Aska mengendur, diikuti dengan tubuhnya yang bangkit dari tempat berbaringnya.

Senyum tipis terukir di bibir Aska melihat Aziel yang mau mengikuti apa yang dia inginkan kali ini, walaupun Aska tau bahwa Ziel saat ini sedang berusaha keras melawan rasa takutnya. “Dia di mana?”

Jari telunjuk Aziel terarah menunjuk Arjuna yang sudah tertidur pulas beberapa jam yang lalu sembari memunggungi mereka. “Di belakang Arjuna yang lagi tidur. Dia seperti sedang mengamati Arjun tidur.”

Tepat setelah Aziel menjelaskan apa yang ia lihat, tatapan sosok yang tadinya sedang memerhatikan Arjun yang sedang tidur pulas langsung menatap ke arah Askara dan Aziel.

Aziel yang baru saja berhasil menenangkan dirinya sontak terkejut bukan main dengan kontak mata yang tiba-tiba tersebut. Terlebih sosok tersebut menghilang beberapa detik dan pada akhirnya muncul kembali di depan Aska yang juga sedang melihat ke arah Arjun.

Jenenge... Askar Bagaswara...?” Tangan sosok tersebut terarah membelai rambut Aska yang sayang sekali tak dapat melihat wujudnya, jika Aska dapat melihat sosok tersebut saat ini yang sedang dengan santai memainkan rambutnya, dapat Aziel tebak dia akan menjerit histeris.

Aziel mengangguk singkat dan dengan cepat langsung menarik tubuh Aska untuk mundur. “Apa njalukmu? Ojo ganggu Aska.” Tatapan serius Aziel lemparkan pada sosok yang sedang menatapnya sedikit kaget karena Aziel menarik Aska.

Aska sedikit kaget saat Ziel menarik baju bagian belakangnya. Dan sejak kapan temannya itu dapat berbicara bahasa Jawa dengan logat yang sempurna?

Lunga... Saka kene....” Tatapan serta nada suara yang datar kembali Aziel dengar. “Gawa kanca-kancamu lunga... Saka kene...,” bisiknya sembari terus mendekat ke Aziel yang sedang berusaha menjauhkan Aska dari sosok tersebut.

Aziel tentu saja tak terima. Sudah lima semester ia nanti demi dapat sampai di desa ini, jujur saja sedari dulu Aziel sudah mengincar desa Sudarsana untuk ia jadikan tempat melaksanakan KKN. “Sampean sing kudune lunga saka kene, aja ganggu Aska!”

Wajahnya yang sebelumnya datar, kali ini terlukis sebuah senyuman mengejek. Walaupun wajah sosok tersebut terdapat beberapa luka seperti luka bakar yang membuat rupanya tak terlihat terlalu jelas, Aziel yakin jika senyuman di bibirnya yang sobek tersebut merupakan senyuman yang mengejek. “Aku wis menehi pangetan... Amargi mung kowe sing iso deleng ujudku... Aziel.

___________________

Alas Urup — On Going

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang