𝗦𝗘𝗕𝗘𝗟𝗔𝗦 :: Korek

28 11 1
                                    

Alas Urup — Chapter 11
___________________

Gelap, tak terdapat secercah cahaya sama sekali yang dapat ia lihat. Hanya kekosongan, sama seperti hidupnya. Namun berbeda dengan kekosongan di hidupnya, kekosongan tersebut hilang saat bertemu dengan seseorang. Seseorang yang mengenalkan suatu perasaan yang tak pernah ia ketahui.

Tangannya terarah mengambil sebuah kotak kecil berisikan batang-batang korek api kayu, tangannya mengambil satu batang dari sekian banyaknya batang korek api kayu tersebut. Kemudian dirinya menggesekkan korek yang barusan ia ambil dari dalam kotak ke salah satu sisi kotak tersebut yang menimbulkan suara gesekan halus.

Sebuah api menyala di ujung korek yang ada di tangannya. Matanya menatap ujung korek dengan nyala api yang berkelap-kelip sejenak tersebut lalu mengarahkannya ke sumbu lilin yang terletak di atas meja di depannya. Api dari korek itu dengan cepat berpindah ke lilin yang didekatkan padanya dan mulai menerangi ruangan yang sebelumnya gelap tersebut.

Tatapan matanya kembali mengamati lilin yang sudah ia nyalakan, menunggu api di lilin tersebut stabil yang pada akhirnya meniup korek yang sudah terbakar habis dan membuangnya.

“Aku kira dirimu lebih nyaman dengan ruangan yang gelap, Anakku.” Sebuah suara seorang pria muncul bersamaan dengan api dari lilin yang padam. “Atau mungkin ini karena terlalu sering bermain dengan mereka?”

Dia menatap kesal pria di depannya tersebut kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi yang ia duduki. “Ayah, kapan semua ini berakhir?” Helaan napas keluar dari mulutnya. Sebenarnya ia ragu untuk bertanya hal tersebut kepada pria di depannya yang ia panggil ayah.

“Jadi benar.” Sudah ia tebak, pasti itu yang akan dijawab oleh ayahnya. “Siapa yang kau sukai sekarang?”

Dia menggeleng, enggan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tubuhnya bangkit dari duduknya untuk menyamakan tingginya dengan sang ayah yang sedang berdiri di depan mejanya.

Hening. Ketegangan menggantung di udara ruangan yang gelap dan pastinya terasa pengap tersebut, namun bagi mereka berdua ruangan itu adalah tempat yang paling nyaman.

“Siapa dia? Adrenalinne? Ah, tak mungkin dia. Namiera? Hmm, sepertinya bukan dia juga. Oh? Pasti Nayyasha? Dia seperti tokoh utama di antara kalian semua, pasti ia akan kubuat menjadi persembahan utama besok.” Tatapan serius terlihat di sorot matanya yang menandakan bahwa ia benar-benar serius mengatakan hal tersebut.

Di sisi lain dia berdiri kaku mendengar ucapan dari sang ayah, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Mulutnya tertutup rapat, tapi sang ayah tahu jika darah daging di depannya itu ingin sekali melontarkan ribuan makian, namun ia tahan.

Seringai muncul di bibir pria tersebut melihat sang anak yang berusaha keras untuk mengendalikan perasaan dan ekspresinya. Namun sayang sekali, ayah tak pernah melupakan bagaimana sifat anaknya. “Tak perlu disembunyikan. Sebentar lagi kau akan berulang tahun, bukan? Akan kuberikan hadiah yang pantas untukmu, Anakku.” Itu ucapan terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum berjalan menaiki tangga, meninggalkan anaknya yang masih menatap kosong ke depannya.

Mau bagaimanapun, melawan sang ayah tak akan ada gunanya. Ia kembali duduk di kursinya, berpikir; apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Berkali-kali dirinya sudah patuh terhadap pria yang baru saja angkat kaki dari ruangannya tersebut. Sudah berkali-kali orang yang ia sayang diambil olehnya, katanya; jangan menaruh hati kepada manusia.

Padahal dirinya dahulu juga manusia. Namun itu dulu, sudah bertahun-tahun yang lalu. Sejenak, ia berpikir bahwa lebih baik menjadi manusia seumur hidup dibanding menjadi mahluk hina seperti sekarang.

Ruangan kembali sunyi, yang terdengar hanya suara napasnya yang tak teratur. Tangannya terarah menyentuh dada, merasakan detak jantungnya yang samar. “Dulu aku manusia,” gumamnya, suaranya lirih nyaris tak terdengar. “Dulu aku punya perasaan yang nyata, begitu juga sampai sekarang.”

Pikirannya berkecamuk, bayangan sosok-sosok yang telah hilang satu persatu mulai berkelebat di bayangannya. Dan sekarang dirinya harus merelakan orang yang dia sayangi lagi.

Sesaat, ia berharap bahwa semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Ia berharap besok pagi dirinya akan terbangun sebagai manusia yang sama dengan lima temannya yang lain, menjalani hidup biasa tanpa harus terjebak dalam rencana sang ayah yang benar-benar ia tak sukai.

Namun harapan itu hanya ilusi.

Alas Urup, Desa Sudarsana, dan Universitas Diyatama. Semua hanyalah pion dalam permainan sang ayah, begitu juga dengan dirinya.

Matanya beralih ke lilin yang sudah dipadamkan oleh sang ayah beberapa menit yang lalu. Sekali lagi, tangannya mengambil satu biji korek api dan menggesekkan korek itu sehingga mengeluarkan nyala api. Namun kali ini tak ia gunakan untuk menyalakan lilin. Ia menatap nyala api tersebut dalam-dalam, baginya hidupnya bagaikan korek api yang berada di genggamannya.

Korek api membakar dirinya sendiri agar dapat menerangi sekitarnya atau membakar sesuatu. Dirinya tak jauh beda dengan batang korek api yang tak lama lagi akan habis terbakar. Untuk membawa terang, kadang-kadang orang harus mengorbankan dirinya sendiri. Namun bukannya terang yang dirinya bawa, melainkan kegelapan yang dimanfaatkan oleh sang ayah. Dan baginya sudah cukup kegelapan tersebut dimanfaatkan selama bertahun-tahun, kali ini dia akan membakar semuanya.

Tangannya yang memegang korek dapat merasakan panas yang mulai berpindah ke tangannya saat batang korek api tersebut hampir terbakar hangus seutuhnya. Perlahan ia meniup kecil batang korek api di tangannya yang membuat korek tersebut padam dan bergantikan dengan abu.

“Maaf, Ayah.”

___________________

Alas Urup — TBC

Alas Urup [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang