"Harin!" teriak Sooji dengan napas terengah-engah. Terbangun dari tidurnya, matanya membelalak kaget oleh mimpi yang baru saja dialaminya. Dengan gemetar, dia berusaha bangkit dan duduk bersandar di headboard ranjang, mencoba menenangkan perasaannya. Sooji menghapus air mata dan keringat yang mengalir di wajahnya.
"Untung hanya mimpi," gumamnya, merasa lega setelah menyadari bahwa semuanya hanya sebuah mimpi
--
Setelah sedikit tenang sooji mencoba meraih ponsel yang terletak di rak meja samping tempat tidurnya. Layarnya segera menyala, dan Sooji mengetik pesan untuk Harin dengan harapan pesan itu segera dibaca. Namun hasilnya nihil
Tak puas hanya menunggu, Sooji mencoba menelepon. Suara dering di seberang telepon hanya membawa keheningan. Tak ada jawaban dari harin
"Ah, mungkin dia juga kelelahan dan tertidur," gumam Sooji pelan, mencoba menenangkan hatinya yang masih resah.
"Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu? apa aku harus ke rumahnya untuk memastikan?" tanyanya pada diri sendiri.
"Kalau ada apa-apa, dia pasti akan menelpon atau mengirim pesan, kan? Ah, pasti dia baik-baik saja... mungkin dia sangat lelah sekarang," gumam sooji berusaha tidak berpikir buruk.
Sooji meletakkan ponselnya kembali ke meja, "Aku sebaiknya mandi dan turun untuk makan malam," gumamnya, sebelum berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
-Sekolah-
Sooji berjalan menyusuri koridor sekolah dengan langkah ringan. Udara pagi yang sejuk membuat suasana menjadi lebih segar, sinar matahari menerangi hari yang cerah. Setibanya di depan pintu kelas,Sooji langsung mengedarkan pandangan, mencari sosok Harin yang semalam tidak kunjung membalas pesannya.
Matanya tertuju pada bangku tempat Harin biasa duduk. Namun, bangku itu kosong. Sooji berjalan menuju tempat duduknya sendiri, sambil sesekali menatap ke arah bangku Harin yang belum terisi. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya dan kembali mengirim pesan kepada Harin, namun hasilnya tetap sama tidak ada jawaban.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran. Namun, bukannya guru pelajaran saat itu yang masuk, tetapi wali kelas mereka, Pak Seung-min, yang melangkah ke dalam ruangan dengan wajah serius.
"Anak-anak," panggil Pak Seung-min dari depan kelas.
Semua murid langsung memusatkan perhatian mereka pada Pak Seung-min, penasaran dengan apa yang akan disampaikan olehnya.
"Mulai sekarang, Baek Harin, teman kalian, akan pindah sekolah ke luar negeri. Jadi tolong, jika ada tugas kelompok yang melibatkan dia, kalian bisa langsung menyesuaikan," katanya.
Kabar itu membuat para murid saling berpandangan heran. Baru kemarin mereka bersama-sama dalam karyawisata, dan kini, Harin tiba-tiba pergi. Sooji, yang mendengar kabar tersebut, hanya bisa mengepalkan tangannya yang berada di atas meja, menyembunyikan kegelisahannya. Hatinya terasa sesak, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang semakin memburuk. Harin yang tak membalas pesan, tak mengangkat telepon, dan kini kabar mendadak tentang kepindahannya, semuanya berputar di kepala Sooji, menambah rasa cemas.
"Harin pindah ke mana, Pak?" tanya Wooyi, penasaran, memecah keheningan yang penuh ketidakpastian.
Pak Seung-min berdiri di depan kelas, wajahnya tampak tegang dan penuh keraguan. "Bapak tidak tahu. Hanya itu informasi yang bisa Bapak sampaikan. Terima kasih," ucapnya terburu-buru. Dengan cepat, dia melangkah keluar dari ruangan, jelas tidak ingin menerima banyak pertanyaan dari para murid mengenai kepindahan Harin yang tiba-tiba.